MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA:
ALA PESANTREN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu wilayah perhatian (area of concern) para pemikir dan aktivis Muslimin di seluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh pemikir dan aktivis gerakan, seperti Muh. Abduh di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan di Anak Benua India menjadikan pendidikan sebagai agenda utama gerakan keislaman yang mereka canangkan. Para pemikir dan aktivis itu tidak hanya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, lebih dari itu juga berusaha mentransformasikan lembaga-lembaga pendidikan tradisional menjadi lembaga pendidikan yang bercorak modern. Di Anak Benua India, Sayyid Ahmad Khan mendirikan Universitas Alighar yang sepenuhnya mengadopsi sistem pendidikan Universitas Oxford. Sedangkan di Mesir, Muhammad Abduh berusaha mentransformasikan ilmu-ilmu modern ke dalam Universitas Azhar. Dapat dikatakan bahwa sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20 hampir seluruh dunia Islam menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan bercorak modern.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendidikan Islam ala Pesantren ?
2. Apa yang dimaksud Pendidikan Islam Modern ?
C. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Indonesia.
2. Mengetahui apa yang dimaksud pendidikan islam yang modern.
3. Mengetahui pendidikan Islam ala Pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Ala Pesantren
Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan asli Indonesia telah memberikan andil besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. Pada masa-masa lalu pesantren merupakan Bank SDM yang sangat handal. Dari Pesantren lahir tokoh-tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Sebagai institusi pendidikan, pesantren memiliki tempat yang khusus di hati masyarakat. Hal ini boleh jadi karena tiga hal: 1) karena pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di tanah air. Usia pesantren hampir sama dengan usia datangnya Is;am itu sendiri ke Indonesia, 2) pesantren mewakili, bahkan identik dengan makna Islam itu sendiri, 3) pesantren, seperti sering dikemukakan para pengamat, bersifat indigenous yakni asli (khas) Nusantra yang tidak ditemukan padanannya di tempat-tempat lain, termasuk di Timur Tengah.
Bahkan kalau ditelusuri sejarah lahirnya pesantren ternyata cikal bakalnya telah ada seblelum Islam datang di Nusantra, yaitu pada mulanya sebagai padepokan Hindu-Budha di mana di dalamnya dikenal ada shastri dan cantrik dan padepokan itu
merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha. Konsep padepokan/pesantren ini bertemu dengan konsep penginapan (funduq=Arab padokheyon=Yunani) penuntut ilmu atau hikmah yang di dunia Islam dikenal dengan nama zawiyah, ribath dan khaniqah.
Nah, padepokan Islam diberi nama pesantren, dilengkapi dengan nama funduq, jadilah nama Pondok Pesantren (asalnya: Pesantrian) dengan unsur kiyahi (dari konsep shastri) dan santri (dari konsep cantrik). Pada masa kerajaan Islam di Jawa, Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan bagi calon pemimpin (keluarga raja) dan cedekiawan (ulama), sebagaimana sebelumnya pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha.
Memasuki masa Islam, tepatnya sejak abad ke-13 dan mencapai perkembangan penting pada abad ke-16, pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan tidak hanya memperoleh pengukuhan, tetapi juga terus dipertahankan. Sejalan dengan konpersi keagamaan masyarakat Nusantara menjadi Muslim, pesantren mengalami perubahan fungsi. Bila sebelumnya merupakan bagian dari tradisi pendidikan keagamaan Hindu-Budha, pada masa Islam pesantren berkembang menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman bagi masyarakat Indonesia. Di lembaga pesantren itulah kaum Muslim Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktik kehidupan keagamaan yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh masyarakat yang baru beralih menjadi Muslim. Pada perkembangan selanjutnya, pesantren menjadi agen pencetak elit agama dan pemelihara tradisi Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Sejak awal abad ke-20, sejalan dengan modernisasi yang ditampilkan kolonialisme melalui “politik etis”nya, lembaga pendidikan Islam mengalami perubahan penting. Didukung kalangan pemikir dan aktivis Muslim, khususnya yang datang dari Timur Tengah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren ditranspformasikan menjadi bentuk madrasah yang terus berkembang hingga dewasa ini.
