Kamis, 01 Juli 2010

TITIK SINGGUNG UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN DALAM AJARAN AGAMA

A. Pendahuluan

Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Proses pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut, satu sama lain saling bergantung. Walaupun komponen-komponennya cukup baik, seperti tersedianya sarana dan prasarana serta biaya yang cukup, jika tidak ditunjang dengan pengelolaan yang handal maka pencapaian tujuan tidak akan tercapai secara optimal. Yang menjadi tujuan utama pengelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal.
Batasan mengenai pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Karena pendidikan secara garis besar merupakan sarana yang paling penting dalam sebuah proses tranformasi budaya. Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
Selain itu, pendidikan juga Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat kami ungkapkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi titik singgung dalam sebuah pendidikan ?
2. Apa sajakah unsur-unsur pendidikan dalam ajaran agama ?
Dari beberapa rumusan masalah tersebut kita bisa mengetahui unsur-unsur pendidikan dalam ajaran agama itu bisa sesuai dengan realita yang kita lakukan sehari-hari dan menerapkannya sesuai dengan proses dan tujuan pendidikan secara efesiensi, efektif dan maksimal.
C. Pembahasan
1. Titik singgung sebuah pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar yang teratur dan sistematis yang dilakukan oleh orang tua yang di serahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat-sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.
Lingkungan yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam literatur pendidikan, lingkungan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karenanya, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.
Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam.
Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian pesertadidik.
Dari penjabaran di atas, menurut saya yang menjadi titik singgung sebuah pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Lingkungan yang nyaman dan mendukung harus sesuai situasi dan kondisi dalam pendidikan baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
2. Tujuan pendidikan yang diinginkan.
3. Ajaran agama dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
4. Visi dan Misi dalam sebuah pendidikan tersebut.
2. Unsur-unsur Pendidikan dalam Ajaran Agama.
Pendidikan merupakan segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan penanaman nilai-nilai ke dalam diri peserta didik.
Unsur-unsur dalam proses pendidikan ajaran agama melibatkan banyak hal antara lain:
1. Subjek yang dibimbing (peserta didik).
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a). Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b). Individu yang sedang berkembang.
c). Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d). Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
2. Orang yang membimbing (pendidik)
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat. Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam islam, kedudukan langsung setelah para nabi. Hal ini sebagaimana yang dikemukaakan oleh Al-Ghazali, bahwa kedudukan guru merupakan kedudukan paling mulia setelah nabi.
3. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.
Alat pendidikan yang dapat digunakan dalam interaksi edukatif adalah nasihat. “Agama adlah nasihat”,sabda beliau. Selain itu, alat pendidikan yang utama dalam pendidikan islam adalah teladan, persahabatan, dan peringatan.
4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
Setiap masayarakat, bagaimanapun mempunyai falsafah dan pandangan hidup yang mereka sesuai asas dalam membentuk generasi yang akan datang sebagai generasi pewaris. Adanya berbagai aliran pemikiran filsafat berupa faham-faham menunjukan adanya bukti keragaman pandangan hidup ini. Dan dengan tujuan yang akan dicapai oleh system pendidikan pada prinsip[nya tidak terlepas dari asas falsafah yang mereka anut.
Adapun tujuan pendidikan islam yang sejalan dengan tujuan misi islam itu sendiri yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlakul karimah. Dan tujuan tersebut sama dan sebangun dengan target yang terkandung dengan tugas kenabian yang diemban oleh rosulullah saw yang terungkap dalam pernyataan beliau: “ sesungguhnya aku diutus adalah untuk membimbing manusia mencapai akhlak yang mulia “ (al-hadist). Factor kemuliaan akhlak dalam pendidikan islam dinilai sebagai factor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan, yang menurut pandangan islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan kehidupan diakhirat.
Dua sasaran pokok yang akan dicapai oleh pendidikan islam yaitu kebahagian dunia dan kesejahteraan akhirat, menguat sisi-sisi penting pada bagian ini dipandang sebagi niali lebih dari pendidikan islam. Nilai lebih tersebut terlihat bahwa system pendidikan islam dirancang agar dapat merangkum tujuan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan, yang pada hakikatnya tunduk pada hakikat penciptaannya. Pertama, tujuan pendidikan islam itu bersifat fitrah yaitumemebing perkembangan manusia sejalan dengan fitrah kejadiannya. Kedua, tujuan pendidikan islam merentang dua dimensi, yaitu tujuan akhir bagi keselamatan hdup di dunia dan di akhirat. Ketiga, tujuan penddikan islam mengandung nilai-niali yang bersifat universal yang tidak terbatas oleh ruang lingkup geografis dan paham-paham tertentu.
5. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
Materi pendidikan islam yang diberikan anak didik disesuaikan dengan tjuan pendidikan yang akan dicapai, yang membentuk aklak yang mulia dalam kaitannya dengan hakikat penciptaan manusia dalam hal ini maka dalam pengertian luas, materi (kurikulum) untuk pendidikan seumur hidup, sebagai realisasi tuntunan nabi “tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang kubur” (al-hadist).
Adapun yang menjadi inti dari materi kurikulum pendidikan islam itu sendiri adalah bahan-bahan, aktivitas dan pengalaman yang mengandung unsure ketauhidan. Selain itu materi kurikulum dalam pendidikan islam meliputi tunmtutan untuk mematuhi hokum-hukum allah.
Tanpaknya secara prinsipil materi (kurikululm) pendidikan islam tidak terlepas dari keterkaitannya dengan ajaran agam itu sendiri. Materi dalam pendidikan islam mengandung ajaran-ajaran agama, baik dalam bidang tauhid, akhlak, ibadah maupun muamalah.

D. Kesimpulan

Dari makalah yang penulis paparkan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Terdapat titik singgung unsur-unsur pendidikan islam dalam ajaran agama, yaitu menyangkut peserta didik, pendidik, tujuan, interaksi edukatif dan materi pendidikan.
2. Titik singgung peserta didik dalam ajaran agama adanya penghargaan terhadap fitrah manusia.
3. Titik singgung pendidik dalam ajaran agama adalah bahwa pendidik adalah orang yang serahi tanggungjawab dan amanat pendidikan oleh agama, dan wewenang pendidik.
4. Titik singgung tujuan pendidikan dalam ajaran agama adalah tujuan pendidikan islam yang sejalan dengan tujuan isi islam itu sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlakul karimah.
5. Titik singgung interaksi edukatif dalam ajaran agama adalah penggunaan metode dan alat-alat pendidikan yang sesuai dengan ajaran agama, seperti metode nasihat dan keteladanan.
6. Titik singgung materi pendidikan dalam ajaran agama adalah bahwa materi yang disampaikan dalam pendidikan meliputi ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama, baik dalam bidang tauhid, akhlak, ibadah maupun muamalah.

