ISLAM

AL QUR’AN TENTANG ASAL USUL MANUSIA
( Sebuah Studi Perbandingan Tafsir )
Oleh Yuyut Wahyudi
Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Pati Semester VII

Pada tahun 1971 yang silam, seorang sarjana biologi berkebangsaan Inggris yang bernama Charles Darwin (1809 – 1882) telah mempublikasikan bukunya yang berjudul The Descent of Man on The Selection in Relation to Sex. Dalam karya yang munumental ini, ia telah mengemukakan teori kontroversial tentang asal mansia.
Meskipun teori yang menggemparkan dunia ini sudah berusia lebih dari satu abad, namun hingga saat ini masih menjadi perbincangan yang aktual di kalangan para sarjana dan ulama. Menurut teori tersebut, manusia yang ada sekarang sebenarnya adalah hasi evolusi terkhir dari makhluk hidup yang lebih sederhana yang merupakan aal dari semua jenis kera atau monyet.1
Dengan demikian, semua jenis kera dari yang besar dan tidak berekor, seperti orang hutan, gorilla dan simpansi sampai kepada yang kecil sebesar bajing seperti tersier dianggap Darwin masih satu kerabat atau seketurunan dengan manusia, namun makhluk yang menjadi mata rantai yang menghubungkan jenis kera dan manusia itu sudah punah. Makhluk ini kemudian disebut missinglink atau mata rantai yang hilang.
Alasan Darwin beranggapan demikian, karena antara manusia dan jenis kera itu terdapat banyak persamaan dalam struktur tubuh. Bahkan dari beberapa fosil yang ditemukan dari berbagai penggalian di beberapa pulau dn benua, menurut pendukung teori evolusi, telah memberikan petunjuk kepada kita bahwa di permukaan bumi ini pernah hidup sejenis makhluk yang bentuk dan volume tengkorak orang hutan. Menurut dugaan mereka, makhluk tersebut adalah makhluk manusia purba yang sudah punah dan tidak dapat lagimelanjutkan eksistensinya, karena seleksi alam dan perjuangan hidup.
Dengan bantuan geologi, palaentologi dan arkeologi, para sarjana kemudian dapat memperkirakan usia fosil-fosil manusia purba itu. Dengan diketahuinya usia fosil-fosil tersebut, mereka kemudian membuat deskripsi perjalanan evolusi manusia dari tingkat yang paling rendah hingga manusia mutaakhir melalui tahapn-tahapan dan setiap tahapan memerlukan waktu yang sangat panjang. Tahapan-tahapan tersebut, antara lain dapat dibagi kepada empat yaitu :
1. Tahap pertama, Australopithecus. Australos artinya Selatan dan Pithecus artinya kera. Jadi Australopithecus berarti kera dari Selatan. Dinamainya mkhluk purba ini dengan Australopithecu, karena fosil-fosil mereka ditemukan di daerah Amerika Selatan dengan struktur tubuh masih campuran ntara kera dan manusia.
2. Tahap kedua, Pithecantropus. Makhluk ini lebih maju dari Australopithecu, sebab sudah dapat berdiri dan berjalan tegak dengan tinggi sekitar 170 cm dan berat badan sekitar 150 pon.
3. Tahap ketiga, Homo Neanderthalensis. Jenis manusia ini sudah mempunyai peradaban, sebab mereka sudah bisa menguburkan mayat, mempunyai sikap tertentu mengenal alat-alat dari batu, sudah mulai hidup di gua-gua, memelihara anak-anaknya dan menutup badannya dengan kulit binatang.
4. tahap keempat, Homo Sapiens. Homo berarti manusia dan Sapiens berarti bijaksana. Jadi Homo Sapiens berarti manusia yang bijaksana. Tahap ini adalah tahap terakhir dari evolusi manusia, sebab manusia inilah yang menjadi nenek moyang Homo Sapiens menurut Prof. Weidenreich adalah manusia Neanderthal. 2
Teori ini tentu saja berlawanan dengan teori penciptaan yang menyatakan bahwa manusia itu bukanlah berasal dari hasil evolusi terakhir dari makhluk yang lebih sederhana tingkatannya, tetapi memang telah diciptakan oleh Tuhan sejak semula dalam betuk seperti sekarang. Teori penciptaan ini pada prinsipnya bersandar pada pernyataan yang tersebut dalam kitab Perjanjin Lama, menurut pernyataan tersebut, manusia yang pertama talah diciptakan dari debu tanah, kemudian dihembuskan-Nya nafas hidup ke dalam hidungnya sehingga manusia itupun hidup. Agar manusia tersebut tidak merasa kesepian, Tuhan lalu menciptakan pasangan (isteri) nya dari salah satu tulang rusuknya, yang diambil ketika ia sedang tertidur lelap.3 Manusia yang pertama disebut Adam dan yang kedua dinamai Hawa. Setelah kedua makhluk yang berlainan jenis ini melakukan coites, maka Hawa pun bunting dan kemudian melahirkan anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak mereka ini beranak pinak lagi dan begitulah seterusnya sehingga ummat manusia itu tersebar ke seluruh pelosok permukaan bumi.4
Dengan adanya dua teori tentang asal usul manusia yang saling berlawanan ini, maka tidaklah heran jika muncul pertanyaan, bagaimana pandangan Al Qur’an tentang asal uul makhluk Tuhan yang unik itu, apakah selaras dengan teori evolusi atau selras denga teori penciptaan atau mempunyai teori yang mandiri ? Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, para sarjana dan ulama Islam, khususnya yang berkecimpung di bidang tafsir telah memberikan jawaban yang bervarias. Oleh karena jawaban mereka demikian, maka baiknya dalam tulisan ini penulis mencoba mengetengahkan dan kemudian menganalisanya satu persatu, Dari sini, penulis kemudian mengambil kesimpulan tentang asas usul manusia menurut Al Qur’an.
