Minggu, 07 November 2010

DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI DAN TIDAK DISEPAKATI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.

Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.

Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.

Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dalil itu?

2. Apa saja dalil hukum yang disepakati?

3. Apa saja dalil hukum yang tidak disepakati?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Dalil

Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi.[1] Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).

Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu : sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).[2]

Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya.

2. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.

3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.

Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.[3]

Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran.

B. Dalil Hukum yang Disepakati

Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.[4]

Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

1. Al-Qur’an

a. Definisi

Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan. [5]

Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.

b. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum

Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.

Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.

c. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an

Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-hukum i’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.

Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.

Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.

Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:

a. Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.

b. Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.

Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan.

Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.

Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.

2. As-Sunnah

a. Definisi As-Sunnah

As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

1. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.


Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).

Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.

2. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.

3. Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.

b. Kehujjahan As-Sunnah

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah (diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.

Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.

c. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an

As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.

d. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an

Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.

1. As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.

2. As-Sunnah sebagai bayan (penjelas); takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)

3. Ijma’

a. Definisi

Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.

b. Kehujjahan Ijma’

Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang. [6]

Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amri sebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.

c. Macam-Macam Ijma’

Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :

1. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.

2. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.

Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.

1. Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.

2. Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.[7]

4. Qiyas

a. Pengertian

Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.

b. Rukun-Rukun Al-Qiyas

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut

1. Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).

2. Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)

3. Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al-Far’u.

4. Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.

C. Dalil Hukum yang Tidak Disepakati

Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan Syaru Man Qablana.

1. Isthisan

Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.[8]

Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.” [9]

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.[10]

Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.[11]

Kehujjahan Isthisan

Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.[12]

2. Isthisab

Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.[13]

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.[14]

Jenis-jenis Istishhab

Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:

a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas

b. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu

c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan. [15]

Kehujjahan Isthisab

Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.[16]

3. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)

Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .[17]

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).

Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.

Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.

1. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlahat mursalah.

2. Sinergi dengan maqhasid syari’ah

3. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).[18]

Kehujjahan Maslahah Mursalah

Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”. [19]

Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.

Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.

Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. [20]

4. ‘Urf

a. Pengertian

Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.[21]

b. Pembagian urf

1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam

a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan

b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.

2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :

a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’

b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara

3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :

a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang

b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.

c. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam

1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.

2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..

3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.[22]

d. Kehujjahan ’urf

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan

Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’

Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas

5. Mazhab Shahabi

baca Selengkapnya di :



[1] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999), hlm. 24.

[2] Ilmu Ushul Fiqh,

[3] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999), hlm. 25.

[4] http://www.cybermq.com/dalil/hukum/yang/disepakati/dan/tidak/disepakati/06/11/2010/16.20

[5] Ibid

[6] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 42.

[7] http://www.cybermq.com/

[9] Ibid

[12] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 110.

[13] http://

[14] Ibid,

[15] Ibid,

[16] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 128.

[19] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 117.

[20] http://www.

[21] http://www.

[22] Ibid

Rabu, 20 Oktober 2010

DEFINISI, RUANG LINGKUP, DAN KEGUNAAN METODE PAI

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pendidikan agama merupakan bagian penting dalam pendidikan untuk membentuk insan kamil. Agama islam sebagai bagian dari sejumlah agama didunia, merupakan agama yang mempunyai pandangan hidup bahwa dunia adalah sesuatu yang fana dan permaianan belaka. Manusia beragama akan lebih mementingkan kehidupan akhirat sehingga ia akan menjadikan dunia ini sebagai lapangan kebajikan untuk memperoleh kehidupan yang sempurna di akhirat kelak.

Salah satu jalan untuk mencapai kehidupan kamil ini adalah dengan adanya pendidikan agama, lebih khusus yakni pendidikan agama islam sebagai agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun demikian realitanyamenunjukkan adanya kegagalan pendidikan agama islam di lingkungan kita.

Pendidikan agama islam sebagai bagian dari pendidikan agama islam merupakan salah satu bagian dalam mencapai tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia yang kamil. Pendidikan sebagai transfer of knowledge merupakan mata tombak utama dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama islam. Dimana dengan adanya pendidikan ini maka ajaran-ajaran agama dapat diwariskan kepada generasi berikutnya dan benar-benar terinternalisasi dalam diri generasi mendatang.

Salah satu alat pendidkan agama islam yakni metode pendidikan agama islam. Yang mana dengan menggunakan metode yang tepat maka ajaran-ajaran agama dapat diserap oleh anak didik dengan sebaik-baiknya. Metode yang tepat akan menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Sebagai seorang calon pendidik agama islam maka kita perlu mengetahui metode-metode dalam pendidikan agama islam. Dengan mengetahui metode-metode tersebut maka kita diharapkan mampu menyampaikan materi-materi ajaran agama islam dengan berbagai variasi sehingga tujuan pendidikan agama islam dapat tercapai dengan lebih mudah.

  1. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Metode Pendidikan Agama Islam?

