RUANG LINGKUP DAN POKOK BAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendahuluan
Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda . Semua soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme. Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.
Ruang lingkup filsafat pendidikan Islam mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan.
Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja ruang lingkup filsafat pendidikan Islam ?
2. Apa pokok bahasan filsafat pendidikan Islam ?
Dari beberapa masalah diatas, yang akan diangkat dalam makalah ini adalah dengan ruang lingkup dan pokok bahasannya, sejauh mana keterlibatan filsafat pendidikan islam dalam pendidikan?.
C. Pembahasan
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan pada hakikatnya keduanya adalah proses yang satu. Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah kependidikan pun mempunyai ruang lingkup yang luas pula, yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
Sebagaimana telah disampaikan dalam pendahuluan bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
Sementara cakupan dan pokok bahasannya adalah sebuah pemikiran secara mendasar, sistematik, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan.
Dari konsep diatas, secara sederhana penulis mengambil satu kesimpulan sementara bahwa ruang lingkup dan pokok bahasan filsafat pendidikan islam adalah sebuah pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan universal terhadap masalah masalah yang ada dalam kegiatan pendidikan yang dilatarbelakangi dengan beberapa disiplin ilmu yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapi.
Sebelum membahas keterlibatan filsafat pendidikan islam dalam pendidikan, tentunya kita akan mengulas terlebih dahulu hubungan antara analisis filsafat dan teori pendidikan.
Bagaimanapun luas sempitnya pengertian pendidikan, namun masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiannya, dalam membimbing, melatih,mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan ciri-ciri kemanusianya Dan pendidikan formal disekolah hanya bagian kecil saja daripadanya. Tetapi merupakan inti dan bisa lepas kaitannya dengan proses pendidikan secara keseluruhannya. Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah kependidikanpun mempunyai ruang lingkup yang luas pula.yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Memang diantara permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah pendidikan yang sederhana yang menyangkut praktek dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak pula diantaranya yang menyangkut masalah yang bersipat mendasar dan mendalam, sehingga sehingga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin terjawab dengan menggunakan analisa ilmiah semata, tetapi memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, yaitu analisa filsafat.
Berikut ini akan dikemukakan bebarapa masalah kependidikan yang memerlukan analisa filsafat dalam memahami dan memecahkannya,antara lain: (1) Masalah kependidikan pertama dan yang mendasar adalah tentang apakah hakikat pendidikan itu?. Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia dan merupakan hakikat hidup manusia itu?. Dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia?.
Keterangan diatas penulis memberikan gambaran secara umum bagaimana keterlibatan filsafat pendidikan islam dalam hal ini.
Hakikat pendidikan Islam adalah:
a) Pendidikan didasarkan pada konsep penciptaan manusia yang memiliki fitrah hanifah.
b) Pendidikan bertujuan membantu pertumbuhan yang seimbang dari keseluruhan kepribadian.
c) Tujuan akhir pendidikan adalah merealisasikan kepasrahan yang total dan utuh kepada Allah SWT, baik pada tingkat individual, komunal maupun ummat.
Secara langsung filsafat akan andil sebagai pencari jawaban yang masuk akal dan mendasar sampai mengupas tentang hal-hal yang berhubungan dengan penciptaan manusia,
Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Di dalam situasi keberadaannya tersebut, manusia harus memiliki kesadaran kritis yang diarahkan pada realitas sehingga terjadi suatu interaksi ketika manusia menanyai, menguji dan menjelajahi realitas tersebut.
fitrah manusia, pertumbuhan dan perkembangan individu, serta tujuan setiap individu dalam pendidikan. (2) Apakah pendidikan itu berguna untuk membawa kepribadian manusia?, apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian manusia itu?, ataukah faktor–faktor yang berasal dari luar/ lingkungan dan pendidikan?. Mengapa anak yang mempunyai potensi hereditas yang baik pula tidak mencapai kepribadian yang diharapkan?: dan kenapa pula anak yang mempunyai potensi hereditas yang tidak baik, walaupun mendapatkan pendidikan dan lingkungan yang baik, tetap tidak berkembang?.
Berbicara mengenai hereditas, Filsuf Yunani mempunyai bermacam-macam ide tentang hereditas. Theophrastus mengajukan bahwa bunga jantan membuat bunga betina menjadi matang, Hiprokrates menduga bahwa "benih" diproduksi oleh berbagai anggota tubuh dan di wariskan pada saat pembuahan, Aristoteles bahwa semen pejantan dan betina becampur pada saat pembuahan, sedangkan Aeskhylus, pada tahun 458 SM mengajukan ide bahwa sang pejantan adalah orang tua yang sebenarnya dan betina adalah "perawat dari bayi yang disemai di dalamnya".Bermacam-macam mekanisme hereditas di ajukan tanpa diuji atau dikuantifikasi dengan layak. Mekanisme ini diantaranya pewarisan campuran, dan pewarisan sifat dapatan. Namun demikian, hewan dan tanaman domestik dapat dikembangkan melalui seleksi artifisial. Pewarisan sifat dapatan juga membentuk bagian dari ide evolusi Lamarck , dan seterusnya.
Hal tersebut membuktikan bahwa pembahasan mengenai hereditas jelas melibatkan filsafat yang dalam pembahasannya memasuki arena pemikiran yang logis dan mendasar sebagai referensi ilmu pengetahuan. (3) Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu?. Apakah pendidikan itu untuk individu, atau untuk kepentingan masyarakat?. Apakah pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia ataukah untuk Pembinaan masyarakat.apakah pembinaan manusia itu semata-mata untuk dan demi kehidupan real dan material di dunia ini, ataukah untuk kehidupan kelak diakhirat yang kekal ? (4) Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab terhadap pendidikan itu,dan sampai dimana tanggung jawab tersebut?.Bagaimana hubungan tanggung jawab antar keluarga, masyarakat, dan sekolah terhadap pendidikan?, dan bagaimana tanggung jawab pendidikan tersebut setelah manusia dewasa,dan sebagainya?.
Pada point 3 dan 4 jelas sudah akan keterlibatan filsafat pendidikan Islam. Kalau kita lihat pada apa yang tercantum didalamnya adalah mengenai tujuan pendidikan, pembinaan pribadi dan masyarakat serta tanggungjawab trilogi pendidikan ; keluarga, sekolah dan masyarakat. (5) Apakah hakikat pribadi manusia itu?. Manakah yang lebih utama untuk dididik: akal, perasaan atau kemauannya, pendidikan jasmani atau pendidikan mentalnya, pendidikan skill ataukah intelektualnya ataukah kesemuanya itu?.
Pada point ini, ada pembahasan mengenai hakikat pribadi manusia, akal, perasaan, kemauan, mental, skill dan sebagainya. Kesemuanya itu memerlukan pemikiran filsafat pendidikan islam.
Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
(a) makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. (b) individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial. (c) yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya. (d) makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya. (e) individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati (f) suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas (g) makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat. (h) individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial. (6) Apakah isi kurikulum yang relavan dengan pendidikan yang ideal, dalam masyrakat?. (7) Apakah isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal?, apakah kurikulum yang mengutamakan pembinaan kepribadian dan sekaligus kecakapan untuk memangku suatu jabatan dalam masyarakat, ataukah kurikulum yang luas dengan konsekuensi yang kurang intensif, ataukah dengan kurikulum yang terbatas tetapi intensif penguasaannya dan bersifat praktis pula?. (8) Bagaimana metode pendidikan yang baik?, apakah sentralisasi, disentralisasi, ataukah otonomi; apakah oleh Negara ataukah oleh swasta, dan sebagainya?. (9) Bagaimana asas penyelenggara pendidikan yang baik, apakah sentralisasi, disentralisasi, ataukah otonomi; apakah oleh negara ataukah oleh swasta, dan sebagainya?.
Masalah-masalah point 6 s.d 9 yang mengenai kurikulum, metode pendidikan, metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertujuan untuk mengenali dan menjawab tantangan sosial yang ada. Asas penyelenggara pendidikan, kesemuanya itu memerlukan pemikiran filsafat pendidikan.
Demikian sebagian dari contoh–contoh problematika pendidikan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis, atau analisa filsafat.
D. Kesimpulan
Ruang lingkup dan pokok bahasan filsafat pendidikan islam adalah adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan. Yang tentunya tidak hanya dilatarbelakangi oleh disiplin ilmu pengetahuan dari agama islam saja, melainkan melibatkan seluruh disiplin ilmu yang ada dan relevan dengan itu.
Keterlibatan filsafat pendidikan islam dalam pendidikan sangatlah besar. Bahkan tidak lepas dari pemikiran-pemikiran yang filoshop.yang akan dibahas dengan dan cara mendasar, logis, sistematis dan universal.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arifin, Muzayin, Filsafat Pendidikan Islam : Edisi Revisi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2005) h. 1-2.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam; Edisi Baru (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Pramudia, wahyu, Veritas :”Jurnal Teologi dan Pelayanan” (Jakarta: 2001) dalam http://www.seabs.ac.id/journal diakses tanggal 10 april 2010.