Al Qur’an adalah kitab suci dari Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjadi petunjuk bagi seluruh ummat manusia sepanjang masa. Sebagai kitab yang memberi petunjuk kepada manusia, maka Al Qur’an pun ikut menjelaskan asal usul mereka, mekipun dengan ungkapan yang masih umum, yaitu antara lain seperti disebutkan di surah An Nisa ayat 1 yang artinya :
Wahai manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakankamu dari diri yang satu dan menciptakan pasangannya daripadanya. Dan dari keduanya itulah ia membiakkan pria dan wanita yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu.
Oleh karena ungkapan ini masih umum, maka tidak heran jika muncul beberapa pendapat di kalangan ulama tafsir di dalam memahami dan mentafsirkan di kalangan kata-kata nafswahidah (diri yang satu), zaujaha (pasangannya) dan minha (dari padanya).
Menurut ulama tafsir dari kalangan Ahlu Al Sunnah dan Mu’tazillah, yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam As dan pasangannya adalah Hawa. 5 Dasar mereka berpendapat demikian adalah beberapa buah hdits yang telah menyatakan seperti itu.Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA ”An nasu min Adam wa Adam min Turabin” yang berarti “Semua manusia dari Adam dan Adam dari Tanah”
Akan tetapi dari apa Hawa diciptakan oleh Allah, mereka berbeda berpendapat. Menurut ulama tafsir Ahlu Al Sunnah, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang sebelah kiri yang paling atas.7 Alasan mereka berpendapat demikian, karena memang ada beberapa hadits yang menyatakan begitu. Misalnya hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas RA.
Menurut riwayat tersebut, tatakala Adam berada di surga seorang diri dan merasa kesepian, lalu untuk menentramkan hatinya, Allah kemudian menciptakan pasangan (isteri) nya dari tulang rusuknya yang sebelah kiri, yang dimbil-Nya ketika ia sedang tidur. Ketika Adam terbangun, ia sudah menemukan seorang wanita yang sedang duduk di sisi kepalanya. Wanita itu berucap kepdanya “ Datangilah aku”.8
Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda :
Nasehatilah olehmu wanita itu sebaik-baiknya, sebab sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya yang paling bengkok pada tulang rusuk itu adalah yang paling atasnya, Maka jika engkau terus menerus meluruskannya berarti engkau telah mematahkannya dan jika engkau membiarkanya, ia akan tetap bengkok. Karena itu nasehatillah kum wanita.
Sedangkan menurut ulama tafsir Mu’tazillah, antara lain seperti yang dikatakan oleh Abu Muslim Al Ashfahani (w.322 H.) bahwa yang dimaksud dengan pasangan Adam diciptakan daripadanya adalah bahwa Hawa itu diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, bukan dari tulang rusuknya.10 Untuk memperkuat pendaptnya ini, Abu Muslim mengutip beberapa ayat sebagai perbandinga, yaitu :
1. Firman Allah Surah Al Nahl ayat 72 menyatakan :
“ Dan Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan untuk kamu dari dirimu sendiri
2. Firman Allah Surah Al Taubah ayat 128 menyatakan :
“ Sesungguhnya telah datang kepada mu seorang Rasul dari dirimu sendiri
3. Firman Allah Surah Al Jumu’ah ayat 2 menyatakan :
“ Dialah yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang ummi seorang Rasul dari mereka
Kata-kta min anfuskum (dari dirimu sendiri) yang terdapatpada ayat pertama dan kedua, kata-kata minhum (dari mereka) yang terdapat pada ayat ketiga tidak ada yang berkonotasi kepada pengertian dari tulang rusuk kamu sendiri, tetapi semuanya mengandung pengertian dari jenis yang sama dengan dirimu atau diri mereka. 11
Pendapat Abu Muslim ini tidak hanya diikuti oleh par mufassir Mu’tzillah, tetapi juga telah diikuti oleh sementra ulama tafsir Ahlu Al Sunnah angatan baru. 12
Nampaknya ulama tafsir Mu’tazillah dan Ahli Sunnah angkatan baru ini tidak mau menerima hadits-hadits yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk. Penolakan mereka terhdap hadits-hdits tersebut dapat dipahami, sebab orang-orang Mu’tazillah dikenal sebagai orang-orang rasional, sedangkan orang-orang Ahlu Al Sunnah angkatan baru sudah pula mengarah kepada paham rasionalis sebagai akibat tuntutan zaman modern.
Selain itu, jika matan dan sanad hadits-hadits yang diriwaatkan oleh Ibnu Mas’uddan Ibnu Abbas di atas diamati secara cermat, maka akan dapat diketahui bahwa hadits-hadits tersebut belum menyakinkan berasal dari Rsulullah SAW bahkan sebaliknya berat dugaan berasal dari cerita-cerita Israiliyat. Dikatakan demikian, karena sanad dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kedua sahabat itu hanya berakhir sampai mereka (mauquf) dan tidak sampai kepada Rasulullah SAW (marfu’). Mengingat hal ini dapat diperkirakan bahwa ceritera tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk suaminya hanyalah merupakan penafsiran dari kedua sahabat tersebut, yang sebelumnya mereka peroleh dari informasi orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam. Namun asumsiini telah dikesampingkan oleh para ulama Ahlu Al Sunnah, dan sebaliknya mereka berbaik sangka saja kepda para sahabat bahwa mereka telah mengetahui ceritera tersebut dari Rasulullah SAW sendiri.