Memang diakui, pada mulanya, pesantren dan madrasah lebih dikenal sebatas lembaga pendidikan Islam dengan konsentrasi pada pendalaman ajaran agama (tafaqquh fiddin), kemudian beberapa di antranya mulai melakukan berbagai pengembangan dalam kurikulum dan metode pembelajaran dengan memasukkan pelajaran umum ke dalam kurikulum pengajarannya. Bahkan ada juga yang memberikan pelatihan keterampilan (vocational) dan kecakapan hidup (life skill) bagi para santrinya sebagai kurikulum tambahan.
Guna mendukung peningkatan kualitas pendidikan, berbagai bantuan dan pembinaan telah dilakukan Depag RI secara berkesinambungan. Tetapi hal itu belum mampu membawa pesantren dan madrasah terlepas dari berbagai persoalan yang hampir seragam menyelimutinya yaitu: kualitas lulusan sulit bersaing, SDM guru rendah, kondisi sarana dan prasarana pendidikan kurang mendukung, kurikulum tidak up-to-date,kemampuan pembiayaan rendah dan manejemen bermasalah.
Diakui. pesantren menghadapi tantangan berat sejak mesuknya ide pembaharuan (modernisme) dan berlangsungnya modernisasi pendidikan di Indonesia sejak awal abad ke 20 hingga sekarang ini. Dengan suka rela atau terpaksa (thau’an wa karhan), agar tetap eksis dan survive, pihak pesantren merasa perlu atau harus melakukan adjustment, penyesuaian di sana sini, baik menyangkkut kurikulum, metode, dan sistem pembelajaran. Dewasa ini, hampir setiap pesantren mengembangkan pndidikan Madrasah, SMU, bahkan sekolah-sekolah kejuruan. Sudah jarang atau bahkan tidak dapat ditemukan lagi pesantren yang dapat bertahan dalam pengertian dan bentuknya yang semula.
Menghadapi tuntutan modernisasi dan reformasi pendidikan, pesantren telah melakukan perubahan-perubahan namun masih dirasa belum memadai. Ada yang mengatakan bahwa penyesuaian dan perubahan yang dilakukan pesantren bersifat setengah hati, alias kurang signifikan. Ada pula yang mengatakan bahwa pesantren kini sedang kebingungan mencari bentuk antara mempertahankan jati diri (ciri khas) dan kebutuhan untuk merespon tantangan modernisasi. Bahkan Karel A. Steenbrink memprediksikan bahwa secara pelan-pelan namun pasti, kedudukan pesantren akan tergantikan oleh institusi pendidikan modern. Karena, menurutnya, dunia pesantren telah melakukan sejumlah penyesuaian yang dipandang tidak akan hanya mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi santri sendiri.
Terlepas dari prediksi-prediksi tersebut, pesantren perlu melakukan pembaharuan secara lebih sungguh-sungguh, khususnya dalam aspek kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan keilmuan, tanpa harus menghilangkan jati diri (ciri khas) yang memang merupakan kekuatannya. Dalam kaitan ini, pesantren perlu mengadopsi ilmu-ilmu lain di luar ilmu-ilmu Islam tradisional yang sudah mapan, yaitu ilmu-ilmu yang disebut sebagai sains modern. Namun, perlu diingat, kajian terhadap ilmu-ilmu itu harus dilakukan dalam paradigma Islam, bukan paradigma tambal-sulam seperti selama ini terjadi. Sistem tambal sulam (memasukkan sains modern ke lembaga-lembaga Islam dan sebaliknya memasukkan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum) apa adanya, tanpa rekonstruksi dan reformasi paradigma keilmuan Islam, terbukti tidak mampu membawa kemajuan apa-apa, karena tidak sanggup menghilangkan penyakit dikotomi yang membuat umat Islam mandul dan terkebelakang dalam penguasaan sains. Pada saatnyalah sekarang pihak pesantren dan juga perguruan tinggi Islam untuk mengembangkan pola keilmuan baru yang bersifat integralistik, yaitu keterpaduan antara ilmu dan agama. Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa integralisme ini harus dibangun di atas landasan paradigma Islam, yaitu suatu konstruksi keilmuan dengan filosofi dan epistimologi Islam. Dalam kerangka ini, Ismail Raji al-Faruqi pernah menggagas tentang islamisasi ilmu. Sayangnya, sepeninggal al-Faruqi, gagasan ini madeg dan tidak berkembang, karena terlalu bersifat ideologis ketimbang akademis.