Sinulingga, Irianto, “ Jurnal Pendidikan Penabur”,(Jakarta: BPK Penabur, 2005) dalam http://cari-pdf.com/download/index.php diakses tanggal 10 April 2010.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com diakses tanggal 09 April 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Theophrastus diakses tgl 10 April 2010
http://dakir.wordpress.com/character-building-guru-pai/ diakses tanggal 10 April 2010
http://www.abunawas.co.tv diakses tanggal 10 April 2010.
http://kutiba.multiply.com/journal/item/6/PENDIDIKAN_ISLAM diakses tanggal 10 April 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles diakses tgl 10 April 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Lamarck diases tgl 10 april 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Lamarck diases tgl 10 april 2010.
http://pakguruonline.pendidikan.net diakses tanggal 10 April 2010
Cari Blog Ini
Kamis, 01 Juli 2010
PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendahuluan
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang utuh dan ilmu yang ada saat ini seperti psikologis, sosiologis, antropologis dan lainnya adalah merupakan sub-sub disiplin ilmu dari filsafat yang kemudian menjadi sebuah mandiri akan tetapi tetap masih menginduk kepada filsafat.
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruhnya cendekianya adalah muslim. Ada perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus. Namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka bila dalam filsafat lain masih mencari Tuhan dalam filsafat Islam justru Tuhan sudah ditemukan.
Filsafat pendidikan Islam merupakan terapan filsafat Islam di bidang pendidikan. Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegaitan pendidikan yang berdasar pada Al Qur’an dan Al Hadist sebagai sumber primer.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian filsafat Islam?
2. Bagaimana pengertian filsafat pendidikan Islam?
3. Apakah tujuan dan manfaat filsafat pendidikan?
C. Pembahasan
1. Pengertian Filsafat Islam
Sebelum sampai kepada definisi filsafat Islam terlebih dahulu kami akan memberikan makna filsafat yang berkembang di kalangan cendekiawan muslim.
Menurut Musthofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al Islam / (hakim-hakim Islam) sama dengan failusuf Islam.
Al Farabi berkata failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema’rifati Allah yang mengandung pengertian mema’rifati kebaikan.
Ibnu Sina mengatakan hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakekat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi :
a. Segi Semantik
Kata filsafat dari kata bahasa Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang berarti philos : cinta dan sophia : pengetahuan, hikmah jadi philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau kebenaran.
b. Segi Praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat.
Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala sesuatu.
Sampailah kita pada pengertian filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakekat kebenaran segala sesuatu.
Pengertian filsafat Islam menurut pendapat para tokoh :
a. Menurut Mustofa Abdur Razik, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chandra bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam filsafat Islam.
b. Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan : Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian, saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban.
c. Menurut Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan filsafat Arab. Pada pendapat yang menyebutkan filsafat Arab, beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab.
2. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Untuk sekedar memperjelas pengertian filsafat pendidikan, penulis kutipkan pengertian filsafat pendidikan menurut para ahli :
a. Menurut Prof. Imam Barnadip, MA, Ph.D
Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan.
b. Menurut Mohammad Noor Syam
Filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Pendidikan harus secara fundamental didasarkan atas asas-asas filosofis dan ilmiah yang menjamin pencapaian tujuan yakni meningkatkan perkembangan sosio budaya bahkan martabat, kewibawaan dan kejayaan negara.
Dari beberapa pengertian filsafat pendidikan menurut para ahli di atas dapat disimpulkan : Filsafat pendidikan adalah disiplin ilmu yang mempelajari hakekat pendidikan.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut yakni dengan mengatur masalah pendidikan. Sedangkan sumber untuk mengatur kehidupan di dunia dan akherat tak lain adalah Al Qur’an dan Al Hadits.
Setelah mengikuti uraian di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al Qur’an dan Hadits.
Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam dapat dikatakan filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat Pendidikan yang dijiwai ajaran Islam.
3. Tujuan dan Manfaat Filsafat Pendidikan
Adapun tujuan filsafat pendidikan adalah mempelajari dan memahami hakekat pendidikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalah kependidikan secara filosofis.
Sedangkan manfaat filsafat pendidikan adalah :
a. Membentuk akhlak yang mulia
b. Mempersiapkan kehidupan di dunia dan akhirat
c. Menumbuhkan ruh ilmiah dan kepuasan pengetahuan, tidak mengkaji ilmu bukan sekadar ilmu.
D. Kesimpulan
Dari pembahasan masalah ini, dapat penulis simpulkan bahwa :
1. Filsafat Islam adalah gabungan filsafat dan Islam. Dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang dijiwai dan disemangati nilai-nilai ajaran Islam.
2. Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam yakni berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits.
3. Filsafat pendidikan bertujuan memahami tentang hakekat pendidikan dan menyelesaikan masalah kependidikan secara filosofis.
Sedangkan manfaat filsafat pendidikan adalah membentuk akhlak mulia, mempersiapkan kehidupan dunia akherat serta menumbuhkan ruh keilmuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Musthofa, Filsafat Islam (Bandung : Penerbit Pustaka Setia, 2004), 9, 18.
Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta:Penerbit Yayasan FID IKIP, 1987), 7.
Moh. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya : Penerbit Usaha Nasional, 1983), 39.
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang utuh dan ilmu yang ada saat ini seperti psikologis, sosiologis, antropologis dan lainnya adalah merupakan sub-sub disiplin ilmu dari filsafat yang kemudian menjadi sebuah mandiri akan tetapi tetap masih menginduk kepada filsafat.
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruhnya cendekianya adalah muslim. Ada perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus. Namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka bila dalam filsafat lain masih mencari Tuhan dalam filsafat Islam justru Tuhan sudah ditemukan.
Filsafat pendidikan Islam merupakan terapan filsafat Islam di bidang pendidikan. Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegaitan pendidikan yang berdasar pada Al Qur’an dan Al Hadist sebagai sumber primer.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian filsafat Islam?
2. Bagaimana pengertian filsafat pendidikan Islam?
3. Apakah tujuan dan manfaat filsafat pendidikan?
C. Pembahasan
1. Pengertian Filsafat Islam
Sebelum sampai kepada definisi filsafat Islam terlebih dahulu kami akan memberikan makna filsafat yang berkembang di kalangan cendekiawan muslim.
Menurut Musthofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al Islam / (hakim-hakim Islam) sama dengan failusuf Islam.
Al Farabi berkata failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema’rifati Allah yang mengandung pengertian mema’rifati kebaikan.
Ibnu Sina mengatakan hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakekat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi :
a. Segi Semantik
Kata filsafat dari kata bahasa Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang berarti philos : cinta dan sophia : pengetahuan, hikmah jadi philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau kebenaran.
b. Segi Praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat.
Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala sesuatu.
Sampailah kita pada pengertian filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakekat kebenaran segala sesuatu.
Pengertian filsafat Islam menurut pendapat para tokoh :
a. Menurut Mustofa Abdur Razik, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chandra bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam filsafat Islam.
b. Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan : Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian, saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban.
c. Menurut Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan filsafat Arab. Pada pendapat yang menyebutkan filsafat Arab, beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab.
2. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Untuk sekedar memperjelas pengertian filsafat pendidikan, penulis kutipkan pengertian filsafat pendidikan menurut para ahli :
a. Menurut Prof. Imam Barnadip, MA, Ph.D
Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan.
b. Menurut Mohammad Noor Syam
Filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Pendidikan harus secara fundamental didasarkan atas asas-asas filosofis dan ilmiah yang menjamin pencapaian tujuan yakni meningkatkan perkembangan sosio budaya bahkan martabat, kewibawaan dan kejayaan negara.
Dari beberapa pengertian filsafat pendidikan menurut para ahli di atas dapat disimpulkan : Filsafat pendidikan adalah disiplin ilmu yang mempelajari hakekat pendidikan.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut yakni dengan mengatur masalah pendidikan. Sedangkan sumber untuk mengatur kehidupan di dunia dan akherat tak lain adalah Al Qur’an dan Al Hadits.
Setelah mengikuti uraian di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al Qur’an dan Hadits.
Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam dapat dikatakan filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat Pendidikan yang dijiwai ajaran Islam.
3. Tujuan dan Manfaat Filsafat Pendidikan
Adapun tujuan filsafat pendidikan adalah mempelajari dan memahami hakekat pendidikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalah kependidikan secara filosofis.
Sedangkan manfaat filsafat pendidikan adalah :
a. Membentuk akhlak yang mulia
b. Mempersiapkan kehidupan di dunia dan akhirat
c. Menumbuhkan ruh ilmiah dan kepuasan pengetahuan, tidak mengkaji ilmu bukan sekadar ilmu.
D. Kesimpulan
Dari pembahasan masalah ini, dapat penulis simpulkan bahwa :
1. Filsafat Islam adalah gabungan filsafat dan Islam. Dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang dijiwai dan disemangati nilai-nilai ajaran Islam.
2. Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam yakni berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits.
3. Filsafat pendidikan bertujuan memahami tentang hakekat pendidikan dan menyelesaikan masalah kependidikan secara filosofis.
Sedangkan manfaat filsafat pendidikan adalah membentuk akhlak mulia, mempersiapkan kehidupan dunia akherat serta menumbuhkan ruh keilmuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Musthofa, Filsafat Islam (Bandung : Penerbit Pustaka Setia, 2004), 9, 18.
Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta:Penerbit Yayasan FID IKIP, 1987), 7.
Moh. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya : Penerbit Usaha Nasional, 1983), 39.