Adapun hadits-hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa “Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk” memang diakui kebenarannya, sebab hadits-hadits yang senada dengan ini adalah hadits-hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Akan tetapi jika matan hadits tersebut diamati secara seksama, maka tidak dijumpai di daamnya kata-kata Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Di samping itu kata-kata “Wanita itu diciptakan daritulang rusuk”, tidak mesti diartikan menurut harfiahnya yaitu wanita benar-benar diciptakan dari tulang rusuk. Kata-kata tersebt lebih tepat diartikan menurut arti majazi, yaitu wanita itu diciptakan seperti tulang rusuk. Dalam hal kebengkokan kodratnya. Kalau tulang rusuk yang bengkok diluruskan secara paksa, maka tulang itu akan patah, tetapi jika tidak diluruskan maka tulang itu tetap bengkok sebagai keadaannya semula. Wanita pun tidak beda keadaanya dengan tulang rusuk tersebt, Jika mereka ditegur dan dinasehati secara terus menerus dan paksa, maka mereka pun akan berontak dan patah arang. Tetapi jika tidak ditegur atau dinasehati, maka sifat dan tingkah laku mereka akan bengkok selamanya. Karena itu memberi nasehat mereka harus dengan cara yang bijaksana dan sebaik-baiknya yang tidak menyinggung perasaan mereka. Sebab mereka diciptakan Tuhan dengan kodrat lebih mengutamakanrasa dari rasio.
Mengartikan hadits Rasulullah “Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk” menurut arti majazinya lebih tepat dari mengartikannya menurut harfiahnya telah pula diperkuat kebenarannya oleh hadits-hadits lain yang kebetulan juga diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim.
Misalnya dalam shahih Al Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Wanita itu seperti tulang rusuk. Jika engkau meluruskannya, berarti engkau mematahkannyaa, dan jika engkau bersenang-senang dengan dia, niscaya engkau bersenang-senang dengan dia, dan padanya tetap ada kebengkokan “.
Kemudian didalam shahih Muslim telah pula diriwayatkan :
“Sesungguhnya perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk, Dia tidak akan lurus untuk engkau di atas satu jalan (cara). Jika engkau bersenang-senang dengan dia, niscaya engkau bersenang-senang dengan dia, dan padanya tetap ada kebengkokan. Dan jika engkau coba meluruskannya secara terus menerus, niscaya engkau mematahkannya. Dan patahnya adalah thalaknya “.
Pada hadits pertama, sudah jelas tidak ada dijumpai keterangan bahwa Hawa dari tulang rusuk Adam. Pada hadits kedua lebih jelas lagi bahwa yang dimaksud dengan pernyataan “Wanita dari tulang rusuk” hanyalah sebagai perumpamaan. Pada hadits ketiga semakin jelas lagi, karena di dalamnya dinyatakan bahwa kalau pria atau pihak suami selalu bersikap keras kepala kepada kaum wanita atau isterinya, dan tidak menghadapinya dengan cara yang bijaksana, maka akan terjadilah thalak dan rumah tangga pun akan menjadi berantakan.
Denga demikian, terlepas dari apakah Hawa itu diciptakan dari tulang rusuk Adam atau dari jenis yang sama dengan Adam baik dari segi materi maupun kemanusiaannya, para ulama tafsir baik dari kalangan Ahlu Al Sunnah maupun Mu’tazilllah sepakat mengatakan bahwa manusia pertama yang telah menjadi nenek moyang manusia sekarang adalah Adam AS yang diciptakan oleh Tuhan secara langsung dari tanah, bukan melalui evolusi.
Sebaliknya manurut para ahli tafsir dari kalangan modernis yang dipelopori oleh Syekh Muhammad Abduh, manusia pertama bukan Adam. Salah seorang muridnya yang terdekat, yaitu Sayid Muhammad Rasyid Ridla telah menguraikan pendapt gurunya itu dengan panjang lebar dala tafsir Al Manar. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Manurut Abduh, lahir ayat tidak pernah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah (diri yang satu) itu adalah Adam AS baik sebagai bapak dari seluruh ummat manusia ataupun bukan.
2. Tidak ada satupun nash yang qath’I dari Al Qur’an yang menyatakan bahwa seluruh manusia berasal dari Adam.
3. Mangakui Adam sebagi manusia pertama berarti menentang hasil penemuan ilmiah dan sejarah.
4. Sbelum Adam yang populer di kalangan ummat Islam manurut orang-orang Syi’ah dan Shufi, sudah terdapat beribu-ribu Adam di muka bumi ini.
5. Yang dimaksud dengan nafs wahidah (diri yang satu) yang tersebut dalam firman Allah di Surah Al Nisa ayat 1 adalah al Insaniyyah (kemanusiaan). Sedangkan yang dimaksud dengan minha (daripadanya) adalah pasangannya pun diciptakan dari jenis yang samapula kemanusiaannya.15.
Akan tetapi meskipun Abduh tidak sependapat dengan paa ulama tafsir Ahlu Al Sunnah dan Mu’tazillah tentang Adam sebagai manusia pertama, tidak berarti dia melarang orang lain mempercayainya. Sebab tidak ada satu nash pun yang qath’i katanya yang menegaskan Adam adalah manusia pertama atau bukan manusia pertama.