ARAH BARU PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma [paradigma shift] dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya bisa dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia (hakekat) kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis, Sehubungan dengan itu konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Aspek-aspek apa saja yang mendasari Perubahan arah pendidikan?
2. apa saja Konsep acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam?
C. Pembahasan
1. Aspek-aspek yang Mendasari Perubahan Arah Pendidikan
Arah perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu,
Pertama, paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada : sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, karena pendidikan didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah.
Kedua, paradigma baru, orientasi pendidikan pada: disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha. lemabag-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat nadani Indonesia.
Berdasarkan pandangan ini, pendidikan Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Mengalihkan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis. Mengalihkan paradigma dari pendidikan sentralisasi ke paradigma pendidikan desentralisasi, sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan peserta didik. Dalam proses pendidikan, perlu dilakukan “kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam rangka pemberdayaan umat dan bangsa, pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan Islam. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan, penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan.
Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu secara horizontal [antarsektor] dan vertikal [antar jenjang – bottom-up dan top-down planning], pendidikan harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan perspektif global”.
Rumusan paradigma pendidikan tersebut, paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan, yang secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat madani Indonesia yang demokratis, relegius, dan tangguh menghadapi lingkungan global. Maka dalam upaya pembaruan pendidikan Islam, perlu ada ikhtiar, yaitu strategi kebijakan perubahan diletakan untuk menangkap kesempatan perubahan tersebut. Maka mau tidak maun, pendidikan Islam harus meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru, berorientasi pada masa depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat desentralistik, berorientasi pada peserta didik, bersifat multikultural dan berorientasi pada perspektif global, sehingga terbentuk pendidikan yang berkualitas dalam menghadapi tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat madani Indonesia. Sebab pada dataran konsep, pendidikan baik formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran penting melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan sebaliknya pendidikan merupakan proses perubahn sosial. Tetapi, peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya” .
Berdasarkan pandangan di atas, maka peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro [kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan], melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya” , sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat [learning society]. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education [1978], menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangkan, secara mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik dalam kerangka interaksi proses belajar.
2. Konsep acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam
Dengan demikian, kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam menuju masyarakat madani Indonesia, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu :
Pertama, pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Kedua, pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
Kelima, dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik. Keenam, prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan, prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan, prinsip pendidikan multikultural. Sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif. Kesepuluh, pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.
Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai-nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karaktek budaya nasional Indonesia dan budaya global.





Tetapi, upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis. Misalnya saja, bangsa Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa yang maju dengan tetap kental dengan nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai relegius. Dengan contoh bangsa Jepang, maka pembinaan dan pembentukan nilai-nilai Islam tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan sebagai “kapital spritual” untuk masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Dari pandangan ini, tergambar bahwa peran pendidikan sangatlah senteral dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami penggeseran, sementara “sistem sosial, politik, dan ekonomi bangsa selalu menjadi penentu dalam penetapan dan pengembangan peran pendidikan”
Dengan paradigma baru tersebut, pendidikan Islam harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi, kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan terjadi adalah penggeseran paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi pengembangan pendidikan perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak, maka pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang “termarginalkan” dan tertinggal ditengah-tengah kehidupan masyarakat global.
Pergeseran drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia.
Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari “percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal [SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence [distributed knowledge]” . Kondisi ini, akan berpengaruh pada fungsi tenaga pendidik [guru dan dosen] dan lembaga pendidikan “akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi “mediator” dari ilmu pengetahuan tersebut. Proses long life learning dalam dunia pendidikan informal yang sifatnya lebih learning based dari pada teaching based akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Peranan web, homepage, cd-rom merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge semakin berkembang. Hal ini, secara langsung akan menetang sistem kurikulum yang rigid dan sifatnya terpusat dan mapan yang kini lebih banyak dianut dan lebih difokuskan pada pengajaran [teaching] dan kurang pada pendidikan [learning-based]” . Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang sifatnya konsensus bersama dan tidak terikat pada dimensi birokrasi atau struktural.
Dengan demikian, pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa cirri, yaitu: [a] Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau “lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar [teaching]”. [b] Pendidikan Islam dapat “diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel”. [c] Pendidikan Islam dapat “ memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri”, dan [d] Pendidikan Islam, “merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan” Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang “menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat”.
Dalam “pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya” Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga “sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat”
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa “paradigma baru pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus-menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan Iptek, sebagaimana zaman keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam dimulai dari konsep manusia menurut Islam, pandangan Islam terhadap Iptek, dan setelah itu baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh” Pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada:
1. Paradigma baru pendidikan Islam harus didasarkan pada filsafat teocentris dan antroposentris sekaligus. Pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan juga sisi rasional” .
2. Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi kehidupan manusia.
3. Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif berdasarkan nilai-nilai Islam.
4. Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan Islam yang dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.
5. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat madani. Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati dan menghargai supermasi hukum, menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan [pluralisme], memiliki kemampuan kompotetif dan kemampuan inovatif.
6. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat madani. Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati dan menghargai supermasi hukum, menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan [pluralisme], memiliki kemampuan kompotetif dan kemampuan inovatif.
7. Penyelenggaraan pendidikan Islam harus diubah berdasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik baik dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum harus disesuaikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralistik. Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi di dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia.
8. Pendidikan Islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan
9. Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama, dimensi dialektika [horizontal] yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketunduhan vertikal, yaitu pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah Swt”
Pendidikan Islam lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif, pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik, pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”, dan harus dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan” karena pada era informasi sekarang ini, informasi ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai media ilektornik dan media massa, seperti : internet dengan peran web, homepage, cd-rom, diskusi di internet, dan televisi, radio, surat kabar, majalah yang merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge.
Mencermati fenomena perubahan paradigma baru tersebut, maka paradigma lama pendidikan Islam yang telah terbangun sejak abad pertengahan [periode Islam], dengan mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan untuk menuju paradigma baru pendidikan. Faisal Ismail, menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran dalam Islam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya memungkinkan bersifat reseptif, pasif, menerima begitu saja. Akan tetapi pendidikan Islam harus berusaha mengembangkan dan melatih peserta didik untuk lebih bersifat direktif, mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun.
3. Konsep Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas.
Berdasarkan uraian di atas, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak.
a. Konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat. Sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani.
b. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya bisa dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia (hakekat) kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis, Sehubungan dengan itu konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya bisa diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan ( sosial - kultural ) diperhatikan.
Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang (a) sesuai dengan ajaran Islam, (b) mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan ( sosial - kultural ) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Karena tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta maka perubahan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti.
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan.
Apabila terlepas dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut ( masyarakat madani ). Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam di Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya (ignorance) akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
D. Kesimpulan
Pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani" pendidikan Islam didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Usulan perubahan sebagai berikut :
a. Pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.
b. Pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini.
c. Pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan.
d. Pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur.
e. Pendidikan Islam didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia.