TINJAUAN FILOSOFIS TERHADAP KURIKULUM, METODE, DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al insan al kamil melalui penciptaan institusi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya yang demikian, pendidikan islam adalah model rekayasa individual dan social yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan konsep perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannua sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam. Dalam kaitan inilah diharapkan filsafat pendidikan Islam mampu memberikan kompas atau arah terhadap pembentukan kurikulum pendidikan yang Islami.
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakann. Bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentranspormasikannya kepada peserta didik. Ketidak tepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar yang akan berakibat terbuangnya waktu dan tenaga. Karenanya metode merupakan syarat untuk efisiensi aktivitas kepandidikan Islam. Hal ini berarti metode merupakan hal yang esensial, karena tujuan pendidikan Islam akan tercapai secara tepat guna manakala metode yang ditempuh benar-benar tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan Filosofis mengenai Kurikulum Pendidikan Islam ?
2. Bagaimana tinjauan Filosofis Mengenai Metode Pendidikan Islam ?
3. Bagaimana tinjauan Filosofis mengenai Lingkungan Pendidikan Islam ?
C. Pembahasan
1. Tinjauan Filosofis Terhadap Kurikulum Pendidikan Islam
a. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses kependidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, akan tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna – baik sebagai khalifah maupun ‘abd - melalu transformasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam. Disinilah filsafat pendidikan Islam dalam memberikan pandangan filosofis tentang hakikat pengetahuan, ketrampilanm dan sikap mental yang dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan manusia paripurna ( al- insan al-kamil).
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum sebagaimana disebutkan di atas dipandang sudah ketinggalam zaman. Saylor dan Alexander, mengatakan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata pelajaran, akan tetapi termasuk juga di dalamnya segala usaha lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
b. Cakupan Kurikulum
Dengan demikian cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum pada masa sekarang nampak semakin luas. Berdasarkan pada perkembangan yang seperti ini, maka para perancang kurikulum meliputi empat bagian. Pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar. Kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran dalam silabus. Ketiga, bagian berisi metode penyampaian. Keempat, bagian yang berisi metode penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran tersebut.
c. Asas-Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode penilaian. Kesemuaannya harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber-sumber tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentukan kuriulum pendidikan.
Menurut mohammad al Thoumy al Syaibany, asas-asa umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam adalah:
1. Asas Agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti ijma, qiyas dan ihtisan.
Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
2. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
3. Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
4. Asas Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.
Keempat asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum pendidikan Islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan kepribadiannya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial.
d. Kriteria Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasarkan pada asas-asas tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An Nahlawi harus pula memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkannya.
2. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual
3. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis kelamin.
4. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata kahidupan masyarakat dengan tatap bertopang pada cita ideal Islami, seperti tasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam.
5. Secara keseluruhan struktur dan organisasai kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentngan dengan polah hidup Islami.
6. Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu.
7. Hendaknya metoda pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual dalam menangkap dan mengolah bahan pelajaran.
8. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam kepribadian anak.
9. Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim dilingkungan sekolah.
2. Tinjauan Filosofis Terhadap Metode Pendidikan Islam
a. Pengertian Metode
Secara literal, metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalam. Berarti metode bararti jalan yang dilalui. Runes , secara teknis menerangkan bahwa metode adalah:
1. Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan,
2. Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu,
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, maka bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam, metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain itu, dapat juga diartikan teknik tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu (segi peserta didik), atau cara yang dipakai untuk merumuskan aturan-aturan tertentu dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan). Dalam makalah ini, batasan yang pertamalah yang akan menjadi fokus kajiannya.
b. Asas-Asas Umum Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini sesungguhnya asa-asanya tidak akan jauh berbeda dengan asa-asa pembentukan kurikulum. Hal ini dikarenakan dalam proses pendidikan Islam, seluruh komponennya merupakan satu kesatuan yang utuh yang membantuk suatu sistem.
Secara umum menurut al-Syaibani , asas-asas metode pendidikan Islam adalah:
1. Asas Agama, yaitu prinsip-prinsip, asas-asas, dan fakta-fakta umum yang diambil dari sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah)
2. Asas Biologis, yaitu dasar yang mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia peserta didik.
3. Asas Psikologi, yaitu prinsip yang lahir di atas pertimbangan kekuatan psikologis, seperti Motovasi, kebutuhan, emosi, minat, bakat, sikap, keinginan, kecakapan akal dan lain sebagainya.
4. Asas Sosial, yaitu asas yang bersumber dari kehidupan sosial manusia seperti tradisi, kebutuhan-kebutuhan, harapan dan tuntutan kehidupan yang senantiasa maju dan berkembang.
c. Prinsip-prindip Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini akan membahas bagaimana menyajikan bahan dan materi yang terdapat dalam kurikulum dalam suatu kegiatan pendidikan. Berikut ini dikemukakan beberapa ayat yang dipergunakan sebagai rujukan pengembangan metode pendidikan Islam
1. Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu sekalian. (Q. S. (33):21)
2. Artinya: Serulah manusia kejalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Berdiskusilah dengan pelajaran yang baik (Q.S (16): 125); Ibrahim berkata: Wahai anaku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu? (Q.S ( 37): 102)
3. (Q.S.(42): 38). sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
4. Artinya: katakanlah: berjalanlah kamu dimuka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu (QS. 6;11), sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah Allah sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu dimuka buki dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan agama (Q.S. (3): 137)
5. Artinya: Tatkala malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia berkata: inilah Tuhanku.tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit. Dia berkata: inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata: sesungguhnya jika tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala matahari terbit…. (Q.S. (6): 76-79)
6. Artinya: perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, bagaikan menanam sebutir banih yang darinya tumbuh tujuh tangkai, dan tiap tangkai seratus biji (Q.S. (2): 261) dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah untuk keteguhan jiwanya, seperti sebuah kebun terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya hujan gerimispun mencukupinya. Allah maha melihat apa yang kami perbuat. (Q.S. (2); 265)
Khusus masalah metode dalam dunia pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik. Akhirnya model penyampaian firman Allah yang evolutif dan demikian pula risalah kenabian mengajarkan kepada kita uswah bahwa sosialisasi Islam yang dikenal dengan pendidikan dan dakwah adalah sebuah proses.
d. Macam Macam Metode
1. Metode Teladan
2. Metode Kisah-kisah
3. Metode Nsihat
4. Metode Pembiasaan
5. Metode Hukuman dan Ganjaran
6. Metode Ceramah
7. Metode Diskusi
8. Metode Perintah dan Larangan
9. Metode Pemberian Suasana
10. Metode Bimbingan dan Penyuluhan
11. Metode Perumpamaan
12. Dan lain sebagainya.
3. Analisis Filosofis tentang Lingkungan Pendidikan
a. Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Sebagaimana yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak disinggung secara lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4: 72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88; 6:92). Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
b. Macam-macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian peserta didik.
1. Lingkungan Keluarga
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak. Bahkan Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.
Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman: Surat al-Tahrim/66 ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.
Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT: Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.
Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
2. Lingkungan Sekolah
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.
3. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.
D. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kurikulum itu adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental.
2. Metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain itu, dapat juga diartikan teknik tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu (segi peserta didik), atau cara yang dipakai untuk merumuskan aturan-aturan tertentu dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan.
3. Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1979)
An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
________. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I. (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)
________________________________________
[1] Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 55
[2] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 478
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123
[4] Lihat S Nasution, Pengembangan Kurikulum, ( Bandung: Citra Adirya Nakti, 1991), cet. IV, h. 9
[5] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1992), h. 304
[6] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 523
[7] Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV Dipenogoro, 1992), h. 273
[8] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1990), h. 197. lihat juga M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet.I, h. 61
[9] Lihat dalam Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 65 lihat juga Mohammad Noor Syam, Falsafah Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), h. 24
[10] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 589
[11] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sippres, 1993), h. 249
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al insan al kamil melalui penciptaan institusi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya yang demikian, pendidikan islam adalah model rekayasa individual dan social yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan konsep perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannua sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam. Dalam kaitan inilah diharapkan filsafat pendidikan Islam mampu memberikan kompas atau arah terhadap pembentukan kurikulum pendidikan yang Islami.
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakann. Bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentranspormasikannya kepada peserta didik. Ketidak tepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar yang akan berakibat terbuangnya waktu dan tenaga. Karenanya metode merupakan syarat untuk efisiensi aktivitas kepandidikan Islam. Hal ini berarti metode merupakan hal yang esensial, karena tujuan pendidikan Islam akan tercapai secara tepat guna manakala metode yang ditempuh benar-benar tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan Filosofis mengenai Kurikulum Pendidikan Islam ?
2. Bagaimana tinjauan Filosofis Mengenai Metode Pendidikan Islam ?
3. Bagaimana tinjauan Filosofis mengenai Lingkungan Pendidikan Islam ?
C. Pembahasan
1. Tinjauan Filosofis Terhadap Kurikulum Pendidikan Islam
a. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses kependidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, akan tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna – baik sebagai khalifah maupun ‘abd - melalu transformasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam. Disinilah filsafat pendidikan Islam dalam memberikan pandangan filosofis tentang hakikat pengetahuan, ketrampilanm dan sikap mental yang dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan manusia paripurna ( al- insan al-kamil).