Di samping itu meskipun Abduh berpendapat bawa Adam bukan manusia pertama, tidak berrti ia menganut teori evolusi. Sebab di dalam tafsir Al Manar tersebut, tidak pernah disebut-sebut bahwa ia berpendapat seperti Darwin dan para pendukungnya, meskipun ia tidak menolak adanya fosil-fosil manusia purba yang telah ditemukan oleh para sarjana itu.
Tetapi sepeninggal Abduh, tidak sedikit para sarjana muslim yang mempunyai pendapat yang lebih maju dari tokoh modernis ini. Mereka tidak hanya manolak Adam sebagai manusia pertama, tetapi juga mengakui kebenaran teori evolusi tersebut. Manurut mereka, tidak ada pertentangan antara Al Qur’an dengan teori evolusi tidak berarti menolak keyakinan bahwa Allah lah yang menciptakan manusia dan segalanya di alam semesta ini. Menurut mereka penciptaan itu bisa terjadi dengan bertahap. Memang diakui, kekuasaan Allah sangat mutlak, dan apabila Ia menghendaki sesuatu, Ia hanya berfirman “kun fayakun” yang berarti jadilah, maka sesuatu itu pun jadi. Demikian pua ketika, IA mau menciptakan Adam, Allah hanya berfirman “kun fayakun”.
Meskipun dilihat dari segi harfiyahnya, firman Allah “kunfayakun” ini memberika kesan bahwa Allah telah menciptakan Adam secara tiba-tiba dan sekaligus, namun tidak berarti IA telah menciptakannya dengan cara sim salabim. Sebab, yang dimaksud dengan firman Allah tersebut adalah “apa pun yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terlaksana dan tidak pernah gagal”. Berbeda dengan kita apa saja yang kita kehendaki, belum tentu terlaksana, meskipun kita telah memperjuangkannya mati-matian.Karena itu, antara kun dan fayakun, terdapat tenggang waktu melalui suatu proses evolusi yang sesuai dengan hukum perkembangan bagi setiap ciptaan Allah.
Adanya tenggang waktu antara kun dan fayakun ini dapat pula dipahami dari firman Allah di Surah Al Hijr ayat 28 – 29 :
“Dan ingatla ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku (akan) menciptakan seorang manusia dari tanah liat yang kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka setelah Aku menyempurnakan dan Aku tiupkan kepaanya roh (ciptaan) Ku, maka bersimpuhlah kamu bersujud kepadanya”
Dalam kata-kata menciptakan dan menyempurnakan pada kedua ayat di atas tersimpul pengertian evolusi. Artinya, Adam itu telah diciptakan Allah secara bertahap dari tingkatan sederhana kepada tingkatan yang lebih tinggi dan akhirnya sempurna seperti sekarang ini. Sedangkan yang dimaksud dengan Adam itu sendiri, bukanlah Adam sebagai individu, tetapi Adam sebagai simbolis manusia. Karena itu kisah Adam yang tersebut di dalam Al Qur’an, bukanlah kisah historis melainkan kisah simbolis yaitu simbolis dari manusia pada umumnya, termasuk diri kita. 16
Selain dari pendapat-pendapat di atas, masih ada sebuah pendapat lagi yang perlu dikemukakan di sini yaitu pendapat dari Nazwar Syamsu dalam bukunya Al Qur’an Tentang Al Insan.
Manurut Nazwar, manusia pertama itu bukanlah Adam, tetapi perempuan, sebab firman Allah di Surah Al Nisa ayat 1 yang telah menyatakan demikian. Di dalam ayat ini, terdapat kata-kta nafs wahidah dan zaujaha. Meskipun kata-kata nafs itu berbentuk singuler feminene gender sehingga wujudnya mungkin laki-laki atau perempuan, namun kata-kata nafs dalam Surah Al Nisa ayat 1 tadi, secara tegas menyatakan bahwa manusia pertama adalah perempuan, yang daripadanya lahirlah seorang anak laki-laki melalui proses yang kini disebut dengan Parthenogeneses, yaitu kehamilan perempuan tanpa suami. Anak yang telah dilahirkannya ini, kemudian menjadi suaminya atau zaujaha. Istilah zaujaha di Surah Al Nisa ayat 1 ini, biasa diterjemahkan orang dengan istrinya karena orang sudah sekian lama dipengaruhi oleh ajaran Bibel mengenai kejadian Adam sebagai yang tercantum pada Geneses (kejadian) yang tidak dapat diterima oleh para sarjana ilmiah itu. Sementara itu, kalau orang sudi memperhatikan, maka ia akan mengetahui bahwa zaujaha benar-benar berarti suaminya, sebagai yang tercantum dalam firman Allah di Surah Al Mujadalah ayat satu
“Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar pernyataan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Sementara itu, memang ada juga istilah yang berarti isterinya, tetapi istilah itu berbunyi zaujhu, bukan zaujaha antara lain seperti yang terdpat dalam Surah Al Anbiya ayat 90 :
“Maka Kami perkenankan do’anya dan Kami Anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung”
Untuk memperkuat pendapatnya ini, Nazwar Syamsu di samping mengemukakan kelahiran Isa dari Ibunya Maryam tanpa suami, ia juga menyebutkan kasus lain yang serupa yang dialami nona Young, yang telah melahirkan anaknya tanpa ada suami dan hubungan sex, sebagaimana yang telah dikutipnya dari keterangan dalam majalah Kartini nomor 5 tahun 1975 halaman 32. 17
Demikian beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ulama tafsir dan sarjana muslim dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan asal usul manusia. Namun sehubungan dengan pendapat-pendapat ini, tidak mustahil akan muncul pertanyaan, manakah di antara pendapat-pendapat tersebut yang benar atau yang paling dapat dipercaya, sebab tidak mungkin semuanya benar.