Daftar Pustaka

Abdurrahman an-Bahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beiru-Libanon, Cet. II, 1983., Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, 1995.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma'arif, Bandung, Cet.III, 1974.
Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, 1985.
H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cet. Kesembilan, 1997.
Masykuri Abdillah, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari 1999, halaman 4.
Mufid, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang", Tanggal, 25-26 September 1998.
M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, Cet.Pertama, 1991.
Roihan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991.
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II, 1995.

RAGAM PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM PARA TOKOH

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat integral dan dinamis sekali bagi kehidupan individual maupun masyarakat. Karena hal itu, maka sudah seharusnya bila pendidikan itu ditingkatkan kwalitasnya. Dunia pendidikan dari tahun ke tahun menunujukkan fenomena yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan peran pemikiran para tokoh cendekiawan yang selalu memperbaiki system atau aspek-aspek dalam dunia pendidikan yang tidak terbatas pada sektor-sektor penyelenggarannya, melainkan juga menyangkut berbagai komponen atau aspek baik aspek ekonomi, politik, sosial, dan demografi.
B. Permasalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka timbul beberapa permasalahan yang akan penulis bahas yaitu :
1. Siapakah tokoh-tokoh Pemikiran Filsafat Pendidika Islam?
2. Bagaimana ragam pemikiran filsafat pendidikan islam para tokoh?
C. Pembahasan
1. Tokoh-tokoh Pemikiran Filsafat Pendidika Islam
Ragam Pemikiran Para Tokoh Mengenai Pendidikan Islam. Usaha pembaharuan pendidikan Islam selalu dinamis sesuai dengan perubahan zaman. Usaha pembahruan tersebut, sudah dilakukan oleh para tokoh pembaharu pendidikan dengan selalu berpikir demi kemajuan pendidikan Islam di masa sekarang dan yang akan datang. Hasil pemikiran mereka sangat beragam, dan kalaupun ada kesamaan, itu merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari dan bukan karena meniru tokoh yang lain. Para tokoh pemikir pendidikan Islam banyak sekali jumlahnya, namun karena dirinya tiada mempunyai nama kebesaran yang dikenal oleh khalayak umum maka dirinya tidak disebut-sebut sebagai tokoh pendidikan Islam.
Berikut ini akan penulis kemukakan Tokoh pemikiran filsafat pendidikan islam mengenai pendidikan Islam diantaranya, yaitu:
a. Al-Ghozali
b. Ibnu Khaldum
c. Ihwan Al-Shafa
d. Zainuddin Labay
e. Ahmad Surkati
f. Ahmad Dahlan
g. Hasyim Asy’ari
2. Ragam Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Para Tokoh
a. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhamnmad al-Ghazali. Beliau lahir di Ghazela, Thus (Khurasan) pada tahun 450 H. (1059 M) dan wafat di Tabristan, Tus tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (1 Desember 1111 M).
Adapun pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan Islam meliputi:
1) Peranan Pendidikan
Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan anaknya yang mendidiknya.
Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah yang menegaskan:
Artinya:
“ Tidaklah anak yang dilahirkan itu, kecuali dalam keadaan fitrah (asal kejadian yang bersih/suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muslim)
2) Tujuan Pendidikan
Menurut alGhazali tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
3) Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di atas, al-Ghazali menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan, yaitu:
a) Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
b) Guru jangan mengharapkan upah (materi) sebagai tujuan utama mengajar.
c) Guru harus mengingatkan kepada muridnya bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
d) Guru harus memberikan contoh yang baik kepada muridnya dalam segala hal.
e) Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
f) Guru harus menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya.
4) Murid
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut:
a) Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
b) Merasa satu saudara dan bangunan dengan murid yang lain.
c) Menjauhkan diri dari mempelajari mazhab yang menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
d) Mempelajari berbagai jenis ilmu dan berupaya sungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.
5) Kurikulum
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangan mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a) Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia dan akhirat.
b) Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih.
c) Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu:
a) Ilmu yang wajib (fardlu) yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
b) Ilmu yang hukum mempelajarinya fardlu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, kedokteran, ilmu teknik, pertanian, dan lain-lain.
Dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali menganjurkan tentang pendidikan keimanan agar diberikan kepada anak-anak sejak dini. Seperti pepatah “Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu sedangkan belajar di waktu besar laksana mengukir di atas air”.
b. Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman Abu Zaid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 dan meninggal di Cairo pada tanggal 19 Maret 1406.
Konsep pendidikan menurut Ibn Khaldun meliputi:
1) Pandangan tentang manusia didik
Ibnu Khaldun melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Menurutnya, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia di samping memiliki pemikiran, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat atau sosial.
2) Pandangan tentang ilmu
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan Ibnu Khaldun membaginya menjadi tiga macam , yaitu:
a) Ilmu lisan (bahasa), yaitu ilmu tentang tata bahasa sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis.
b) Ilmu Naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah Nabi.
c) Ilmu ‘Aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikiran atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan.
3) Metode pengajaran
Menurut Ibnu Khaldun bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Sejalan dengan pemikirannya itu, Ibnu Khaldun menganjurkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya.
c. Ikhwan al-Safa
Ikhwan al-Safa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad ke dua hijriah di kota Bashrah, Irak.
Adapun konsep pendidikan menurut pandangan Ikhwan al-Safa, meliputi:
1) Cara mendapatkan ilmu
Ikhwan al-Safa memandang bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicapai melalui dua cara, yaitu:
a) Melalui Panca Indra terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik. Ilmu model ini berkaitan dengan tempat dan waktu.
b) Melalui informasi atau berita yang disampaikan oleh orang lain. Ilmu yang dicapai dengan cara ini hanya dapat dicapai oleh manusia.
Selain itu, Ikhwan al-Safa menyebutkan ilmu harus didapat dengan usaha, melalui tilisan dan bacaan, membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Dalam hal ini ia mengatakan: “Hendaknya diketahui bahwa pembiasaan dan latihan itu harus dilakukan secara kontinyu, dan dari pembiasaan ini akan dihasilkan akhlak yang kokoh.”
2) Tipe ideal guru
Menurut pandangan Ikhwan al-Safa, tipe ideal guru harus memiliki syarat-syarat, yaitu: cerdas, baik akhlaknya, lurus budi pekertinya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas mencarai kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme.
d. Zainuddin Labay
Nama lengkapnya adalah Zainuddin Labay al-Yunusi, dilahirkan di Bukit Surungan , Padang Panjang pada tahun 1980. Menurut Deliar Noer, Zainuddin Labay dapat disebut seorang otodidak yang menjadi orang dengan tenaga sendiri.
Pemikiran Zainuddin Labay dalam pendidikan adalah seorang yang mula memperkenalkan sistem sekolah yang baru, dengan membuka sekolah guru Dinayah (1945) ia mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur yang mencakup juga pengetahuan umum.
Kita ketahui bahwa pendidikan Islam menurut sistem lama, hanya terdiri dari dua tingkat saja: Pengajian Qur’an dan Pengajian Kitab. Selanjutnya dalam perkembangannya di Indonesia, pendidikan Islam diadakan di surau-surau tanpa kelas dan tiada pula memakai bangku, meja dan papan tulis, hanya duduk bersila saja.