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum sebagaimana disebutkan di atas dipandang sudah ketinggalam zaman. Saylor dan Alexander, mengatakan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata pelajaran, akan tetapi termasuk juga di dalamnya segala usaha lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
b. Cakupan Kurikulum
Dengan demikian cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum pada masa sekarang nampak semakin luas. Berdasarkan pada perkembangan yang seperti ini, maka para perancang kurikulum meliputi empat bagian. Pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar. Kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran dalam silabus. Ketiga, bagian berisi metode penyampaian. Keempat, bagian yang berisi metode penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran tersebut.
c. Asas-Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode penilaian. Kesemuaannya harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber-sumber tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentukan kuriulum pendidikan.
Menurut mohammad al Thoumy al Syaibany, asas-asa umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam adalah:
1. Asas Agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti ijma, qiyas dan ihtisan.
Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
2. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
3. Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
4. Asas Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.
Keempat asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum pendidikan Islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan kepribadiannya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial.
d. Kriteria Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasarkan pada asas-asas tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An Nahlawi harus pula memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkannya.
2. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual
3. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis kelamin.
4. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata kahidupan masyarakat dengan tatap bertopang pada cita ideal Islami, seperti tasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam.
5. Secara keseluruhan struktur dan organisasai kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentngan dengan polah hidup Islami.
6. Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu.
7. Hendaknya metoda pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual dalam menangkap dan mengolah bahan pelajaran.
8. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam kepribadian anak.
9. Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim dilingkungan sekolah.
2. Tinjauan Filosofis Terhadap Metode Pendidikan Islam
a. Pengertian Metode
Secara literal, metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalam. Berarti metode bararti jalan yang dilalui. Runes , secara teknis menerangkan bahwa metode adalah:
1. Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan,
2. Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu,
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, maka bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam, metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain itu, dapat juga diartikan teknik tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu (segi peserta didik), atau cara yang dipakai untuk merumuskan aturan-aturan tertentu dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan). Dalam makalah ini, batasan yang pertamalah yang akan menjadi fokus kajiannya.
b. Asas-Asas Umum Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini sesungguhnya asa-asanya tidak akan jauh berbeda dengan asa-asa pembentukan kurikulum. Hal ini dikarenakan dalam proses pendidikan Islam, seluruh komponennya merupakan satu kesatuan yang utuh yang membantuk suatu sistem.
Secara umum menurut al-Syaibani , asas-asas metode pendidikan Islam adalah:
1. Asas Agama, yaitu prinsip-prinsip, asas-asas, dan fakta-fakta umum yang diambil dari sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah)
2. Asas Biologis, yaitu dasar yang mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia peserta didik.
3. Asas Psikologi, yaitu prinsip yang lahir di atas pertimbangan kekuatan psikologis, seperti Motovasi, kebutuhan, emosi, minat, bakat, sikap, keinginan, kecakapan akal dan lain sebagainya.
4. Asas Sosial, yaitu asas yang bersumber dari kehidupan sosial manusia seperti tradisi, kebutuhan-kebutuhan, harapan dan tuntutan kehidupan yang senantiasa maju dan berkembang.
c. Prinsip-prindip Metode Pendidikan Islam
Dalam hal ini akan membahas bagaimana menyajikan bahan dan materi yang terdapat dalam kurikulum dalam suatu kegiatan pendidikan. Berikut ini dikemukakan beberapa ayat yang dipergunakan sebagai rujukan pengembangan metode pendidikan Islam
1. Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu sekalian. (Q. S. (33):21)
2. Artinya: Serulah manusia kejalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Berdiskusilah dengan pelajaran yang baik (Q.S (16): 125); Ibrahim berkata: Wahai anaku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu? (Q.S ( 37): 102)
3. (Q.S.(42): 38). sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
4. Artinya: katakanlah: berjalanlah kamu dimuka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu (QS. 6;11), sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah Allah sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu dimuka buki dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan agama (Q.S. (3): 137)
5. Artinya: Tatkala malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia berkata: inilah Tuhanku.tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit. Dia berkata: inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata: sesungguhnya jika tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala matahari terbit…. (Q.S. (6): 76-79)
6. Artinya: perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, bagaikan menanam sebutir banih yang darinya tumbuh tujuh tangkai, dan tiap tangkai seratus biji (Q.S. (2): 261) dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah untuk keteguhan jiwanya, seperti sebuah kebun terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya hujan gerimispun mencukupinya. Allah maha melihat apa yang kami perbuat. (Q.S. (2); 265)
Khusus masalah metode dalam dunia pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik. Akhirnya model penyampaian firman Allah yang evolutif dan demikian pula risalah kenabian mengajarkan kepada kita uswah bahwa sosialisasi Islam yang dikenal dengan pendidikan dan dakwah adalah sebuah proses.
d. Macam Macam Metode
1. Metode Teladan
2. Metode Kisah-kisah
3. Metode Nsihat
4. Metode Pembiasaan
5. Metode Hukuman dan Ganjaran
6. Metode Ceramah
7. Metode Diskusi
8. Metode Perintah dan Larangan
9. Metode Pemberian Suasana
10. Metode Bimbingan dan Penyuluhan
11. Metode Perumpamaan
12. Dan lain sebagainya.
3. Analisis Filosofis tentang Lingkungan Pendidikan
a. Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Sebagaimana yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak disinggung secara lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4: 72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88; 6:92). Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
b. Macam-macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian peserta didik.
1. Lingkungan Keluarga
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak. Bahkan Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.
Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman: Surat al-Tahrim/66 ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.
Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT: Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.
Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
2. Lingkungan Sekolah
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.
3. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.
D. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kurikulum itu adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental.
2. Metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain itu, dapat juga diartikan teknik tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu (segi peserta didik), atau cara yang dipakai untuk merumuskan aturan-aturan tertentu dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan.
3. Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1979)
An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
________. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I. (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)
________________________________________
[1] Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 55
[2] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 478
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123
[4] Lihat S Nasution, Pengembangan Kurikulum, ( Bandung: Citra Adirya Nakti, 1991), cet. IV, h. 9
[5] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1992), h. 304
[6] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 523
[7] Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV Dipenogoro, 1992), h. 273
[8] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1990), h. 197. lihat juga M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet.I, h. 61
[9] Lihat dalam Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 65 lihat juga Mohammad Noor Syam, Falsafah Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), h. 24
[10] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 589
[11] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sippres, 1993), h. 249
ISLAM UNIVERSAL DAN ISLAM LOKAL DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM
ISLAM UNIVERSAL DAN ISLAM LOKAL DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM
A. PendahuluanIslam dikenal sebagai agama universal. Dalam Al Quran, dakwah Islam juga dikenal bersifat universal, tidak khusus untuk suatu kaum atau suatu bahasa saja. Di antara dalil Al Quran atas universalitas Islam adalah ayat-ayat yang berbicara kepada umat manusia dengan ungkapan: “Ya Ayyuhannas” (wahai sekalian manusia!), atau “Ya Bani Adam” (wahai anak-anak Adam). Islam satu-satunya agama universal dan memiliki kesempurnaan di segala aspek yang dapat diaplikasikan oleh manusia dalam kehidupannya. Islam satu-satunya ideologi yang dapat menuntun manusia untuk mencari kesempurnaan yang menjadi idamannya. Walaupun agama Islam merupakan agama terakhir tetapi di sinilah letak keutamaan dan kesempurnaan agama ini dibandingkan dengan agama-agama lainnya, baik itu agama samawi yang turun dari Allah maupun agama atau jalan hidup yang lahir dari ide dan pengalaman spiritual seseorang.
Pandangan Islam tentang pendidikan dapat dirumuskan bahwa belajar merupakan perintah utama dari agama Islam, tercermin pada ayat yang pertama kali turun surat al 'Alaq 1-4. artinya: Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah menciptakan, yakni telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dengan nama tuhanmu yang Maha Mulia, yang telah mengajarkan dengan pena, yakni telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa rumusan masalah yang hendak di kemukakan, sebagai berikut :
1. Apa maksud dari Islam yang Universal itu?
2. Apa pula Islam Lokal itu ?
3. Bagaimana Proses Pendidikan Islam yang Universal ?
4. Bagaimana Proses Pendidikan Islam Lokal ?
B. Pembahasan
1. Islam Universal
Universalisme (al-’Alamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam sebagai agama yang besar berkarakteristikkan: (1) Rabbaniyyah, (2) Insaniyyah (humanistik), (3) Syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4) Wasathiyah (moderat dan seimbang), (5) Waqi’iyah (realitas), (6) Jelas dan gamblang, (7) Integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan elastis).
Jadi menurut pemakalah, Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya.
Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub abadi dalam firman-Nya: “Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam”. “Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam.
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari’ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syari’ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari’ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful, kebebasan dan kehormatan.
Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, bahwa pandangan hidup (world view, weltanschaung) yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial.
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang universal, yang tidak hanya ditujukan kepada Umat Muslim saja akan tetapi menyeluruh bagi semua manusia di muka bumi, tidak memandang ras, suku bangsa, golongan.
2. Islam Lokal
Dalam sejarah manusia seluruh dunia dan pada setiap zaman, agama adalah sesuatu yang terus mengalami perubahan. Hal demikian ini dikarenakan agama tidaklah lahir dari sebuah realitas yang hampa, tetapi ia (agama) hadir dalam masyarakat yang telah mempunyai nilai-nilai. Pertemuan antara Islam dan budaya Indonesia yang notabene mempuyai budaya dan kultur yang berlainan antar suku bangsa misalnya, telah menjadikan Islam Indonesia mempunyai banyak wajah.