Sebelum pertanyaan ini dijawab, terlebih dahulu kita harus mengetahuikonsep Ilmu Tafsir tentang cara menafsirkan Al Qur’an yang benar, sebab munculnya semua pendapat di atas adalah dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah asal usul manusia.
Adapun cara menafsirkan Al Qur’an yang benar menurut konsensus para ulama tafsir dan persetujuan Rasulullah SAW, 18 sebagai berikut :
1. Sebelum kita melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mencari (penjelasannya di dalam Al Qur’an sendiri). Sebab tidak sedikit masalah-masalah yang telah diungkapkan di dalam ayat tertentu secara singkat, umum dan global, diungkapkan lagi di ayat-ayat lain secara panjang lebar, definitif dan rinci. Adapun sebabnya Al Qur’an ini dijadikan sebagai sumber pertama bagi tafsir, karena kitab suci tersebut adalah kalam Allah, dan tidak ada yang paling mengetahui maksud yang tertuang dalam kalam-Nya itu kecuali Dia sendiri.
2. Apabila penjelasan tersebut tidak ditemukan di dalam Al Qur’an, maka kita harus mencarinya dalam Sunnah Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun persetujuan (taqrir) beliau,. Sebab tugas beliau yang berkenan dengan Al Qur’an, tidak hanya sekedar menyampaikan dan mambacakan teksnya kepada ummat, tetapi juga menjelaskan maksud dari kandungannya. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah di Surah Al Nahl ayat 44 : “Kami telah manurunkan Al Qur’an kepad engkau (hai Muhammad) agar engkau menjelaskan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka itu, semoga mereka memikirka”.18
3. Apabila di dalam Sunnah tidak pula dapat kita temukan penjelasan itu, maka cari informasi dari sahabat (qaul sahabi) yang berkenaan dengan sebab, latar belakang, situasi dan kondisi diturunkannya ayat yang bersangkutan. Diperlukannya informasi dari sahabat ini, karena mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunya Al Qur’an.19
4. Apabila informasi dari sahabat tidak pula dapat kita temukan, maka kita boleh berijtihad dengan menggunakan analisa bahasa, sejarah, ilmu pengetahuan dan lainnya secara rasional. 20
Apabial konsep ini kita terapkan dalam memahami dan menafsirkan firman Allah di Surah Al Nisa ayat satu yang berbicara tentang asal usul manusiaitu, maka yang pertama kali kita bahas dalam uraian berikut adalah “apakah ada ayat lain yang menjelaskan kata-kata nafs wahidah yang terdapat dalam ayat tersebut dengan Adam?”
Kalau yang dimaksud menjelaskan di sini adalah menjelaskan secara harfiah, maka ayat tersebut memang tidak sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syikh Muhammad Abduh. Tetapi walaupun begitu, ayat-ayat yang mengisyaratkan bahwa Adam adalah asal usul manusia yang ada sekarang, cukup banyak. Misalnya saja Al Qur’an telah menyebutkan semua ummat manusia di kolong langit ini dengan Bani Adam sebanyak delapan kali. Apakah ini tidak menunjukkan kepada kita bahwa Adam adalah asal usul manusia sekarang. Di samping itu, Al Qur’an juga ada mendeskripsikan persamaan antara penciptaan Isa AS dengan penciptaan Adam AS yaitu seperti dinyatakan di Surah Ali Imran ayat 58 :
“Sesungguhnya contoh (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadnya :”Jadilah (seorang manusia) maka ia pun jadi”.
Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan Adam dalam ayat ini, apakah Adam sebagai individu ataukah Adam sebagai simbolis manusia secara umum, seperti yang telah dikatakan oleh sementara para sarjana muslim kita di muka.
Kalau yang dimaksud adalah Adam sebagai simbolis saja, bukan sebagai individu, maka pengertian ayat menjadi : “Sesungguhnya contoh (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam dari tanah, kemudian Ia berfirman kepadnya : ”Jadilah (seorang manusia) maka ia pun jadi “.
Akan tetapijika kita menengok sejarah, maka kita akan mengetahui bahwa kendati pun Isa itu manusia juga, namun beliau termasuk manusia yang langka, sebab beliau lahir tanpa ayah. Ibunya Maryam tidak pernah kawin dengan siapa pun, tetapi kenapa ibunya bisa melahirkan ?
Peristiwa yang unik ini telah menimbulkan kesalahanpahaman di kalangan manusia. Di satu pihak, orang-orang Yahudi telah menuduh ibunya berbuat mesum dengan seorang laki-laki bernama Yusuf Al Najjar. Karena Isa adalah anak zina dan tidak layak diimani sebagai Rasul Allah. Di pihak lain, orang-orang Nasrani menganggap keadaan beliau yang menakjubkan itu sebagai bukti bahwa beliau adalah anak Tuhan, dan patut dituhankan.