Pada tanggal 10 Oktober 1915 Zainuddin Labay mendirikan Diniyah School di Padang Panjang. Di sinilah Zainuddin Labay mencoba segala teorinya untuk kemajuan murid-muridnya. Zainuddin Labay mengatur Diniyah School dengan sebaik-baiknya. Pada tingkat bawah pelajaran diberikan dalam bahasa Indonesia dan memakai buku-buku bahasa Indonesia karangan sendiri.
Inovasi yang muncul dan langkah-langkah yang diambilnya dalam mendirikan surat kabar dipraktikkan ke dalam pendidikan. Zainuddin Labay banyak menulis buku-buku tentang pendidikan, di antaranya: Durusul Fiqhiyyah, Aqaidud Diniyah, Mabadi awwaliyah. Pendeknya kitab-kitab yang dipakai pada tingkat ibtidaiyah.
e. Syeikh Ahmad Surkati
Syeikh Ahmad Surkati nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad Surkati al-Kharraj al-Anshari. Ia dilahirkan di Sudan. Kemudian ia datang ke Indonesia dengan bergabung pada “Jami’atul al-Khair”. Banyak karya-karya yang ditulis olehnya, di antaranya adalah al-Wasiyat al-Amiriyyah, al-masail al-Tsalats, Hak suami istri dan Tajwih al-Qur’an lil Adabil al-Qur’an.
Ide-ide pembaharuan pendidikan Ahmad Surkati meliputi :
1) Aspek Kelembagaan
Secara kelembagaan program pendidikan berlangsung selama 15 tahun, yang meliputi pendidikan dasar 3 tahun, pendidikan ibtidaiyah 4 tahun, pendidikan tajhiziyyah 2 tahun, jenjang muallimin selama 4 tahun dan jenjang takhassus selama 2 tahun.

2) Aspek metode dan pendekatan pengajaran
Dalam aspek ini, metode dan pendekatan pengajaran disesuaikan dengan situasi belajar yang dihadapi seorang guru.
3) Aspek Kurikulum
Kurikulum sudah disusun secara sistematik, yang dijadikan rencana pelajaran, dan juga sebagai kerangka kerja sistematis dalam suatu kegiatan pengajaran modern.
f. K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1868 di Yogyakarta. Anak dari seorng Kiyai Haji Abubakar bin Kiyai Sulaiman. K.H. Ahmad Dahlan merupakan salah satu tokoh pendiri Muhammadiyah.
Ahmad Dahlan dalam pemikirannya memunculkan sekolah modern pertama. Ia memasukkan mata pelajaran umum, ilmu alam, ilmu hayat, serta cara cara baru dalam pengajaran sehingga lebih menarik dan lebih jelas dipahami.

Usaha-usaha dan jasanya terutama di bidang pendidikan adalah:
1) Membawa pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga pendidika Islam, yang semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah.
2) Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah agama atau madrasah.
3) Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran dari semula pengajaran sorogan kepada metode pengajaran yang lebih bervariasi.
4) Mengajarkan sikap hidup yang terbuka dan toleran.
5) Mendirikan organisasi Muhammadiyah, yang termasuk organisasi Islam yang paling pesat dalam pengembangan lembaga pendidikan yang lebih bervariasi.
g. KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, tanggal 25 Juli 1871 M. Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun. Pemikirannya dalam bidang pendidikan di antaranya meliputi:
1. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
Dalam hal ini etika yang harus diperhatikan dalam belajar meliputi: membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan, membersihkan niat, sabar, qanaah, pandai mengatur waktu dengan sebaik-baiknya.
2. Etika murid terhadap guru
Dalam hal ini murid dianjurkan untuk memuliakan guru, memperhatikan apa yang menjadi hak guru, hormat, dan sopan.
3. Etika murid terhadap pelajaran
Dalam menuntut ilmu, murid hendaklah memeperhatikan etika sebagaimana berikut: mendahulukan ilmu fardlu ‘ain, belajar dengan kontinyu, tanamkan rasa semangat belajar dan bertanyalah hal yang belum dipahami.
4) Etika seorang guru
Etika guru meliputi senantiasa taqarrub kepada Allah, wara’, zuhud, membiasakan kreatif, dan lain-lain.
D. Kesimpulan
1. Tokoh-tokoh pemikiran filsafat pendidikan islam antara lain yaitu:
a. Al-Ghozali
b. Ibnu Khaldum
c. Ihwan Al-Shafa
d. Zainuddin Labay
e. Ahmad Surkati
f. Ahmad Dahlan
g. Hasyim Asy’ari
2. Peran pemikiran filsafat pendidikan sangat mempengaruhi pendidikan pada masa terdahulu bahkan sekarang ini, walaupun setiap adanya pemikiran selalu ada peningkatan atau perbedaan dalam memperbaiki sistem pendidikan masing-masing tokoh tersebut karena smua itu juga untuk kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan yang lebih baik lagi. Wallahu’alam.




















DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad, Al-Tarbiyah fi Al-Islam, (Mesir: Dar- al- Maarif, tanpa tahun)
Al-Ghozali, Ihya’ Ulum Al-Din, (Surabaya: Al-Hidayah, 2001)
Al-Hadist, Fathul Bari, Syarah Shohih Al-Bukhori, (Kairo: Al-Maktabah Assalafiyah, 1973)
Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 1, 1991)
Hamid, Shalahuddin, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Dunia, (Jakarta: Intimedia, 2006)
http: //Google, Riwayat dan Pemikiran Hasyim Asyari, 31 Mei 2010, 21.05
Nasution, Harun, Falsafah dan Matinisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 2, 1978)
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam,(edisi baru), (Jakarta: Gaya Media Pratama , 2005)
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003)
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Syarif, Juhdi, Syeikh Ahmad Sukarti: Pembaru Abad ke 20, (Nomer 78, 1989)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992, Cet. 3)

POSISI AL-QUR’AN DAN HADIST DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan
Filsafat adalah berfikir secara mendalam atau radikal untuk menemukan suatu kebenaran tanpa terikat bukti, adat-istiadat, dan norma. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, rganis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Dan filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran filsafat yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan Islam.
Islam yang merupakan agama Universal yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah, begitu pula dalam pendidikan Islam. Untuk mencari kebenaran maka Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan tumpuan sebagai dasar landasan untuk memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ada dua rumusan masalah yang hendak dibahas yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan Hadist terhadap Pendidikan ?
2. Bagaimana Posisi Al-Qur’an dan Hadist dalam Filsafat Pendidikan Islam?
C. Pembahasan
1. Pandangan Al-Qur’an dan Hadist terhadap Filsafat Pendidikan Islam
Islam datang dengan membawa Al-Qur’an sebagai sumber dan dasarnya. Al-qur’an juga di sebut sebagai al-Hakim dan ini berarti bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber filsafat dalam islam. Selanjutnya Al-Qur’an juga menegaskan bahwa usaha berfilsafat itu hanya dikerjakan oleh orang yang berakal. Sebagaimana dalam QS. Al Baqarah ayat 269 : “Allah memberikan Al Hikmah kepada mereka yang dikehendaki dan berusaha mencarinya, dan barang siapa yang memperoleh al Hikmah, berarti telah memperoleh kebajikan dan kebijaksanaan yang banyak, tetapi hanya orang orang yang berakal sajalah yang mampu berusaha mencari hikmah tersebut.”
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan, mendorong serta membimbing umat Islam untuk berfikir, menggunakan akal pikirannya, bertafakur, dan di dalamnya mengandung filsafat.
Dengan demikian jelas bahwa usaha mencari kebenaran menurut ajaran islam, hanya mungkin dikerjakan dengan menggunakan akal pikiran. Usaha mencari kebenaran, kebajikan dan kebijaksanaan menggunakan akal pikiran merupakan dasar dari berfilsafat.
Dari uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa filsafat dan kegiatan berfilsafat sudah ada dan sudah dikerjakan dalam dunia islam, sebelum istilah filsafat itu sendiri muncul atau masuk di dalamnya. Dan Al –Qur’an adalah merupakan sumbernya baik secara material maupun secara formal.
Sumber untuk mengatur masalah pendidikan, sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ).
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran.
Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
2. Posisi Al –Qur’an dan Hadist dalam Filsafat Pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadist) dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir.
Selanjutnya karena pandangan hidup (teologi) seorang muslim berdasarakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka yang menjadi dasar atau fundamental dalam pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist itu sendiri. Hal yang demikian dilakukan karena dalam teologi Islam Al-Qur’an dan Sunnah diyakini mengandung kebenaran yang mutlak yang bersifat transidental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara akhidah diyakini oleh pemeluknya akan sesuai dengan fitrah manusia artinya memenuhi kebutuhan manusia kapanpun dan dimanapun.
Dari beberapa uraian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa Posisi Al-Qur’an dan Hadist dalam filsafat pendidikan Islam adalah merupakan dasar landasan yang fundamental dalam mencari kebenaran atau memikirkan mengenai hal-hal tang berkaitan dengan Pendidikan Islam.
Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan.
Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah :
“ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )”
Dan Hadis dari Nabi SAW : “Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam.
Bagi umat Islam dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.
Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu.
Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik.
Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.
Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaliknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan, akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal.
Tidak ada satupun dari permasalahan mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar.
Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas dimana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam menurut pendapat Ahmad Hanafi dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam menungungkapkan bahwa mengidentifikasi sasaran yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1. Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya.
Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa , filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Tumbuh kembangnya filsafat dipengaruhi oleh faktor sebagaimana diungkapkan oleh M.M. Syarif dalam “Muslim Though, its Origin and Achievement”.menyatakan bahwa : Sumber Islam yang murni dan asli yaitu berupa ayat-ayat Al -Qur’an dan hadist Nabi SAW, yang mendorong dan memerintahkan untuk membaca, berfikir, bertafakkur, mengambil pelajaran, meneliti, menyelidiki, dan mempelajari sejarah. Dengan realisasi perintah tersebut maka muncullah berbagai macam ilmu pengetahuan mulai yang bersifat filsafat sampai kepada yang bersifat empiris dan bahkan eksperimental.
Menurut pendapat Prasetya dalam bukunya Filsafat Pendidikan mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.
Selanjutnya Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Nah di sinilah peran filsafat itu menjadi suatu yang penting, yaitu untuk menggali dan mengembangkan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist yang merupakan Sumber Pokok Ajaran Islam.
Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat .
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, menurut maka pandangan Islam tentang manusia antara lain:
Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" . Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....[ar-Rum : 30].
Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori abularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah
Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal ini"
Apabila kita memperhatikan ayat di atas, memberi gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrah-nya. Selain itu juga manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah.
Dari pandangan ini, dapat penulis simpulkan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik.
Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bias dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik.
Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik.
Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan.
Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar.
Bersarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu [dunia – akhirat] dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan muslim yang bertaqwa.
D. Kesimpulan
Posisi Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber pokok ajaran atau landasan atau dasar dalam filsafat pendidikan Islam, yang bertujuan untuk memecahkan dan mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan Islam yang didasarkan pada pedoman Islam itu sendiri yaitu Al-Qur’an dan Hadist.










DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
http://udhiexz.wordpress.com/2007/12/30/10/.
http://bukuresensi.wordpress.com/2006/12/18/filsafat-pendidikan-islami/ yang direkam pada 24 Agu 2007 12:19:14 GMT.
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Saifullah, Ali, Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.
Syarif, M.M. Muslim Though, its Origin and Achievement, Terjemahan Fuad Moh. Fachruddin, Bandung : CV Diponegoro, 1999.
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.














POSISI AL-QUR’AN DAN HADIST DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Abdul Wahab, M. Pd.