Ini tercermin dari beragamnya organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Dewan Dakwah Islamiyah (DDII), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (Islam Tauhid), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain sebagainya yang merupakan bukti dari banyaknya wajah atau lebih tepatnya ekspresi keberagamaan keislamanan masyarakat Indonesia. Beragamnya ekspresi keberagamaan tersebut menurut Geertz (1960) dipengaruhi oleh proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal yang heterogen.
Jadi yang dimaksud islam lokal di sini adalah Islam yang telah menjadi padu padan dengan keadaan adat istiadat dan budaya suatu bangsa tertentu, sehingga memunculkan islam yang lebih bersifat lokal dan tidak Universal.
3. Proses Pendidikan Islam Universal
Menyoroti asal usul pendidikan Islam haruslah disertai dengan pemahaman tentang motivasi awal proses belajar mengajar yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah dengan penekanan pada periode awal. Sebagai bukti terdapat kaitan erat antara belajar dan penggerak utamanya. Ketika Islam sebagai suatu agama menempatkan ilmu pengetahuan pada status yang sangat istimewa. Allah akan meninggikan derajat mereka yang beriman diantara kaum muslim dan mereka yang berilmu .
Penggerak utama dari wahyu inilah yang sangat memotifasi muslim dalam belajar. Selain itu mereka belajar juga dalam rangka mengembangkan fitrah mereka. Ini berpedoman bahwa pendidikan Islam secara universal yaitu bahwa manusia dilahirkan secara fitrah (HR. Muslim), karena itu pengembangan fitrah-fitrah harus dilakukan dengan ajaran agama Islam (wahyu) sebagaimana dalam QS: an-Nahl:89 .
Proses perkembangan pendidikan islam secara universal pada masa Islam klasik abad pertengahan memperlihatkan adanya transformasi dari masjid ke madrasah. Selanjutnya setelah masa kejumudan pada abad ke-19 banyak negara Islam melakukan modernisasi sebagai akibat dari pengaruh Barat.
Pembaharuan dan modernisasi pendidikan Islam dimulai di Turki. Semangat yang ada di Turki ini kemudian menular pada beberapa kawasan lainnya, terutama seluruh wilayah kekuasaan Turki Ustmani di Timur Tengah. Ada dua kebijakan fundamental yang dilakukakn terkait dengan pengelolaan kelembagaan pendidikan, yaitu pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa dan penghapusan sistem madrese dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum.
Selain Mustafa Kemal Ataruk, di Mesir Muhammad Ali Pasya juga melakukan pembaharuan. Pembaharuan Ali Pasya ini berlanjut hingga ke Gamal Abdul Naser yang menghapuskan sistem madrasah dan kuttab.
Bentuk modernisasi dalam Islam membentuk pola sendiri, di sisi lain ada suatu gerakan yang mengatasnamakan pembaharuan. Islam yang menyebar keseluruh dunia bercambur dengan budaya lokal mulai dimasuki oleh tradisi, pemikiran, ideologi, dan mazhab baru yang muncul sebagai proses dialektika kesejarahan manusia modern, ada sejumlah umat yang merasa Islam sudah dikotori oleh faktor eksternal (sesuatu di luar Islam). Yang pada gilirannya memunculkan gerakan pemurnian yang mengarah pada pemberantasan terhadap tradisi keberagamaan masyarakat.
Watak seperti ini sejatinya mencerminkan betapa Islam sebagai agama tidak boleh dimasuki paham-paham lain di luar Islam. Karena itu, tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad Ibn Abd al-Wahhab gencar melakukan pemurnian Islam dalam pembaruan Islam. Paham seperti ini terus mengeksiskan diri dalam bentuk gerakan baru, gerakan baru ini memetakan bentuk-bentuk pendidikan dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh para organisasi pembaharuan tersebut.
4. Proses Pendidikan Islam Lokal
Masyarakat Indonesia dengan tingkat kemajemukan sangat tinggi baik etnik, budaya, ras, bahasa, dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. Secara spesifik pendidikan agama di tuding telah gagal menjalin keragaman melalui pendidikan yang melampui sekat-sekat agama. Pendidikan agama seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama.
Padahal keragaman sosial budaya, ekonomi dan aspirasi politik dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyakarat dan bangsa indonesia.
Namun demikian keragaman tersebut yang seharusnya menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum nampaknya belum dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan di negara kita.
Dalam tingkat lokal di Indonesia, pendidikan Islam mengalami pergeseran sebagai akibat dari kolonialisme dan kontak dengan budaya luar. Pemerintah kolonial Belanda di Indonesia mendirikan volkschoolen , walaupun sekolah ini kebanyakan gagal karena tingginya angka putus sekolah dan mutu pengajaran yang amat rendah, tapi banyak kalangan pesantren di Jawa yang akomodatif terhadap modernisasi semacam itu.Sikap akomodatif itu dikarenakan:
a. Sekolah rakyat dalam kenyataannya telah melahirkan sebagaian masyarakat pribumi menjadi terdidik.
b. Untuk menimbangi dan menjawab kolonialisme dan kristenisasi.
c. Beberapa kalangan tradisional pesantren mengambil sikap akomodatif dengan mendirikan madrasah di dalam pesantren. Kemudian karena kontak intellektual dari luar terutama Timur Tengah banyak yang mendirikan Organisasi-organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyyah, Persis, Mathla’ul Khoir dan sebagainya yang banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern yang kebanyakan dari lembaga tersebut adalah lembaga kombinasi antara model pendidikan Barat dan Islam .
Determisme historis telah membentuk suatu gerakan demi mewujudkan kembali kejayaan Islam. Hal ini mengacu pada cerita sukses Islam sebagai agama kosmopolit sejak zaman Nabi saw, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyah, dan Turki Utsmani. Meskipun globalisasi wilayah Islam tidak lagi seperti pada zaman keemasannya, dengan sistem kekhalifahan Islam (nizham al-Islam) dari semenanjung Arab hingga daratan Eropa, kini memori sejarah itu telah memberikan motivasi kuat untuk melakukan perubahan menuju Islam global dalam bentuknya yang paling ekstrem melalui penaklukan doktrinal. Yakni, memberikan justifikasi teologis bahwa model dan cara beragama masyarakat muslim di wilayah non-Arab sebagai tidak asli dan tidak murni.
Tak heran jika Islam selalu didakwahkan dalam terminologi ‘Islam Kafah’ untuk menjustifikasi agenda puritanisme. Sehingga, ketika ditemukan ajaran-ajaran agama lokal dianggap sebagai sinkretis, tidak beradab, antikemajuan, kumuh, dan tidak otentik. Karena itu, yang dilakukan adalah mengganti seluruh ritual lokal menjadi ritual Islam. Tak heran jika praktik seperti ini disebut Islam global .
Gerakan pembaharuan yang berkiblat dari Mekkah telah melahirkan suatu gerakan besar di Indonesia. Sekembalinya dari Arab mereka menjustifikasi budaya lokal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, mereka mendirikan lembaga pendidikan yang bernuansa seperti diatas dan mengajarkan doktrin-doktrin mereka. Apa yang mereka maksud sebetulnya baik tapi melahirkan efek negatif seperti yang dikemukakan Samsul Ma’arif bahwa; bentuk pendidikan semacam itu pada akhirnya hanya mengantarkan murid-muridnya memiliki cara pandang yang sempit dan eklusif alias picik. Karena memang dalam proses pendidikannya tidak di ajarkan untuk berbeda pendapat lebih-lebih untuk menggali nilai-nilai perbedaan dalam agama, budaya dan etnik .
Satu kelompok lagi yang terjebak realisme praktis yaitu; kelompok yang mengatasnamakan modernisasi. Mereka ini umumnya adalah orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan di Barat dan ingin mencontoh kemajuan di Barat. Sama seperti kelompok yang pertama, kelompok yang ini juga ingin merombak kembali pemahaman atas Islam tapi bukan kembali ke belakang tapi lebih maju ke depan yaitu dengan modernisasi ala Barat. Dua mainstream pendidikan seperti di atas sangat mewarnai pendidikan Islam di Indonesia.
Mencari autentisitas Islam menjadi sangat sulit dan bahkan tidak mungkin mengingat pluralitas pengalaman, tantangan, dan problem yang dihadapi umat manusia di zaman dan tempat yang berbeda. Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama telah mengalami historisasi sesuai dengan karakter penganutnya (umat manusia) yang hidup di dalam alam kesejarahan. Sehingga, jargon kembali kepada generasi Salaf (Alquran dan Hadis) mesti ditafsir ulang sesuai dengan konteks zamannya.
Dengan demikian, benturan antara Islam sebagai agama global, universal, kosmopolit dan lokalitas, bukan dalam pengertian penaklukan terhadap tradisi keberagamaan masyarakat lokal. Melainkan, melakukan akomodasi positif dalam tiga arah, antara agama pendatang (Islam), moderisasi Barat dan agama lokal. Inilah yang mesti menjadi karakter Islam di Indonesia dalam setiap perubahan zaman, sehingga aspek-aspek lokalitas dan yang pribumi dapat menjadi bagian dari praktik keberagamaan masyarakat di mana pun berada.