Dengan memperhatikan perkembangan sistem pendidikan di pesantren akhir-akhir ini, klasifikasi pesantren menjadi tradisional (al-ma’had al-salafy) dan modern (al-ma’had al-hadits) kiranya tidak dapat diikuti secara ketat lagi. Sebab jika dilihat dari jalur pendidikan yang diselenggarakannya saat ini, sebagian besar ¬al-ma’had al-salafy, selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga telah menyelenggarakan jalur pendidikan formal modern, baik berupa sekolah umum (SD,SMP, SMA, dan SMK) mauaupun sekolah berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA, atau MAK). Demikian pula jika dilihat dari beberapa aspek lainnya, misalnya kurikulum, manejemen, dan bahkan perangkat teknologi yang digunakannya, maka pesantren-pesantren tradisional jenis ini sebenarnya juga pesantren modern, meski tak menggunkan predikat modern.
Ciri kemodernan psantren dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: Petrama, aspek kelembagaan, manejemen dan organisasi pesantren. Peantren modern merupakan lembaga pendidikan yang diwakafkan. Melalui pewakafan ini kepemilikan pesantren telah beralih dari milik pribadi atau keluarga menjadi milik umat (public).
Kedua, aspek sistem pendidikan. Pesantren modern memadukan antara sistem pesntren yang memiliki keunggulan sistem asrama dan pola penanaman nilai-nilai keagamaan serta pembentukan mental attitude yang kuat dengan sistem madrasah/sekolah yang memiliki keunggulan di bidang metodologi dan pengelolaan pembelajaran.
Ketiga, aspek kurikulum. Kurikulum pesantren modern tidak mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua bidang keilmuan ini diintegrasikan dalam satu kesatuan bangunan epistimologi keilmuan yang utuh yang semuanya bernilai keagamaan. Demikian pula dalam kurikulum pesantren modern tidak dipisahkan antara bidang kegiatan intrakurikuler dengan yang ektrakurikuler, keduanya diintegrasikan dalam seluruh total kegiatan pesantren sehingga keduanya memperoleh perhatian yang sama. Keduanya membentuk suatu lingkungan dengan berbagai kegiatan di dalamnya yang semuanya dimaksudkan untuk tujuan pendidikan.
Keempat, aspek sistem pembelajaran. Pesantren modern menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan sistem klasikal. Kegiatan pembelajaran untuk semua materi pelajaran seluruhnya dilaksanakan secara klasikal dengan sistem administrasi, supervisi, dan evaluasi yang terencana dan terukur.
Kelima, aspek metode pembelajaran. Metode pembelajaran formal yang digunakan adalah yang memungkinkan seorang santri atau peserta didik bisa belajar dengan lebih efektif dan efisien dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang bertumpu pada dialog, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, latihan, penugasan, dan yang sejenisnya menjadi penting dalam upaya menciptakan suasana belajar yang kondusif.
Keenam, aspek infrastruktur. Pendidikan pesantren modern dilengkapi dengan infrastruktur yang menunjang keberhasilannya yang setidaknya meliputi masjid, asrama, perpustakaan, ruang belajar, laboratorium, perumahan guru, perkantoran, auditorium, dan sarana olahraga.