Untuk membantah kedua anggapan yang ektrem ini, Tuhan membuat perbandingan antara Isa dan Adam, sebab kedua-duanya adalah manusia unik. Tetapi walaupun demikian penciptaan Adam jauh lebih baik menarik dari penciptaan Isa. Kalau Isa diciptakan dengan ibu tanpa ayah, maka Adam diciptakan tanpa ibu dan ayah. Atau dengan kata lain, kalau Isa masih dilahirkan, tetapi diciptakan langsung dari tanah, Kalau mereka yang beranggapan ektrim tadi,baik Yahudi maupun Nasrani sama-sama mengimani kenabian dan kemanusiaan Adam, padahal ia dilahirkan tanpa ibu dan ayah, tetapi kenapa terhadap Isa, orang-orang Yahudi mengingkari kenabiannya dan orang-orang Nasrani menuhankannya, hanya karena dia tidak mempunyai ayah, seharusnya kalau mereka mempercayai kejadian Adam, maka adalah logis kalau mereka juga mempercayai kejadian Isa tanpa ayah, Bukankah sudah diyakini bahwa Allah itu Maha Kuasa.
Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan Adam di sini Adalah Adam sebagai individu, bakan Adam simbolis. Sebab Adam sebagai individu saja yang tidak mempunyai ibu dan ayah, sedangkan Adam sebagai simbolis mempunyai ibu dan ayah. Oleh karena Adam langsung diciptakan dari tanah tanpa ibu dan ayah, apakah bukan merupakan isyarat bahkan Adam adalah manusia pertama dan nenek moyang ummat manusia sekarang ini.
Kebenaran Adam sebagai asal usul manusia diperkuat lagi oleh isyarat yang terdapat dalam firman Allah Surah Al Sajdah ayat 7 dan 8 yang menegaskan:
“(Allah) Yang telah membuat baik segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan memulai penciptaan manusia dari tanah, Kemudian menjadikan keturunan dari air yang hina (mani)”.
Pada ayat pertama dengan gamilang memberikan pengertian kepda kita bahwa yang dimaksud dengan manusia yang diciptakan dari tanah itu tidak lain adalah Adam sebagai individu, bukan Adam sebagai simbolis, sebab pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa keturunannya dijadikan dari air yang hina. Di sini dengan jelas memberikan kesan kepada kita bahwa Adam adalah manusia pertama.
Kemudian kalau kita beralih kepada Sunnah maka kita akan menemukan banyak hadits yang menjelaskan dengan pasti bahwa Adam adalah manusia pertama dan asal usul segala manusia di muka bumi, antara lain hadits dimuka tadi.
Maka denga isyarat dari beberapa ayat Al Qur’an dan kemudian ditambah dengan menjalaskan yang tegas dari Sunnah Nabi, maka tidak ada lagi yang meragukan kita bahwayang dimaksud dengan nafs wahidah pada ayat satu Surah Al Nisa di atas tidak lain adalah Adam yang telah diciptakan dari tanah itu, bukan perempuan atau lainnya yang merupakan perwujudan fisiknya maupun rohaninya dari manusia sekarang.
Adapun adanya pengakuan terhadap Adam sebagai manusia pertama akan menyebabkan konsep Islam bertentangan dengan hasil penemuan-penemuan imiah dan sejarh, seperti yang telah disebut-sebut oleh Abduh, tidak perlu dirisaukan, sebab penemuan-penemuan tersebut belum merupakan kebenaran yang final. Dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak jarang terjadi, sesuatu teori yang pada mulanya sudah dipercaya kebenarnnya secara mapan oleh para sarjana, namun beberapa waktu kemudian., setelah dilakukan penelitian yang terus menerus, ternyata teori itu pun diragukan kebenarannya, bahkan disalahkan secara total.
Sebagai contoh adalah teori-teori kosmografi Yunani. Para filosof muslim seperti Al farabi dan Ibnu Sina mempercayai betul kebenaran teori-teori tersebut, sehingga mereka berani menakwilkan ayat-ayat Al Qur’an yang berlawanan dengan teori-teori ini, agar kitab suci tersebut tidak lagi berlawanan dengan ilmu pengetahuan. Mislanya alam ini diciptakan lewat emanasi dan bumi adalah pusat alam raya. Tetapi setelah ditemukan teori Big Bang oleh GeorgeGemow, maka teori emanasi itu pun disalahkan.
Nasib teori Darwin ini pun tidak banyak berbeda dengan teori emanasi. Sebab ketika dunia ilmu pengetahuan hampir menerima teori tersebut secara aklamasi, tiba-tiba muncullah anggapan dan tantangan yang hebat dari para ahli ilmu pengetahuan evolusi alam itu sendiri.