Pendidikan Islam yang lokalis, yaitu yang mengakomodir kebijaksanaan budaya lokal serta berwawasan global adalah perlu agar tidak terjerembab puritanisme dan tidak terlalu mengadah pada modernisme. Atau dengan kata lain act locally think globally. Sebagaimana pada masa awal Islam datang ke Indonesia yang bisa dnegan mudah diterima masyarakat. Islam di terima di Indonesia karena beberapa faktor terutama karena islam itu tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah dituruti oleh segala golongan.Bahkan untuk masuk Islam cukup dengan kalimat syahadat.
C. Kesimpulan
Proses pendidikan Islam secara universal itu di mulai dengan pendidikan di masjid, suffah dan sebagainya. Kemudian pada masa pertengahan di mulailah dengan lebih sitematis dalam bentuk lembaga madrasah. Pada masa ini mencapai kejayaannya.
Kemudian setelah masa kemunduran, pada abad ke 19 muncullah gerakan pembaharu Islam yang ingin memperbaharui pendidikan Islam. Pembaharuan ini ada dua macam yaitu dengan mengadopsi sekularisme dan mencontoh kemajuan di Barat. Sedangkan yang satunya lagi ingin mengembalikan ke suasana pada masa kejayaan Islam dengan menghilangkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran murni Qur’an dan Hadist.
Dalam ruang lingkup lokal keIndonesiaan, lembaga pendidikan Islam yang pertama yaitu pesantren dalam perjalanan awalnya adalah sebagai lembaga nomor satu di Indonesia, Kemudian setelah sekolah umum yang didirikan kolonial .
DAFTAR PUSTAKA
Lihat: Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam oleh Abdurrahman Wahid dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”. Editor: Budhy Munawwar Rahman. (Jakarta : Yayasan Paramadina, cet. I, 1994) , 515.
Dr. Yusuf Qardhawi, “Madkhal li al-Dirasat al-Islamiyah” (Beirut, cet. I,1993) hal. 61
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan” (Jakarta, cet. I, 1989),
Ahmad Salehudin, Fenomena Ekspresi Keberagaman Islam Lokal, (Yogyakarta : Pilar Media, Cetakan: 1,2007), 4
http://isyraq.wordpress.com/2008/04/06/islam-agama-universal/
http://lare44.blog.friendster.com/2008/11/islam-dan-akulturasi-budaya-lokal/05/2010
Islam satu-satunya agama universal dan memiliki kesempurnaan di segala aspek yang dapat diaplikasikan oleh manusia dalam kehidupannya. Islam satu-satunya ideologi yang dapat menuntun manusia untuk mencari kesempurnaan yang menjadi idamannya. Walaupun agama Islam merupakan agama terakhir tetapi di sinilah letak keutamaan dan kesempurnaan agama ini dibandingkan dengan agama-agama lainnya, baik itu agama samawi yang turun dari Allah maupun agama atau jalan hidup yang lahir dari ide dan pengalaman spiritual seseorang.
Islam datang sebagai penyempurna bagi agama-agama yang telah datang sebelumnya. Dan Rasulullah sebagai pembawa dan pengemban risalah Ilahi merupakan nabi terakhir yang setelahnya tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul. Allah berfirman dalam surat al-Maidah yang masyhur sebagai ayat yang terakhir turun: “Hari ini telah aku sempurnankan bagi kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan segala nikmatku kepadamu dan akupun ridha Islam sebagai agamamu.” (Qs. al-Maidah [5]:3)
Ayat ini menyiratkan bahwa sejak hari itu, setelah segala perintah dan hukum-hukum Allah kurang lebih selama 23 tahun lamanya secara sempurna sampai kepada Rasulullah maka tugas dan risalah Rasulullah pun berakhir. Artinya era kenabian atau nubuwah telah berakhir dan era baru telah dimulai yaitu era wilayah yang berfungsi sebagai penjaga dan penafsir syariat Rasulullah.
Ayat ini banyak dibicarakan dan dibahas oleh para mufassir dari kedua kelompok (Syiah dan Sunni), sebab ayat ini memiliki posisi yang sangat penting dan krusial dalam kelangsungan aqidah dan keyakinan, di sini kita tidak akan mengulas panjang lebar ihwal ayat ini. Bagi mereka yang menarik untuk menelaah kandungan atau asbabun nuzulnya dan bagi yang ingin tahu secara panjang lebar tentang ayat ini, kami persilahkan untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir atau buku yang secara terpisah dan khusus mengupas ayat ini.
Oleh karena itu, dengan sifat kesempurnaan yang dimilki oleh Islam maka ia mampu menjawab segala tantangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia, tidak ada suatu masalah dan problem kehidupan kecuali Islam mampu menjawab dan memberikan solusi untuknya. Islam sebuah agama yang tidak membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lainnya, di mata Islam semua manusia adalah sama, tidak terdapat perbedaan jasmani antara satu dengan yang lainya. Kulit putih sama dengan orang kulit hitam, orang Arab sederajat dengan non-Arab, Si kaya sama posisinya dengan si miskin, dan sebagainya. Tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal perbedaan dan tingkatan, tetapi Islam membedakan derajat dan tingkatan seseorang bukan dari segi lahiriah dimana meninjam istilah teknis filsafat, manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan, semuanya sama sebagai insan tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat eksistensinya. Semakin dekat ia dengan sumber wujud (Tuhan) maka semakin kuat keberadaannya atau keimanan dan ketaqwaannya.
Berbeda dengan agama-agama yang lainnya, dimana syiar dan kenyataannya sangat jauh berbeda. Perbedaan dan diskriminasi begitu sangat mencolok, manusia dinilai dari segi lahiriahnya, semakin tinggi tingkat sosialnya maka semakin mendapat tempat dan posisi dalam agama tersebut. Tempat-tempat ibadah dapat menjadi contoh yang sangat jelas tentang
hal ini. Orang kaya, pejabat dan pemuka masyarakat memilki posisi yang utama di dalam tempat-tempat ibadah dan orang miskin dan masyarakat yang memilki derajat rendah harus rela untuk menempati tempat yang sederajat dengan keadaan mereka. Tetapi di dalam agama Islam hal ini tidak terlihat, siapa saja bisa menempati tempat yang diinginkannya, tidak terjadi dikotomi strata sosial.Rahasia Universalitas Islam
Rahasia keuniversalan dan kekekalan Islam terletak pada doktrin dan ajarannya yang sesuai dan sejalan dengan fitrah manusia, sehingga tidak terjadi kebimbangan dan keraguan bagi orang yang telah percaya dan meyakini agama tesebut, lain halnya dengan agama-agama yang lainnya, misalnya agama Kristen, dimana doktrin dan ajaran serta keyakinan yang terdapat di dalamnya, antara satu dengan yang lainnya terdapat pertentangan sehingga tidak membuat pemeluknya tenang dan mantap, malah sebaliknya membuat mereka bimbang dan ragu dengan apa yang mereka yakini.
Keyakinan kepada Tuhan yang satu tetapi tiga atau trinitas sampai detik ini tidak mampu terjawab dengan baik dan memuaskan. Semakin dipikirkan dan direnungi bukannya menambah ketenangan dan keyakinan tetapi sebaliknya malah memunculkan keraguan dan kebimbangan. Sehingga yang terjadi di kalangan pemeluk kristen adalah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin
tinggi tingkat keraguan dan kebimbangan dia kepada keyakinan agama Kristen. Dan kenyataannya orang-orang yang tidak percaya dengan trinitas adalah dari golongan ilmuan dan cendekiawan.
Bukankah dalam sejarah pernah terjadi pertentangan yang sengit dan tajam antara ilmuan dan golongan gereja dimana pengikut gereja ingin mempertahankan doktrin gereja atau Kristen yang bertentangan dengan akal pikiran dan logika.
Di sisi lain para ilmuan yang lebih mendahulukan akal dan logika dalam kehidupannya tidak mampu merasionalkan keyakinan dan doktrin Kristen tersebut sehingga konsekuensinya mereka menolak dan tidak menerima doktrin-doktrin tersebut.
Terjadinya pertentangan antara akal dan keimananan disebabkan oleh jauhnya keyakinan dan ajaran-ajaran kristen atau gereja dari fitrah manusia. Jika sebuah agama atau ideologi telah bertentangan dengan fitrah manusia maka sebagai konsekuensinya agama itu tidak akan kekal dan akan ditinggalkan oleh pengikutnya, sebab fitrah tidak lain perwujudan dari diri manusia itu sendiri dan telah ada sejak manusia itu diciptakan dan dia tidak akan pernah mengalami perubahan, senantiasa eksis serta memilki sifat suci, karena itu hanya padanyalah Allah mentajallikan atau mewujudkan diri-Nya, sebab terdapat kesesuaian sifat dari keduanya, yaitu Allah memilki sifat yang eksis, kekal dan tidak pernah mengalami perubahan, demikian pula dengan fitrah atau ruh manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 172 yang terkenal dengan ayat mitsaq (pengambilan bai’at atau perjanjian).