Kurikulum pendidikan di pesantren harus mempunyai visi dan misi yang mengarah kepada upaya pencapaian sosok santri yang hendak dilahirkan oleh pesantren. Karena itu karakter kulrikulum pesantren hendaknya meliputi dan memadukan seluruh unsur kecakapan santri baik intelektual, emosional, maupun spiritual. Ini juga berarti bahwa kurikulum pesantren itu tidak hanya bersifat kognitif saja, tetapi memadukan seluruh ranah pengembangan diri peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Karena pendidikan yang didominasi oleh pemusatan kognitif saja akan menghasilkan manusia pragmatis. Anak hanya akan berorientasi pada untung rugi tanpa pertimbangan nilai dan etika, terlebih lagi ketika evaluasi pendidikan hanya mementingkan penguasaan kognitif (ingat hasil UN yang baru lalu). Sebab kondisi yang demikian hanya menghabiskan konsentrasi anak, guru, serta sekolah demi mengejar target penilaian.
Dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi, kurikulum pesantren modern harus berpegang kepadaq al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih was l-akhz bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan melakukan inovasi baru yang lebih baik). Dengan berpegang pada prinsip ini berarti kurikulum yang dimaksud itu bersifat luwes dan fleksibel, terutama terhadap perubahan yang menyangkut materi-materi yang bersifat umum. Pesantren harus mampu membangun sistem yang kokoh, sistem pendidikan yang integratif, yang mampu mengubah pola pikir dan membentuk sikap. Konsep tarbiyah (transformasi ilmu dan nilai) harus dikedepankan, bukan sekedar ta’lim. Kalau pendidikan mampu membentuk sikap, maka produknya akam menjadi teladan yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi umat. Banyak yang bisa dilakukan oleh pesantren dalam zaman yang serba cepat berubah seperti dewasa ini asalkan pesantren mau membuka diri dengan dunia luar. Idealnya, pesantren memiliki akses terhadap informasi-informasi penting yang terkait dengan pembangunan. Oleh karena itu saatnya pesantren memiliki perpustakaan yang memadai, dilengkapi dengan literatur-literatur keagamaan klasik dan modern, serta buku-buku bacaan dan informasi lainnya sehingga dapat membuka wawasan santri. Selain itu pesantren harus meningkatkan mutu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) agar dapat bersaing dalam arus pendidikan global. Dengan demikian, santri tidak lagi ketinggalan dengan dinamika keilmuan yang berkembang di luar tembok pesantren. Jika tidak, pesantren dipastikan akan tergilas dalam gempuran arus global
Dalam suatu kesempatan, Direktur Pengkajianan Islam dan Masyarakat (PPIM) Jamhari mengatakan, “Ada peluang penting yang hampir luput dari kalangan pesantren dewasa ini menyangkut iptek. Hal itu menyusul sejumlah lembaga pendidikan tinggi berbasis Islam dewasa ini telah banyak membuka fakultas atau jurusan yang berbasis ilmu eksak, seperti kedokteran dan teknik. Namun di dalam fakultas-fakultas itu masih jarang diisi oleh para alumni pesantren. Karena itu, perlu mengakrabkan pesantren dengan iptek. Jadi, dengan menguasai teknologi menjadi tuntutan bagi siapapun, termasuk pondok pesantren”. Di sisi lain, kata cendekiawan Kamaruddin Hidayat: pesantren perlu mempertahankan spirit kemandiriannya. Namun, pesantren juga harus mengembangkan kesadaran berbangsanya. Dengan demikian, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berjumlah besar, dapat diandalkan menjadi tongkat bagi kebangkitan investasi di Indonesia. Para investor asing butuh rasa aman dalam menananmkan investasinya. Salah satu sumbu ketidakamanan, menurut mereka, adalah persoalan radikalisme agama. Nah, pesantren dalam hal ini bisa ikut andil menjelaskan ajaran agama Islam yang benar kepada masyarakat luas.