Misalnya Eldridge, seorang ahli Paleontologi dari musium sejarah alam di New York mengatakan bahwa bermacam jenis kehidupan muncul secara mendadak pada suatu ketika dalam kurun geologi, bertahan selama berjuta tahun tanpa perubahan, kemudian lenyap. Sedikit sekali ditemukan contoh fosil yang identitasnya sangat meragukan, bahkan ada yang mengatakan tidak ada sama sekali perubahan terhadap satu spesis kepada yang lainnya.21 Pendapat Eldridge ini diperkuat lagi oleh Stephan Jay Could, seorang ahli Paleontologi dari Universitas Harvard yang menyatakanbahwa :”Spesis baru tidak berkembang melalui perubahan, tetapi melalui pendadakn”.22
Syikh Nadim Al Jisr dalam bukunya Qissat Al Iman menjelaskan, yang menentang teori Darwin bukan hanya orang-orang agama, tetapi juga para ilmuan. Mereka membantah teori tersebut berdsrkn keilmuan semat-mata. Di antara bantahan-bantahan mereka itu adalah :
Hewan-hewan lautan rang rendah sampai sekarang masih dalam keadaan seperti pada waktu permulaan adanya alam, dan kita tidak melihat hewan-hewan itu terpengaruh oleh hukum menuju ke arah yang lebih tinggi (al irtiqa – modification). Juga spesis-spesis makhluk hidup yang besar, baik yang rendah maupun yang tinggi tingkatannya, fosil-fosilnya terdapat dalam lapisan bumi yang terendah. Kalau sekiranya hukum “menuju ke arah yang lenih tinggi” itu benar, tentu fosil jenis hewan yang tertinggi, seperti hewan yang mempunyai tulang punggung, berada di lapisan bumi yang paling atas. Di samping itu kita sering menemukan jenis-jenis atau spesis-spesis makhluk hidup yang pada waktu dahulu sekali lebih sempurna daripada yang sekarang. Juga pada beberapa lapisan bumi, kita dapati beberapa hewan yang rendah berada di atas hewan yang lebih tinggi. 25
Bahkan yang lebih mengherankan lagi adalah statemen yang dikemukakan oleh Julian Huxley (lahir 1887), seorang sarjana biologi dari Inggris dalam bukunya “Darwinism To Day” menurut dia, “selagi Darwin masih hidup, teori evolusi yang telah dilontarkannya sudah kehilangan daya tariknya, dan sejak tahun 189, delapan tahun setelah meningglnya Darwin, keraguan terhadap kebenaran teori itu telah bermunculan. Dan akhirnya sekitar tahun 1910 beberapa orang pengeritik menyatakan teori itu sudah mati “.24
Karena itu data-data yang telah dikemukakan oleh para sarjana pendukung teori evolusi berupa fosil-fosil manusia purba yang usianya jauh lebih tua dari Adam, belum merupakan bukti kebenaran bahwa manusia-manusia purba itu merupakan nenek moyang manusia sekarang (homo sapiens).
Menurut penulis, data-data tersebut baru merupakan bukti bahwa sebelum Adam, sudah terdapat makhluk-makhluk sejenis manusia yang pernah hidup di permukaan bumi ini sejak ratusan ribu tahun yang silam. Yang tertus disebut oleh para sarjana Antropologi, Homo Mojokertensis, kemudian Homo Heideberg, kemudian Homo Rhodesiensis, kemudian Homo Neandderthalensis nenek moyang Homo Sapiens (Al Insan Al ‘Aqil).25
Barangkali makhluk inilah yang telahdisebut-sebut oleh para Malaikat telah melakukan pengrusakan dan pertumpahan darah di muka bumi ini, sebagai tanggapan mereka terhadap pernyataan Allah bahwa Ia telah siap menjadikan Adam sebagai khalifah, seperti yang diungkapkan di dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 30 :
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Kenapa Engkau menjadikan khlifah di muka bumi itudari (kalangan) orang-orang yang melakukan pengrusakan dan (suka) menumpahkan darah di atasnya, padahal kami senantiasa bertasbih dan mensucikan Engkau ?”. (Ia) pun berfirman :”Sesungguhnya Aku lebih mengetahui terhadap apa yang kalian tidak mengetahuinya”.
Pada ayat ini, terdapat kata-kata Yufsidu (melakukan pengrusakan) dan Yasfik al dima (menumpahkan darah), yang kedua-duanya adalah fi’il mudlar’. Menurut tata bahasa Arab, setiap fi’il mudlari’ selalu menunjukkan hal (yang sedang berlaku) atau mustaqbal (yang akan datang). Seandainya kata-kata Yufsidu dan Yasfik al dima itu menunjukkan perbuatan manusia yang akan datang yang telah diketahui oleh para Malaikat, maka hal tersebut tidaklah mungkin, sebab mereka tidak mengtahui hal-hal yang akan datang. Ini terbukti dari pernytaan mereka sendiri di dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 32 :
Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau beritahukan kepada kami. Sesungguhnya EngkaulahYang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana”.
Dengan demikian, kata Yufsidu dan Yusfik al dima lebih tepat dipahami sebagai kata-kata yang menunjukkan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung di muka bumi dan disaksikan oleh para Malaikat. Dan yang membuat pengrusakan atau pertumpahan darah itu, tidak lain adalah makhluk purba yang menyerupai manusia dan kera itu, yang fosil-fosilnya telah ditemukan oleh para sarjana.
Oleh karena mereka suka melakukan pengrusakan dan pertumpahan darah sesama mereka, maka akhirnya mereka pun menjadi punah dan tidak dapat lagi mempertahankan eksistensi mereka.
Setelah makhluk-makhluk semacam manusia ini sudah punah, maka alangkah bijaksanannya Allah menciptakan Adam dan anak cucunya sebagai khalifah (pengganti) dari makhluk purba yang menyerupai mereka itu sekaligus pula sebagai khalifah (wakil) Allah dalam menaburkan kemakmuran dan keadilan.
Sedangkan pendapat-pendapat dari kelangan Syi’ah dan orang-orang Sufi seperti Ibnu Arabi yang mengatakan bahwa sebelum Adam sudah ada 40,000 Adam tidak perlu mendapat tanggapan, sebab kebanyakan ucapan mereka yang ganjil-ganjil itu lebih banyak bersifat dongeng daripada kenyataan. Dan kita lebih percayakepada Sunnah Nabi dari pada dongeng dan pernyataan yang tidak ada dasarnya.