Oleh karena itu, fitrah tidak pernah salah dalam menentukan misdaq kebenaran dan tidak akan binasa dan sirna dari diri manusia, hanya saja kekuatan cahayanya bisa mengalami keredupan. Jadi hanya Islamlah satu-satunya agama yang mampu menyelamatkan dan menjawab segala problema dan dilema kehidupan manusia. ”Sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah hanya Islam saja”. (Qs. al-Imran [3] : 19)
Oleh karena itu Islam tidak pernah bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh nabi-nabi ulul azmi sebelumnya. Dan kalaupun terdapat perbedaan antara syariat nabi yang satu dengan yang lainnya maka itu hanya terletak pada masalah-masalah juz’i saja dan bukan pada inti dari ajaran itu serta itu juga tidak bermakna sebagai pembatalan terhadap syariat yang lain (sebelumnya), sebab terkadang sebuah ajaran atau syariat disesuaikan dengan kondisi yang dimiliki dan dihadapi oleh daerah atau zaman itu. Adapun nasakh-mansukh yang berfungsi sebagai pembatalan atau bermakna tidak benarnya syariat nabi-nabi sebelumnya, hal ini tidak pernah terjadi didalam agama samawi, sebab pengatur dan pembuat undang-undang bagi manusia hanya Allah semata dan segala sesuatu yang datang dari Allah mempunyai sifat hak dan benar. Allah berfirman
dalam surah al-Ahzab ayat 4 : “Dan Allah hanya berkata yang benar dan hanya Dialah satu-satunya yang menunjuki jalan kebenaran”.(Qs. al-Ahzab [33] : 4)
Beranjak dari pemikiran prinsip illat ini, kita akan mampu membuktikan akan perennial dan universalitas agama Islam terhadap agama-agama yang lainnya sebagai berikut :
Manusia sebagaimana makhluk hidup lainnya untuk mempertahankan dirinya supaya tetap eksis maka ia harus berusaha dan bekerja keras sehingga segala harapan dan tujuan hidupnya dapat tercapai. Adapun tujuan hidup manusia sangat jauh berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia walaupun pada satu sisi memiliki persamaan dengan makhluk lainnya akan tetapi pada sisi eksistensialnya sangat jauh berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, Tuhan pencipta memberikan dua kelebihan yaitu akal dan ruh atau fitrah kepada manusia sehingga ia dapat mewujudkan kesempurnaan dirinya.
Adapun kesempurnaan atau keutamaan yang menjadi target dan tujuan manusia tidak terletak pada sesuatu yang bersifat materi seperti harta, pangkat dan jabatan, sebab semua itu akan punah dan binasa. Sedangkan fitrah (ruh) manusia memilki sifat yang kekal dan tidak akan binasa. Namun terkadang manusia menyangka bahwa semua keindahan dan kesempurnaan yang ada di dunia ini adalah sesuatu yang hakiki dan kekal dan menjadi tujuan dari hidupnya.
Karena tidak adanya relevansi antara hakikat penciptaan manusia dengan segala ajaran dan aturan hidup yang ada di dalam kitab-kitab agama lainnya atau yang diajarkan oleh agama-agama lainnya maka ia tidak dapat diterima sebagai jalan untuk menyelamatkan dan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan hidupnya.
Kendatipun manusia memiliki fitrah, namun tidak secara otomatis dia dapat mengetahui hakikat kesempurnaan dirinya dan cara dapat meraihnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya godaan, tipu daya, serta rintangan yang mengganggunya sehingga membuatnya tertipu dengan berbagai fatamorgana kebenaran. Oleh sebab itu sang pencipta yang sangat mengetahui kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia, tidak membiarkan manusia begitu saja didalam kebingungan dan keraguan tentang apa yang harus dia lakukan untuk meraih kesempurnaan dan kebahagian hidup, namun dengan kebesaran dan lutf-Nya Dia tetap menuntun dan mengawasinya. Dan hal ini sesuai dengan firman-Nya: “…Tuhan Kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.“ (Qs. Thaha [21]:50)
Oleh karena itu, penyempurna (mukammil) dan penuntun hakiki hanya milik Allah saja, sebab untuk terjalinnya sebuah hubungan yang erat dan selaras antara dua bagian yaitu antara pencipta kesempurnaan dan penuntun atau pembuat konstitusi sangat membutuhkan keahlian yang luar biasa, sementara yang paling mengetahui tentang hakikat antara keduanya serta kebutuhan manusia hanya sang pencipta saja, oleh karena itu kedua hal ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Dan yang dimaksud dengan penyempurna dan berfungsi sebagai jalan hidayah bagi manusia tidak lain adalah agama. Yakni suatu agama yang tidak bertentangan dengan hakikat penciptaan manusia, sehingga dia dapat mengantarkan manusia kepada tujuan yang ingin diraihnya (kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki). Oleh karena itu, kita tidak akan melihat terjadinya pertentangan antara akal dan ilmu pengetahuan sebagai tempat amal shalih dengan fitrah atau ruh manusia yang menjadi tempat tajallinya sang pencipta. Maka itu dalam al-Qur’an, iman (ruh) dan amal shalih tidak pernah terpisahkan.
Dengan demikian, pada hakikatnya secara fitrah manusia butuh kepada agama dan itupun hanya agama samawi, dan di antara agama samawi hanya agama Islam yang dengan al-Qur’annya tetap terpelihara keorisinilannya, agama yang turun dan datang dari sang pencipta. Dan apabila manusia mencari kesempurnaan maknawi dan hakiki melalui agama selain agama samawi (Islam) maka niscaya ia tidak akan mendapatkannya dan ini telah diibuktikan oleh sejarah dan pengalaman.[www.wisdoms4all.com]
A. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan pewaris dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagai yang termaktub dalam al-Qur’an dan terjabar dalam Sunnah Rosul, yang dimaksudkan adalah dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.1) Dengan demikian ciri yang membedakan antara pendidikan Islam dengan yang lain adalah pada penggunaan ajaran Islam sebagai pedoman dalam proses pewarisan dan pengembangan budaya ummat manusia tersebut.
Menurut Mochtar Buchori dalam setiap pendidikan seyogianya bersifat antisipatoris, karena setiap pendidikan mempersiapkan peserta didik untuk mengarungi kehidupan dimasa depan.2) Sementara itu, Hasan Langulung merumuskan Pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.3)
Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus melalui proses yang panjang, dengan resultant (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya. Dalam proses pembentukan tersebut, diperlukan suatu perhitungan yang matang dan hati-hati berdasarkan pandangan dan pikiran-pikiran atau teori yang tepat, sehingga kegagalan atau kesalahan-kesalahan langkah pembentukan terhadap anak didik dapat dihindarkan. Oleh karena lapangan tugas dan sasaran pendidikan adalah makhluk yang sedang hidup tumbuh berkembang dan berkembang yang mengandung berbagai kemungkinan. Bila kita salah bentuk, maka kita akan sulit memperbaikinya.
Pendidikan Islam pada khususnya yang bersumberkan nilai-nilai agama Islam disamping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang melandasinya adalah merupakan proses ikhtiyariah yang secara paedagogis mampu mengembangkan hidup anak didik kearah kedewasaan/kematangan yang menguntungkan dirinya. Oleh karena itu usaha ikhtiyariah tersebut tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan atas trial and error (coba-coba) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa dilandasi dengan teori-teori kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah paedagogis.4)
Karena pada hakekatnya, Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kebutuhan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi.5) Sebagaimana yang tercantu dalam firman Allah SWT, surat al-Jumuah ayat 10:
وإدا قضيت الصلوة فانتشروا فى الأرضى وابتغوا من فضل الله واذ كروا الله كشيرا لعلكم تفلحون (الجمعة: ١٠)
Artinya :
Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jumu’ah:10).
Pendidikan Islam merupakan pergaulan yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada kebaikan, disertai dengan perasaan cinta kasih kebapakkan dengan menyediakan suasana yang baik dimana bakat dan kemampuan anak dapat tumbuh berkembang secara lurus.6)
Pendidikan dalam Islam merupakan bagian dari da’wah, dan kata terakhir ini yang diungkap al-Qur’an. Ia memberikan suatu model pembentukan kepribadian seseorang, keluarga, dan masyarakat. Sasaran yang hendak dicapai ialah terbentuknya akhlaq yang mulia, serta mempunyai ilmu yang tinggi dan taat beribadah.7) Allah SWT berfirman:
... يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتوا العلم درجت... (المجادلة:١١)
Artinya :
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Mujadalah:11).
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup (Zakiah Darajat, 1983:1).8) Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia memerlukan adanya pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan ditentukan aktifitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan, secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Langeveld, beliau berpendapat bahwa anak manusia itu memerlukan pendidikan. Karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya (hulpelaosheid).9)
والله اخرجكم من بطون امهتكم لاتعلمون شبأ وجعل لكم السمع والابصروالافئدة (النحل:٧٨)
Artinya :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui sesuatu apapun, dan Ia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati”.
Sekalipun demikian Allah menjadikan manusia itu sebaik-baiknya bentuk. Struktur manusia itu terdiri dari unsur rohaniah atau psikologi. Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kencenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behavionisme disebut propetence ref-lexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).9)
Pendidikan Islam salah satu tujuannya adalah terbentuknya akhlak yang mulia. Akhlak yang dimaksud disini menyangkut aspek pribadi, keluarga, dan masyarakat baik dalam hubungan sesama manusia dan alam lingkungan maupun hubungan dengan Allah pencipta alam semesta (aspek horizontal dan aspek vertikal).