Namun demikian, perlu diingat peran dan fungsi pesantren harus tetap sejalan dengan khittah pesantren sebagai lembaga tafqquh fiddin. Lembaga yang berkonsentrasi pada pembinaan dan penggemblengan kader-kader ulama pemimpin umat. Ini artinya bahwa proses pendidikan di pesantren harus menekankan pada pembentukan santri yang memiliki kedalaman ilmu, keluhuran moral-mental, dan kematangan spiritual, serta mempunyai bekal ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kecakapan atau keterampilan hidup dalam masyarakat yang akan memungkinkan si santri itu mangamalkan ilmunya dengan baik dan dapat membina masyarakat dengan sukses. Kedepan diharapkan alumni pesantrenlah yang mengendalikan perjalanan Negara kita tercinta ini sebagaimana pada masa-masa lalu, tentunya dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
M Dawam Rahardjo (1995) berpandangan bahwa pesantren adalah lembaga yang dapat mewujudkan proses perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.
Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).
Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren memiliki kekuatan yang dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya (founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek” keuntungan ekonomis semata. Melainkan menjalankan amanat pendidikan profetik yang digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap manusia di era modern ini.
B. Modernisasi Pendidikan Islam Ala Pesantren
Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun, ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan derasnya arus modernisasi. Sebab, modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam semesta, tradisi, dan agama.
Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Maka, modernitas sebagai periode sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas akan menciptakan sikap optimisme dan berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan yang menjadi tema sentral dalam peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20).
Dalam khazanah tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan hal ini mengindikasikan bahwa pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa.
Jika tradisi besar Islam direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Maka, ketika pesantren tampil dengan wajah baru akan menciptakan apa yang disebut Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru). Untuk itu, tidak arif rasanya jika para pengelola pondok pesantren mengabaikan arus modernisasi sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada sebagian yang buruk – apabila pesantren ingin progresif mengimbangi perubahan zaman.
Dengan tidak meninggalkan ciri khas keislaman, pesntren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk amoral yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat sasaran oleh lembaga pendidikan bernama pesantren
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari Uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sudah ada sejak dulu dan merupakan lembaga pendidikan yang Islam yang mampu memenuhi tuntutan zaman dengan bukti sampai sekarang pendidikan pesantren masih terus eksis dan mampu mencetak generasi penerus yang mampu bersaing dan tetap tidak mengesampingkan pendidikan agama islam itu sendiri
Modernintas pendidikan islam harus mampu dijawab oleh pendidikan islam yang dikembangkan oleh tuntutan zaman, sebab pendidikan di Indonesia yang saat ini sudah maju dan juga pesantren harus dikembangkan untuk lebih mengikuti arus modernitas.
B. Saran dan Kritik
Kami sadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik dari Bapak Dosen pengampu dan kepada rekan semua untuk memeberikan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ahmad Mubarak, MA Nasionalis Religius Jati Diri Bangsa Indonesia, ,2005
Dr. Hj. Tuti Alawiyah AS, Pengembangan Kurikulum Pesantren (Menjawab Problem Dikotomi dan Tuntutan Modernisasi), Makalah, 2006
Dr. K.H. Abdullah Syukri Zakariya, MA, Sains dan Teknologi Kurikulum Pesantren:Karakteristik Kurikulum di Pesantren Modenr, Makalah, 2006
Madrasah, Jurnal Komunikasi Dunia Pergurua, Vol. 3, No 2, 1999 dan Vol 5, No.1, 2001.
SALAM, Buletin Persahabatan Indonesia-Jepang, 2006
SANTRI, Majalah Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia, Desember 2005
Aksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Noer, Deliar A., Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1983.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1994.
Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : DEPAG RI, 1986
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1968.
M Dawam Rahardjo (1995) berpandangan bahwa pesantren adalah lembaga yang dapat mewujudkan proses perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.
Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).
Lantas, pertanyaan yang patut diajukan dalam tulisan ini adalah: bagaimana peta tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan warisan dari perpaduan budaya asli Indonesia dan khazanah keislaman dalam menjawab tantangan modernitas? Apakah mesti menyesuaikan (ngigeulan) zaman ataukah sampai pada mengelola (ngigeulkeun) tantangan era modern yang cenderung menggusur manusia pada pemahaman yang positivistik?
Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren memiliki kekuatan yang dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya (founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek” keuntungan ekonomis semata. Melainkan menjalankan amanat pendidikan profetik yang digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap manusia di era modern ini.