Adapun alasan yang dikemukakan oleh Nazwar Syamsu bahwa kata-kata zaujah yang berarti suaminya adalah sebagai petunjuk bahwa manusia pertama adalah perempuan, menurut hemat penulis tidak pula tepat, sebab kata tersebut secara harfiahnya berarti pasangannya. Dlamir ha (kata ganti orang ketiga untuk perempuan) yang terdapat pada kata zaujah tersebut adalah kata ganti dari nafs wahidah (diri yang satu). Sedangkan yang dimaksud dengan diri yang satu di sini tidak lain adalah Adam asal usul manusia sekarang. Digunakannya kata wahidah yang berbentuk kata muannats (berjenis perempuan) sebagai sifat dari kata nafs, tidak berarti orang yang maksud dalam kata itu adalah perempuan seperti Zainab dan Fatimah. Sebab kata nafs (nafsun) dalam bahasa Arab termasuk kata muannats majazi, bukan hakiki (yang sebenarnya). Karena itu kata ini dapat disifati dengan kata muannats atau muzdakkar (jenis laki-laki). Dan kata nafs tersebut dapat dipakai untuk menyebut seseorang perempuan dan dapat pula dipakai untuk menyebut seseorang laki-laki.
Oleh karena yang dimaksud dengan kata nafs wahidah pada ayat satu Surah Al Nisa di atas adalah Adam, yang kebetulan laki-laki, maka yang dimaksud dengan zaujah atau pasangannya itu adalah perempuan yaitu isterinya yang bernama Hawa. Dari kedua insan yng berlainan jenis inilah lahir manusia-manusia lainnya, sampai akhirnya mereka meyebar ke pelosok permukan bumi.
Akhirnya dari uaraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pendapat yang benar dan yang paling dipercaya adalah pendapat yang telah dikemukakan oleh para ulama tafsir Mu’tazillah dan Ahlu Al Sunnah, sebab pendapat tersebut didukung oleh Al Qur’an, Sunnah dan tidak berlawanan dengan penemuan-penemuan ilmiah.
Dengan demikian dapat dinyatakan di sini bahwa manusia pertama atau yang menjadi asal usul manusia sekarang adalah Adam AS yng diciptakan Allah langsung dari tanah, bukan perempuan dan bukan pula berasal dari hasil evolusi terakhir makhluk yang lebih sederhana yang juga telah menurunkan makhluk jenis kera.
Catatan kaki :
1. Harold H.Titus cs, Living Issues in Philosophy,D.Van Nostrand Company, sevent edition, 1979, p.31-34,Harsoyo, Pengantar Antropologi, Binacipta, Jakrta, Cet. VI, 1986, hlm.61-65 dan Koencaraningrat, Pengantar Antropologi, CV.Aksara Baru, Jakarta. Cet. VI. T. th. Hlm. 50-51.
2. Machmun Husein cs, Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam, Gema RisalhPress, Bandung, 1987, hlm. 65.
3. Perjanjian Lama, Kejadian 2 : 7 dan 22
4. Ibid. Kejadian 4 : 1.
5. Al Razi, Mafatih Al Ghaib, III,I Al Khairiyah, Mesir, 1308 H, hlm. 133.
6. Al Suyuthi, Al ‘Jami Al Shaghir, II, Dar Al Fikr, Beirut, t. th., hlm. 188.
7. Al Razi, loc cit.
8. Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, I, Dar Al Fikr, Beirut, t. th., hlm. 448.
9. Al Suyuthi, Al ‘Jami Al Shaghir, I, Dar Al Fikr, Beirut, t. th., hlm. 40.
10. Al Razi, loc cit.
11. Ibid, hlm. 133
12. Al Qasimi, Mahasin Al Takwil, V, Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyyah, Mesir, 1957, hlm. 1095.
13. HAMKA (Haji Abdil Malik Karim Amrullah), Tafsir Al Azhar, I, Pembimbing Masa, Jakarta, 1970, hlm. 153
14. Al Suyuthi, op cit, hlm. 85.
15. Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al Manar, IV, Dar Al Ma’rifah, Cairo, t. th., hlm. 326 - 327
16. Machnun Husein, op cit, hlm. 31
17. Nazwar Syamsu, Al Qur’an tentang Al Insan, Ghalia Indonesia, Jakarta, t. th., hlm. 185 – 186.
18. Yang dimaksud dengan persetujuan Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal ke Yaman : ”Denganapa engkau menghukum?” Mu’adz berkata : ”Dengn kitab Allah”. Kalau engkau tidak mendapatkannya ? Mu’adzberkata : “Dengan Sunnah Rasul Allah”. Kalau engkau tidak mendapatkannya ? Mu’adz berkata : ”Aku berijtihad dengan nalarku”. Rasulullah kemudian menepuk dada Mu’adz seraya bersabda : “Puji-pujian untuk Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul Allah”.
19. Menurut para ulama tafsir dan hadits, informasi dari sahabat yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat termasuk hadits ma’ruf. Sedangkan informasi dari sahabat yang bukan menyangkut sebab turunnya ayat dan sndarannya kepada Rasulullah SAW termasuk hadits mauquf.
20. Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al Tafsir, Dar Al Qur’an Al Karim, Kuwait, t. th., hlm.94,99, 106.
21. M.Husain Rifa’I Hamzah, Potret Manusia Ankabutisme, Pustaka Progresif, Surabaya, 1985, hlm. 19.
22. Ibid, hlm. 19.
23. Nadim Al Jisr, Qissat Al Iman, (Terjemahan A.Hanafi, Kisah Mencari Tuhan), Bulan Bintang, Jakarta, t. th., hlm. 198.
24. Machnun Husein, op cit, hlm. 20.
25. Arif Abd. Al Fattah Al Thabbarah, Ma’a Al Anbiya fi Al Qur’an Al Karim, Dar Al Fikr, Beirut, t. th., hlm. 45 - 46