Drs. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani dan bedasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut Islam”.10)
Haidar Putra Daulay, mengatakan bahwa “pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani”.11)
Pendidikan Islam merupakan pergaulan yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada kebaikan disertai dengan perasaan cinta kasih kebapakkan dengan menyediakan suasana yang baik dimana bakat dan kemampuan anak dapat tumbuh berkembang secara lurus.12)
Pendidikan merupakan persoalan penting bagi umat. Pendidikan selalu menjadi tumpuan atau harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidika merupakan sarana untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan menciptakan generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka.13)
Pendidikan dalam Islam merupakan bagian dari da’wah dan kata terakhir ini yang diungkap al-Qur’an. Ia memberikan suatu model pembentukan kepribadian seseorang, keluarga dan masyarakat. Sasaran yang hendak dicapai ialah terbentuknya akhlaq yang mulia, serta mempunyai ilmu yang tinggi dan taat beribadah.14) Akhlak yang dimaksud disini menyangkut aspek pribadi, keluarga dan masyarakat baik dalam hubungan sesama manusia dan alam lingkungan maupun hubungan dengan Allah pencipta alam semesta (aspek horizontal dan aspek vertikal). Dari sini terwujud muslim intellectual. Pendidikan merupakan institusi pembentukan dan pewarisan serta pembangunan budaya umat manusia. Pendidikan Islam bukan sekedar masalah-masalah dunia semata, akan tetapi menyentuh perpaduan rohani dan jasmani. Dengan istilah lain pendidikan Islam mempersiapkan seseorang berperilaku ihsan (tetap guna) dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu proses pendidikan Islam memerlukan konsep-konsep yang pada gilirannya dapat dikembangkan menjadi teori-teori yang teruji dalam praktek di lapangan operasional. Bangunan teoritis kependidikan Islam itu akan dapat berdiri tegak di atas fondasi pandangan dasar (filosofi) yang telah digariskan oleh Tuhan dalam kitab suci wahyu-Nya al-Qur’an Karim.15)
Islam mengajarkan pada umatnya bahwa pendidikan sangat penting, bahkan diwajibkan untuk melaksanakan pendidikan, karena menurut ajaran agama Islam pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia mutlak yang harus dipenuhi, demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dasar pendidikan Islam secara garis besar ada 3, yaitu: al-Qur’an, as-Sunah, dan Undang-undang yang berlaku di negara kita.16)
Dasar dari al-Qur’an adalah firman Allah surat al-‘Alaq 1-5:
إقرأ باسم ربك الذى خلق(١) خلق الإنسان من علق(٢) إقرأ وربك الاكرم(٣) الذى علم بالقلم(٤) علم الانسان مالم يعلم (٥)
Artinya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan Kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang diketahuinya.”17)
Dasar pendidikan Islam seperti yang diamanahkan oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 15 disebutkan bahwa, “jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademis, profesi, keagamaan, dan khusus”.
Dan pasal 11 ayat 6 disebutkan “pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli agama.”18)
Pemahaman tentang pendidikan Islam dapat diawali dari penelusuran pengertian pendidikan Islam, sebab dalam pengertian itu terkandung indikator-indikator esensial. Istilah pendidikan dalam Islam dapat diambil dari bahasa dan istilah. Dari sudut pandang bahasa, pendidikan Islam berasal dari khazanah istilah bahasa Arab. Ada tiga istilah yang relevan yang dapat menggambarkan konsep dan aktivitas pendidikan Islam, yaitu: al-ta’dib, al-ta’lim, al-tarbiyah. 19)
Dalam bukunya Abdul Mujib bahwa ta’dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama), terbagi atas empat macam: pertama, ta’dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang dengannya segala sesuatu diciptakan. Kedua, ta’dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang seorang hamba manusia harus mengabdi kepada sang raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang pantas. Ketiga, ta’dib adab al-syari’ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syariah, yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala pemenuhan syari’ah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan berperilaku mulia di antara sesama.20)
Sementara itu dari Dr. Abdul Fatah Jalal berpandangan lain. Istilah ta’lim menurutnya lebih relevan.21) Pendidikan dalam Islam yang artinya ta’lim adalah mengajar. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 151, yang berbunyi:
كما أرسلنافيكم رسولا منكم يتلوا عليكمءاياتنا ويزكيكم ويعلمكم الكتاب والحكمة ويعلمكم مالم تكونوا تعلمون (١٥١)
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui”.22)
Serta firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 129, yang berbunyi:
ربنا وابعث فهم رسولا منهم يتلوا عليهم ءاياتك ويعلمهم الكتاب والحكمة ويزكيهم إنك انت انت العزيز الحكيم (١٢٩)
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuas lagi Maha Bijaksana”.23)
Islam dicerminkan dalam ayat 151 dan 129 surat al-Baqarah di atas memandang proses al-ta’lim lebih universal, sebab ketika mengajarkan tilawah al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW tidak sekedar terbatas pada mengajarkan mereka membaca, melainkan membaca disertai dengan perenungan tentang pengertian, pemahaman, tanggung jawab, dan penanaman amanah.24)
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan: “proses transmisi berbagai ilmi pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu”. Pengertian ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 31 tentang ‘allama Tuhan kepada Nabi Adam As. Proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma’ (nama-nama) yang diajarkan oleh Allah kepadanya.25)
Sementara itu, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, istilah al-tarbiyah lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan Islam, tarbiyah berarti mendidik. Mendidik berarti mempersiapkan peserta didik dengan beragai cara, agar dapat mempergunakan tenaga dan bakatnya dengan baik, sehingga mencapai kehidupan sempurna di masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan mencakup pendidikan akal, kewarganegaraan, jasmaniah, akhlak, dan kemasyarakatan.26)
Jika istilah tarbiyah diambil dari fi’il madli¬-nya (robbayani) maka ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan.27)
Menurut Fahr al-Razi, istilah rabbayani tidak hanya mencakup ranah kognitif, tapi juga afektif. Sementara Sayyid Quthub menafsirkan istilah tersebut sebagai pemeliharaan jasmani anak dan menumbuhkan kematangan mentalnya.28) Dua pendapat ini memberikan gambaran bahwa istilah tarbiyah mencakup tiga domain pendidikan, yaitu: kognitif (cipta), afektif (rasa), dan psikomotorik (karsa) dan dua aspek pendidikan, yaitu jasmani dan rohani. Potensi jasmaniyah manusia adalah yang berkenaan dengan seluruh organ fisik manusia. Sedangkan yang berkenaan dengan seluruh potensi rohaniyah manusia itu meliputi kekuatan yang terdapat dalam batin manusia, yakni akal, qalbu, nafsu, dan roh.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tugas pendidikan Islam ini merupakan realisasi dari pengertian tarbiyah (menumbuhkan atau mengaktualisasikan potensi). Asumsi tugas ini adalah bahwa manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut. Pendidikan berusaha untuk menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi tersebut yang dimiliki oleh peserta didik.
Kita ketahui bahwa peserta didik ini adalah manusia. Sedang manusia dalam pandangan Islam merupakan perkaitan antara badan dan ruh, yang masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut (jasmaniah dan rohaniyah) dan berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan (pendidikan). Dalam hubungan ini pendidikan amat memegang peranan penting.
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia dibuktikan dengan keberadaan akal fikiran atau kecerdasan (intelligence) dalam struktur tubuh manusia. Kecerdasan manusia memiliki kompleksitas yang sangat rumit dan canggih yang membedakannya dengan kecerdasan yang dimiliki oleh makhluk lain, seperti binatang dan tumbuhan.
Dalam diri manusia terdapat beraneka ragam kecerdasan (multiple intelligence) yang hingga kini masih menjadi bahan penelitian yang tiada habisnya bagi para ahli syaraf dan psikologi. Belakangan ditemukan beberapa jenis kecerdasan manusia, selain kecerdasan intelektual (IQ), yang telah lama diteliti orang, yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), serta kecerdasan-kecerdasan yang lainnya.
Agama Islam adalah agama yang universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, seperti dalam definisi luar yang terangkum, bahwa benar adanya pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Selanjutnya dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik, hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah 31:
بأسماء أبئوفى فقال المليكة على عرضهم ثم كلها الأسماء ءادم وعلم صادقين كنتم إن هؤلاء (٣١)
Artinya :
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”.
Secara fitrah, manusia sudah diciptakan untuk selalu mendapatkan pengetahuan melalui dididik maupun ketika mereka mendidik. Namun demikian manusia tetap harus menggali potensi yang ada dalam diri manusia sendiri, seperti QS. Al-Hujarat: 13:
لتعارفوا وقبائل شعوبا وجعلنكم وأنثى ذكرة من خلقنكم إنا الناسى يأيها خبير عليم الله إن اتقكم الله عند أكرمكم إن (١٣)
Artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”.
Bahwa dalam pernyataan Allah tersebut menunjukkan potensi dasar yang merupakan bagian integral dari fitrah manusia, seperti pendengaran, penglihatan, akal fikiran sebagai sumber daya manusia (SDM), berbangsa-bangsa dan bersuku-suku sebagai potensi sosial. Semua itu baru bermakna bagi kehidupan manusia apabila manusia mau mensyukurinya dalam artian mampu menggunakannya dengan baik, memelihara dan meningkatkan daya gunanya.29)
Langganan:
Postingan (Atom)