Pesantren dan Santri
Menurut catatan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang diwariskan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim sekitar abad 16-17 M, seorang guru “walisongo” yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Sedangkan secara kebahahasaan, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti guru mengaji (bahasa tamil) dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal (mondok moe) para santri. Dengan demikian, pesantren merupakan mesin copy-an yang bertugas mem-print out manusia pintar agama (tafaquh fi al-din) serta mampu menyampaikan keluhungan ajaran Islam (syi’aru al-islam) kepada masyarakat.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa: “Dan hendaklah ada di antara kamu sekalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali-Imran; 3 : 104). Artinya, dengan kreasi kultural berupa pendirian pesantren dalam khazanah Islam Indonesia merupakan tonggak awal penegakkan misi profetik (al-nubuwat) untuk menyebarkan kebaikan (al-khair) hingga dapat menghidupkan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah) dan kemanusiaan di jiwa umat.
Sebagai lembaga penghasil santri, tentunya pesantren harus menghasilkan santri (output) yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Output tersebut selain berimplikasi secara personal, juga mesti berdampak positif secara sosial. Adapun hasil implikasi tersebut dapat dilihat dari intensitas keuntungan yang diproduksi pesantren terhadap lingkungan sekitar, di antaranya berupa keuntungan pragmatis bagi aspek budaya, pendidikan dan sosial.
Secara kultural, kehidupan seorang santri di pesantren ternyata seringkali dihiasi dengan prinsip hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan kebersamaan melalui aktivitas “mukim”. Lalu, dari aspek edukatif pesantren juga mampu menghasilkan calon pemimpin agama (religious leader) yang piawai menjawab dan memenuhi kebutuhan praktik keagamaan masyarakat sekitar, hingga aktivitas kehidupannya diberkahi Allah. Sedangkan dalam aspek sosial, keberadaan pesantren seakan menjadi semacam “community learning centre” (pusat kegiatan belajar masyarakat) yang berfungsi menuntun masyarakat agar hidup dalam kesejahteraan fisik, psikis dan spiritual.
Kendatipun secara output tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, setidak-tidaknya secara ideal pendidikan pesantren mampu mencetak calon-calon ahli agama yang siap diterjunkan ke masyarakat. Tidaklah heran jika pesantren sebagai “laboratorium sosial” banyak membidani kelahiran tokoh-tokoh yang dihormati serta ikut andil dalam pembangunan bangsa lewat sumbangsih pemikiran konstruktif-transformatif. Misalnya tercermin dalam pribadi K.H.A.Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H.A.Hasan (tokoh ulama Persatuan Islam), Hasyim Asy’ari (pendiri NU), H.O.S Tjokroaminoto (pencetus SI), Muhammad Natsir (mantan Perdana menteri), Dien Syamsuddin, Abdurrahman Wahid, Nurchalis Madjid dan yang lainnya merupakan aktor intelektual yang dididik lembaga pendidikan asli masyarakat Islam Indonesia seperti Pesantren.
Modernisasi
Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun, ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan derasnya arus modernisasi. Sebab, modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam semesta, tradisi, dan agama.
Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Maka, modernitas sebagai periode sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas akan menciptakan sikap optimisme dan berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan yang menjadi tema sentral dalam peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20).
Dalam khazanah tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan hal ini mengindikasikan bahwa pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa.
Jika tradisi besar Islam direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Maka, ketika pesantren tampil dengan wajah baru akan menciptakan apa yang disebut Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru). Untuk itu, tidak arif rasanya jika para pengelola pondok pesantren mengabaikan arus modernisasi sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada sebagian yang buruk – apabila pesantren ingin progresif mengimbangi perubahan zaman.
Dengan tidak meninggalkan ciri khas keislaman, pesntren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk amoral yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat sasaran oleh lembaga pendidikan bernama pesantren. Wallahua’lam
Aksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Noer, Deliar A., Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1983.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1994.
Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : DEPAG RI, 1986
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1968.