2. Apa saja Ruang Lingkup Metode Pendidikan Agama Islam?

3. Apa Kegunaan Metode Pendidikan Agama Islam?

  1. Tujuan Penulisan

1. Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang definisi, ruang lingkup dan kegunaan atau fungsi dari metode pendidikan agama islam

2. Mengetahui tentang arti pentingnya metode dalam pendidikan dan khususnya pendidikan agama Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Metode Pendidikan Agama Islam

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang metode pendidikan agama islam, maka pada bagian ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian dari metode pendidikan agama islam itu sendiri. Secara etimologi metode berasal dari bahasa Yunani ”methodos”, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.

Secara terminologi metode diartikan sebagai tata cara untuk melakukan sesuatu. [1] Saliman & Sudarsono. Kamus Pendidikan, Pendidikan dan Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).lebih dari itu metode didefinisikan sebagai cara kerja atau cara yang teratur dan sistematis untuk melaksanakan sesuatu.[2] Dan hampir sama dengan arti tersebut metode diartikan sebagai cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, dengan menggunakan teknik dan alat-alat tertentu.[3] Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia tahun 1988 sebagaimana yang dikutip oleh Erwati Aziz, metode mengandung arti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[4]

Pengertian seperti diatas dapat digunakan pada berbagai objek termasuk pendidikan. Sehingga metode pendidikan merupakan cara yang teratur dan terpikir baik-baik yang digunakan untuk memberikan pelajaran kepada anak didik. DR. Nana Sudjana mendefinisikan metode pendidikan sebagai cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pendidikan.[5] Dan ketika dilekatkan dengan agama islam maka definisinya adalah metode tentang pendidikan materi-materi agama islam.

Dari pengertian diatas kami merumuskan pengertian metode pendidikan agama islam adalah sebagai cara kerja yang teratur dan sistematis serta memikirkan semua faktor-faktor yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan agama islam atau untuk menyampaikan materi-materi pendidikan agama islam secara efektif dan efisien.

  1. Ruang Lingkup Metode Pendidikan Agama Islam

Metode pendidikan merupakan salah satu sarana yang amat penting dalam mencapai tujuan pendidikan. E. Mulyasa menuliskan bahwasannya dalam proses interaksi edukasi seorang pendidik atau guru harus mampu memberikan pengalaman yang bervariasi, serta memperhatikan minat dan kemampuan siswa.[6] Masih menurut E, Mulyasa bahwasannya pembelajaran perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru. Senada dengan E. Muyasa, Nana Sudjana menyatakan bahwa proses interaksi edukasi akan berjalan baik jika siswa banyak aktif dibanding dengan guru. Oleh karena itu metode belajar yang baik adalah yang dapat menumbuh kembangkan kegiatan belajar siswa.[7]

Adapun segi-segi atau pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan islam sekaligus menjadi ruang lingkup metode pendidikan agama islam adalah sebagai berikut:

1. Kurikulum, dalam menggunakan metode perlu memperhatikan aspek kurikulum, sebagaimana diketahui kurikulum merupakan jalur yang mesti dijadikan sebagai pedoman dalam penggunaan metode untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Perbuatan mendidik itu sendiri. Maksudnya adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi/mengasuh anak didik. Dapat juga dikatakan sebagai Proses.

3. Anak didik Yaitu merupakan obyek terpenting dalam pendidikan islam

4. Dasar dan tujuan pendidikan islam Yaitu landasan yang menjadi fundament dan sumber dari segala kegiatan pendidikan islam yang dilakukan

5. Pendidik Yaitu subyek yang melakukan pendidikan islam

6. Materi Pendidikan Islam. Yaitu bahan-bahan, atau pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama islam

7. Alat-alat pendidikan islamYaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan islam agar tujuan pendidikan islam tersebut lebih berhasil

8. lingkungan sekitar atau millieu pendidikan islamYaitu keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan islam

Pendidikan merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena pada dasarnya pendidikan agama islam merupakan transformasi nilai-nilai islam sebagai substansi dan implikasi dari segala aspek kehidupam. Oleh karena itu, maka dibutuhkan penyesuaian antara masing-masing komponen dengan komponen yang lain, salah satunya adalah metode pendidikan agama Islam.

Menurut Abu Ahmadi, dalam bukunya, “Didaktik dan Metodik” mengatakan, bahwa ruang lingkup Pendidikan Islam Pada lima hal seperti di bawah ini.