Disusun Oleh :
Kelompok V




FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI














Abdurrahman an-Bahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal
Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beiru-Libanon, Cet. II,
Ahmad, al-Hajj, Yusuf. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis. Terj. Kamran Asad Irsyadi. Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta. 2003.
al-Qardawi, Yusuf. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Terj. Abad Badruzzaman. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.
Aly, Noer, Hery & Suparta, Munzier. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang. CV. Triasco. Jakarta. 2003.
alaluddin dan Idi, Abdullah, filsafat pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002
Munawwaroh, Djunaidatul dan Tanenji, Filsafat Pendidikan (perspektif islam dan umum), UIN Jakarta Press, Jakarta: 2003
Prasetya, Filsafat Pendidikan Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, Penerbit Pustaka Setia, Bandung: 1997
Saifullah, Ali, Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya: 1997.

Filsafat adalah berfikir secara mendalam atau radikal untuk menemukan suatu kebenaran tanpa terikat bukti, adat-istiadat, dan norma. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Dan filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran filsafat yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan Islam.
Islam yang merupakan agama Universal yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah, begitu pula dalam pendidikan Islam. Untuk mencari kebenaran maka Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan tumpuan sebagai dasar landasan untuk memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan




Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga diberi kelebihan akal. Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.[5]
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.[6]
Wahyu yang diturunkan kepada manusia tidak hanya berisikan perintah dan larangan saja, akan tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga membahas tentang bagaimana seharusnya hidup dan menghargai kehidupan. Dan tidak terlepas juga di dalam al-Qur’an dikaji tentang sains dan teknologi sehingga tidaklah berlebihan jika kita menyebutnya sebagai kitab sains dan medis[7].
Namun, berbagai bentuk kemajuan sains dan teknologi serta ilmu pengetahuan tanpa didasari tujuan yang benar, niscaya hanya akan menjadi sebuah bumerang yang menghancurkan kehidupan manusia. Karena tidak jarang saat ini manusia malah mengalami kejenuhan, kehampaan jiwa, hedonisme, materialisme bahkan dekadensi moral yang tidak jarang pula implikasinya merugikan diri mereka sendiri bahkan lingkungan sekitar. Padahal dengan adanya kemajuan sains dan teknologi kehidupan manusia diharapkan menjadi lebih mudah, efisien, instan, yang bukan malah menimbulkan tekanan jiwa dan kerusakan lingkungan.
Dalam Islam telah digariskan aturan-aturan moral penggunaan pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, baik kesyaritan maupun lainnya, teoritis maupun praktis, ibarat pisau bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik dan berkuasa atau berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan umat manusia. Pengetahuan tentang atom umpamanya, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perdamaian dan kemanusiaan, tapi dapat pula digunakan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui senjata-senjata nuklir.[8]
Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.


[7]Lihat Yusuf al-Hajj Ahmad, al-Qur’an Kitab Sains dan Medis, terj. Kamran Asad Irsyadi, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2003), cet.II.
[8]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, op.cit., h. 109-110. Bandingkan dengan Zainal Habib, Islamisasi Sains, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 14-18.
1983., Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan
Masyarakat, Gema Insani Press, 1995.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436.
Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2004.
Habib, Zainal. Islamisasi Sains. UIN-Malang Press. Malang. 2007.
2010

HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan
Pendidikan pada bangsa kita telah terjadi dikotomi, yakni antara pendidikan umum dan pendidikan Islam. Dua hal ini telah menjadikan suatu problem tersendiri dalam dunia pendidikan. Karena salah satu sisi yang mengatasnamakan pendidikan Islam adalah sebuah pendidikan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang beragama Islam, nama lembaganya adalah lembaga Islam, dan materinya di dominasi oleh ajaran-ajaran Islam dari Al Qur'an dan Hadits yang merupakan landasan Islam. Jika demikian akan bermunculan pula yang dinamakan pendidikan Kristen, pendidikan Hindu dan lain-lain, bahkan bisa saja terjadi pendidikan Komunis, pendidikan Atheis dan lain sebagainya. Kemudian bagaimana dengan pendidikan umum, apakah yang dinamakan umum yang menyelenggarakan orang umum, tidak terdapat simbol-simbol apapun, baik itu Islam, Kristen, Hindu dan lain sebagainya. Apakah yang dinamakan pendidikan umum atau pendidikan saja itu selama ini seperti yang diselenggarakan oleh pemerintah yang berada dibawah naungan Diknas? Selanjutnya apa bedanya antara pendidikan atau pendidikan umum dengan pendidikan Islam. Tetapi dalam kajian kita saat ini lebih menekankan kepada hakikat pendidikan Islam
B. Rumusan Masalah
Dari rangkaian di atas kami mengerucutkan beberapa permasalahan karena kajian kita adalah Filsafat Pendidikan Islam yaitu di antaranya :
1. Apa Hakikat Pendidikan Islam itu?
2. Bagaimana Implementasi Pendidikan Islam?
C. Pembahasan
Dalam kajian tentang Filsafat Pendidikan Islam yang difokuskan kepada Hakekat Pendidikan Islam ini berusaha untuk mengupas tentang hakikat pendidikan Islam dan pola organisasi pendidikan Islam. Sementara itu, hakekat sendiri memiliki arti ilmu hakikat. Kalau kita membicarakan ilmu hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik alam nyata ini, menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang terbatas oleh panca indera kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah ke-real-an, real yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Jadi, hakekat pendidikan adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan Islam.
a. Hakikat Pendidikan Islam dan Ilmu Pendidikan Islam
Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup menarik, karena pemahaman makna tentang pendidikan sendiri pun juga beragam. Perlu diktehui bahwa banyak sekali istilah-istilah dalam pendidikan itu sendiri, seperti pengajaran, pembelajaran, paedagogi, pendidikan, pelatihan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat kita jumpai dalam buku-buku yang mengkaji tentang pendidikan.
Pendidikan menurut Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam pendidikan yang dijelaskan tersebut di atas, bahwa dalam pendidikan terdapat beberapa unsur:
1. Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan dilakukan secara sadar.
2. Ada pendidik, pemimpin atau penolong.
3. Ada peserta didik, anak didik.
4. Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan.
5. Dalam usaha itu terdapat alat-alat yang dipergunakan.
Dari pemaknaan tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan terbatas kepada pengembangan anak didik oleh pendidik, jadi terdapat pengaruh dari orang per orang atau manusia lain secara sadar. Kemudian, bagaimana dengan pendidikan yang dilakukan secara pribadi, dilakukan oleh alam, dilakukan oleh alam gaib dan lain sebagainya? apakah seperti itu tidak termasuk pendidikan? Dan pemaknaan pendidikan menurut Marimba ini yang dikatakan terbatas, karena pemahaman arti tersebut hanya bersifat kelembagaan saja, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kenyataanya bahwa dalam proses menuju perkembangan yang sempurna itu seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia juga menerima pengaruh(entah itu bimbingan atau bukan, tidak menjadi soal) dari selain manusia.
Sementara itu, Al Syaibany memaknai pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok hanya akan berhasil melalui interaksi seseorang dengan perwujudan dan benda sekitar serta dengan alam sekelilingnya, tempat ia hidup, benda dan persekitaran adalah sebagian alam luas tempat insan itu sendiri dianggap sebagai bagian dari padanya.
Dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa al Syaibany memahami bahwa pendidikan tidak hanya dipengaruhi dari individu lain, akan tetapi adanya interaksi dengan alam sekelilingnya dimana ia berada dan ia menjadi bagian di dalamnya.
Menurut Ali Ashraf, bahwa pendidikan adalah sebuah aktivitas tertentu yang memiliki maksud tertentu, yang diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya.
Dari penjelasan tentang pendidikan di atas , maka Penulis simpulkan bahwa pendidikan adalah Usaha manusia dalam pengembangan Rohani dan jasmani untuk suatu target yaitu, kebahagiaan di dunia dan dunia lain.
Lalu bagaimana pula dengan pendidikan Islam? Bagaimana pula dengan ilmu pendidikan Islam? Apakah keduanya sama atau kah terdapat perbedaan?
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam, namun apakah itu yang dinamakan pendidikan Islam? Menurut Azra, bahwa pendidikan yang dilekatkan dengan kata Islam telah didefinisakan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia (weltanschauung) masing-masing.
Namun, pada dasarnya, semua pandang yang berbeda itu bertemu dalam suatu pemahaman bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan satu generasi untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Dalam Islam dapat kita jumpai beberapa istilah tentang pendidikan, yaitu al Ta’lim, al Ta’dib, al Riyadhat, al Tarbiyyah dan lain sebagainya. Al Ta’lim dapat diartikan dengan pengajaran. Tetapi menurut Sayid Muhammad al Naquib al Attas, bahwa istilah al Ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakup juga pendidikan untuk hewan.
Al Attas menjelaskan bahwa Ta’dib berasal dari masdar Addaba yang diturunkan menjadi kata Adabun, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang. Definisi ini berbau filsafat, sehingga intinya adalah pendidikan menurut Islam sebagai usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan ini.
Sebaliknya, Abdurrahman al Nahlawi merumuskan definisi pendidikan dari kata al Tarbiyyah, yaitu pertama kata raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh, seperti yang terdapat dalam Al Qur'an surat al Rum ayat 39; kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar; ketiga, dari kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara. Menurut Imam al Baidlawi, di dalam tafsirnya arti asal al rabb adalah al Tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna. Berdasarkan ketiga kata itu, Abdurrahman al Bani menyimpulkan bahwa pendidikan terdiri atas empat unsur, yaitu pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; keempat, dilaksanakan secara bertahap. Dari sini, jelas bahwa pendidikan menurut Islam adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.
Adapun pendidikan Islam, menurut M. Yusuf al Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karenanya pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan kemampuan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal dan memetik hasilnya kelak di akhirat. Dengan demikian pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT Kepada Muhammad SAW.
Selain pendidikan Islam juga terdapat ilmu pendidikan Islam. Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isinya ilmu adalah teori, seperti ilmu bumi adalah teori tentang bumi, ilmu dagang adalah teori tentang dagang dan lain sebagainya. Sehingga ilmu pendidikan Islam adalah teori-teori tentang pendidikan berdasarkan Islam. Sebenarnya apakah isi ilmu itu hanya teori? Secara esensialnya berupa teori, tetapi secara lengkap isi suatu ilmu bukan saja teori, akan tetapi juga penjelasan-penjelasan tentang teori itu serta kadang-kadang terdapat data-data yang mendukung penjelasan itu. Sehingga isi ilmu terdapat tiga hal, yaitu teori, penjelasan dan data. Jadi, jika kita menemukan buku ilmu pendidikan Islam, maka sudah sewajarnya berisi ketiga komponen tersebut.
Pemahaman tentang ilmu pendidikan Islam, menurut Ahmad Tafsir ilmu adalah sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek yang empiris, benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis tidaknya dan ada tidaknya bukti empiris.
Bila teori itu logis dan ada bukti empiris, maka teori ilmu itu benar. Oleh karena itu, dalam ilmu pendidikan Islam harus terdapat teori-teori yang dapat diuji secara logis dan sekaligus empiris. Apabila tidak bisa, maka bukan suatu ilmu pendidikan Islam, bahkan mungkin ilmu pendidikan Islam adalah mistis (khayalan). Tafsir dalam bukunya menjelaskan definisi ilmu pendidikan Islam sebatas untuk membedakan antara ilmu pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam merupakan kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris. Masih menurut Tafsir bahwa untuk memahami tentang ilmu pendidikan Islam dapat dilakukan dengan cara merumuskan lebih dahulu definisi ilmu, definisi pendidikan dan definisi Islam, setelah itu disusun rumusan tentang ilmu pendidikan Islam.
b. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam
Bahwa setiap kegiatan apapun tentunya memiliki suatu tujuan, terdapat sesuatu yang ingin dicapai. Karena dengan tujuan itu dapat ditentukan kemana arah suatu kegiatan. Ibarat orang berjalan, maka ada sesuatu tempat yang akan dituju. Sehingga orang itu tidak mengalami kebingungungan dalam berjalan, andaikata kebingungan pun sudah jelas kemana ia akan sampai. Serupa dengan hal itu, tak ubahnya dalam dunia pendidikan, apakah pendidikan Islam maupun non Islam. Maka sudah dapat dipastikan akan memiliki suatu tujuan.
Tujuan, menurut Zakiah Darajat adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.
Sementara itu, Arifin mengemukakan bahwa tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.
Meskipun banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu. Upaya untuk memformulasikan suatu bentuk tujuan, tidak terlepas dari pandangan masyarakat dan nilai yang dianut pelaku aktifitas itu. Sehingga tidak mengherankan apabila terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing manusia, baik dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara, karena perbedaan kepentingan yang ingin dicapai.
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa suatu tujuan harus diambilkan dari pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya (philosophy of life) adalah Islam, maka tujuan pendidikan menurutnya haruslah diambil dari ajaran Islam.
Azra menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara –maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam sekala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam (ultimate aims of islamic education).
Selain tujuan umum itu, tentu terdapat pula tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Tujuan khusus ini lebih praxis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis itu dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Menurut Mohammad ’Athiyah al Abrasy, pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya sebenarnya dari pendidikan Islam. Definisi ini menggambarkan bahwa manusia yang ideal harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna akhlaknya. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (لاتمما مكرم الاخلاق)
Selain itu, Ali Ashraf menyatakan bahwa pendidikan bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya. Pemahaman ini terkesan bahwa tujuan utama pendidika Islam tiada lain adalah perwujudan pengabdian secara optimal kepada Allah SWT. Untuk dapat melaksanakan pengabdian tersebut, harus dibina seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi spiritual, intelektual, perasaan, kepekaan dan sebagainya.
Dengan demikian, melihat berbagai tujuan yang telah dikemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam tiada lain adalah untuk mewujudkan insan yang berakhlakul karimah yang senantiasa mengabdikan dirinya kepada Allah SWT.
c. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah, ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Manusia sebagai pendidik, sebagaimana pemahaman Marimba tentang pendidikan, bahwa salah satu unsur pendidikan adalah adanya pembimbing (pendidik). Pendidik adalah orang yang memikul pertanggunganjawab untuk mendidik. Kita sudah dapat membayangkan bahwa seorang pendidik adalah seorang manusia dewasa yang bertanggungjawab atas hak dan kewajiban pendidikan anak didik, tidak hanya membimbing dan menolong, akan tetapi lebih dari itu dengan segala pertanggunganjawab yang dipikulnya.
Sementara itu, Tafsir mengatakan bahwa pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggungjawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik, yang disebabkan oleh 2 faktor, yaitu pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Adapun guru yang kita pahami adalah seorang pendidik yang memberikan pelajaran kepada anak didik (murid), berupa mata pelajaran di sekolah. Walaupun demikian, pendidik yang utama terhadap anak didik adalah kedua orang tua.
Pendidik dalam pengertian lain, ada beberapa istilah, seperti ustadz, mu’alim, mu’adib, murabi dan lain sebagainya. Dari istilah-istilah itu pada dasarnya mempunyai makna yang sama, yakni sama-sama pendidik (guru). Pada hakikatnya pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif dan psikomotor.
Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
d. Hakikat Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Tujuan pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh falsafah dan pandangan hidup bangsa atau negara tersebut. Berbedanya falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa atau negera menyebabkan berbeda pula tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan tersebut. Begitu pula perubahan politik pemerintahan suatu negara mempengaruhi pula bidang pendidikan, yang sering membawa akibat terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi.
Kata kurikulum menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan kepada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan Crow and Crow, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematis dan koordinatif dalam rangka mencapai suatu tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Dari beberapa definisi tersebut, bahwa kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.
Sementara itu, kurikulum dalam pendidikan Islam, yaitu kata manhaj, yang bermakna jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Jadi, kurikulum yang dimaksud adalah jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
Dengan demikian, kurikulum hanya sebatas sarana untuk mendidik generasi muda dengan segala potensi yang dimilikinya sehingga mampu memikul tanggungjawab bagi dirinya, keluarga, masyarakat maupun bangsanya.
Ahmad Tafsir, merinci kurikulum dalam beberapa komponen, yaitu tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar dan evaluasi. Setiap komponen dalam kurikulum sebenarnya saling berkaitan bahkan masing-masing merupakan bagian integral dari kulum tersebut. Komponen tujuan mengarahkan atau menunjukkan suatu yang hendak dituju dalam proses belajar mengajar. Dalam operasinya tujuan ini dibagi menjadi bagian-bagian yang kecil. Bagian-bagian itu dicapai hari demi hari dalam proses belajar mengajar, yang dirumuskan dalam rencana pengajaran (lesson plan), disebut juga persiapan mengajar. Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar tersebut. Materi (isi) ini harus relevan dengan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Relevansi antara tujuan yang dingin dicapai dan isi proses belajar mengajar tidak gampang dalam operasionalnya. Karena untuk merelevansikan diperlukan pakar yang benar-benar ahli dalam merencanakan isi proses tersebut. Komponen berikutnya adalah proses belajar mengajar, mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam proses belajar mengajar, yakni dengan tidak membiarkan anak belajar sendirian, karena hasil belajarnya kurang maksimal. Karena itu para ahli menyebutnya dengan proses belajar mengajar sebab memang terdapat gabungan antara anak didik belajar dan guru mengajar yang tidak dapat dipisahkan. Komponen berikutnya evaluasi yakni kegiatan kurikuler berupa penilaian untuk mengetahui berapa persen suatu tujuan dapat dicapai. Maka ada ilmu khusus yang mempelajari tentang ini, yaitu teknik evaluasi. Dari hasil evaluasi ini biasanya dinyatakan dengan angka-angka yang dicapai siswa.
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa kurikulum mempunyai peran penting dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Apalagi ini tujuan pendidikan Islam yang begitu kompleks, seorang anak didik tidak hanya memiliki kemampuan secara afektif, kognitif maupun psikomotor, tetapi dalam dirinya harus tertanam sikap dan pribadi yang berakhlakul karimah.

C. Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan, maka penting rasanya untuk memahami hakekat pendidikannya, apalagi pendidikan Islam. Islam sebagai suatu agama dan ajaran mempunyai peran penting dalam menentukan arah kebijakan pendidikan dengan segala komponen yang melingkupinya, baik itu makna pendidikan itu sendiri, obyek manusianya, tujuan maupun kurikulumnya. Sehingga dari ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan yang diinginkan dalam suatu proses pendidikan.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Dalam Al Qur'an dan Hadits telah jelas bahwa keberadaan manusia dimuka bumi adalah sebagai khalifah yang mengemban peran penting dalam mengelola bumi dan segala isinya demi kemaslahatan umat. Dan dengan pendidikan diharapkan manusia tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.










DAFTAR PUSTAKA
Al Naquib al Attas, Syed Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir,( Bandung: Mizan, 1984).
Al Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj. Bustami A, Gani et.al, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
Al-Qur’an Terjemah,(Jakarta,Depag RI 1999)
Al Toumy al Syaibany, Omar Muhammad ,Falsafatut Tarbiyah Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, tt.).
Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).
Athiyah al Abrasyi, Mohammad, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990).
D. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989.)
Darajat, Zakaiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
Jalaluddin. Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2001),
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 1980.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al Ma’arif, 1984).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002).
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,