1. Perencanaan

Perencanaan (planning) adalah suatu kegiatan kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan aktivitas.[8] Menurut Robert Glasar, langkah pertama dalam membuat persiapan mengajar ialah menentukan tujuan pengajaran yang handal di capai pada jam pelajaran yang bersangkutan, langkah kedua ialah menentukan intering bahavior, entering behavior ialah langkah tatkala guru menentukan kondisi siswanya yang mencakup kondisi umum serta kondisi kesiapan kemampuan belajarnya. Langkah ketiga ialah menentukan prosedur (langkah-langkah)mengajar, langkah keempat ialah menentukan cara dan teknik evaluasi. [9]

2. Bahan Pembelajaran

Bahan juga disebut juga dengan materi yaitu, suatu yang diberikan kepada siswa saay berlangsungnya proses belajar mengajar (PBM)

3. Strategi Pembelajaran

Strategi berarti “rencanan yang cermat mengenai kegaiatan untuk mencapai sarana khusus adalah tindakan guru dalam melaksanakan rencana pemelajaran

4. Media Pembelajaran

Media disebut juga dengan alat yaitu sarana yang dapat membantu PBM atau menetapkan alat penilaian yang paling tepat untuk menilai sarana (anak didik) tersebut.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian pada dasarnya adalah memberikan pertimangan atau nilai berdasarkan kreteria tertentu. Fungsi penilaian hasil belajar yang di lakukan dalm PBM adalah Untuk mengetahui tercapainya tujuan pengajaran, dalam hal ini adalah TIK, Untuk mengetahui keefektifan PBM yang telah dilakukan guru, dalam hal ini guru sangat di harapkan kompeten dalam mengajar.[10]

  1. Kegunaan Metode Pendidikan Agama Islam

Tentang fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan tersebut. Sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari dua pendekatan ini segera dapat dilihat bahwa pada intinya metode berfungsi mengantarkan suatu tujuan kepada objek sasara dengan cara yang sesuai perkembangan objek tersebut.

Dalam al-Qur'an metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang kepada tujuan penciptaan-Nya sebagai khalifah di muka bumi dengan melaksanakan pendekatan dimana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi rohaniah dan jasmaniah yang keduanya dapat digunakan sebagai saluran penyampaian materi pelajaran. Karenanya terdapat suatu prinsip yang umum dalam memfungsikan metode, yaitu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan. Banyaknya metode yang ditawarkan para ahli lebih merupakan usaha mempermudah atau mencari jalan paling sesuai dengan perkembangan jiwa si anak dalam menerima pelajaran.

Pada kenyataannya, metode merupakan sesuatu yang sangat penting dalalm terciptanya sebuah pendidikan yang ideal. Dengan metode-metode seorang pendidik akan bisa menyampaikan ilmunya kepada peserta didik. Tetapi jika pendidik tidak memiliki metode dalam penyampaian materi pendidikan, maka peserta didik akan kesulitan dalam memahami materi yang disampaikan. Metode bisa dikatakan adalah sebagai jembatan yang menghubungkan pendidik dengan anak didik kepada tujuan pendidikan, yaitu terbentuknya kepribadian. Bila dikaitkan dengan Islam kepribadian ini lebih mengarah pada kepribadian muslim, yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.

Dengan demikian, jelaslah bahwa metode sangat berfungsi dalam menyampaikan materi pendidikan. Karena dengan metode seorang pendidik akan lebih mudah dalam memberikan materi. Dan peserta didik akan mudah dalam memahami apa yang disampaikan oleh pendidik.

BAB III

KESIMPULAN

Dari sedikit uraian di atas dapat dismpulkan bahwa komponen-komponen pendidikan satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, begitu juga dengan pendidikan agama islam. Metode Pendidikan Agama Islam adalah merupakan salah satu komponen penting dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan agama islam.

Untuk mencapai tujuan pendidikan baik pendidikan secara umum ataupun pendidikan agama Islam perlu mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi metode pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

Ad-Damsyiqi, Al-Hanafi, Ibnu Hamzah Al-Husaini, Asbab al-Wurud, Jakarta: Kalam Mulia, 2003

Anwar, Qomari Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, Jakarta: Uhamka Press, 2003

Chalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW., Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994

Dahlan al-Barri & M. Pius A. Partanto. Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya : Arkola, 1994).

Gulen, M. Fethullah, Versi Teladan: Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. (Terj.), Jakarta: PT. Rosda Karya, 2002.

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996

Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001

Saliman & Sudarsono. Kamus Pendidikan, Pendidikan dan Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).

Zuhairimi, Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997



[1] Saliman & Sudarsono. Kamus Pendidikan, Pendidikan dan Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).

[2] Dahlan al-Barri & M. Pius A. Partanto. Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya : Arkola, 1994).

[3] Alimanjogja.blogspot.com/

[4] Erwati Aziz. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam . hal.79

[5] Nana Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Hal. 76

[6] E. Mulyasa. Menjadi Guru Profesional “menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan”. Hal. 107

[7] Nana Sudjana. Dasar-dasar…h.76

[8] Dr. Armai Arief, M.A, Pengantar Ilmu dan Metode Pendidikan Islam: Ciputat Pers, 2002, hlm. 89

[9] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, h. 61

[10] Zuhairimi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: BUmi Aksara, 1997, h. 18