BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama, akhlaq serta ilmu pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, dimana ketiganya merupakan suatu komponen dalam sisi diri manusia. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing dan mengarahkan hidup manusia untuk dapat hidup lebih tentram dan tenang bahagia serta sentosa.
Dengan adanya agama di dalam kehidupan manusia maka manusia diharapkan akan memiliki kepribadian tingkah laku atau yang sering kita sebut sebagai akhlaq. Dimana di dalam agama telah gamblang contohkan aturan-aturan atau norma-norma, dalam segi kehidupan mulai dari bangun tidur sampai dengan akn tidur kembali.
Setiap aktivitas manusia yang merupakan makhluk social yang berinteraksi dengan manusia lain, tentunya dibutuhkan sebuah perilaku yang dapat diterima oleh manusia lain.
Kaitannya agama, akhlaq dengan ilmu pengetahuan adalah merupakan satu kesatuan yang satu. Artinya dengan ilmu pengetahuan manusia akan tahu dan mengerti tentang sesuatu yang benar atau yang dibenarkan serta salah yang disalahkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Agama itu ?
2. Apa definisi dari Akhlaq itu ?
3. Apa definisi dari Ilmu Pengetahuan itu ?
4. Bagaimana Hubungan antara Agama, Akhlaq dan Ilmu Pengetahuan itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu : menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
1. Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya ada beberapa cara untuk beragama yaitu sebagai berikut :
a. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
b. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
c. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
d. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
2. Agama di Indonesia
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
B. Definisi Akhlaq
Akar kata ‘AKHLAQ’ dalam bahasa ‘Arab adalah ‘kholaqo’ (masdar tsulastsy) yang merupakan akar pula kata-kata ‘kholiq’, ‘kholq’ dan ‘makhluq’. ‘kholaqo’ sendiri berarti menciptakan. Ketiga buah kata ‘Kholiq’, ‘Akhlaq’ dan ‘makhluq’ murapakan kata yang saling berhubungan erat. Dan ini bisa kita sama-sama rujuk kepada Al-Qur’an, surah Ar-Rahmaan ayat 1-4: “Ar-Rahmaan (Allah, Al-Kholiq). (Yang) Mengajarkan Al-Qur’an. (Yang) Menciptakan (kholaqo) Manusia (Al-Insaan, Al-Makhluuq). (Yang) mengajarkannya Al-Bayaan.” Insya’ Allah, dengan bashirah (daya pandang) yang senantiasa dituntun oleh fitrah yang suci, kita akan memahami hakikat ayat ini bahwa: Allah adalah Al-Khaliq yang telah menciptakan makhluq-Nya (manusia) dan membekalinya, menuntunnya, mengajarkan melalui utusannya Al-Qur’an yang merupakan penjelas bagi segala sesuatu (Al-Bayaan). Dengan berbekal dan berpedoman kepada Al-Qur’an manusia menjadi terbimbing dan terarah hidupnya. Jadi akhlaq didalam Islam bukanlah semata-mata sopansantun, etika, atau moral dan hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Islam selalu menyertai definisi dari sisi syari’ah disamping definisi secara bahasa. Ketika Islam (baca: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) memperkenalkan sebuah kata atau menggunakan kata yang sudah lazim digunakan manusia, maka kita harus memahami dalam konteks apakah hal itu digunakan? Karena kata-kata yang digunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah seringkali memiliki arti sendiri/khas yang tidak selalu sama dengan definisi umum (baca: bahasa).
Adalah keliru jika kita sebagai seorang muslim hanya menggunakan definisi secara bahasa saja. Misalnya kata sholat yang dalam pengertian bahasa adalah do’a, maka dengan berpedoman pada pengertian sholat sebagai do’a akan kacau balaulah sholat kaum muslimin karena masing-masing merasa bebas untuk mengekspresikan do’anya. Namun ketika RasululLah SAW menyatakan ‘Sholluw kama roaytumuniy usholliy’ (sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat) dan RasululLaah SAW mempraktekkan shalat, maka disitulah definisi syar’i-nya diberikan, yaitu ‘gerakan-gerakan yang diawali dengan takbiiratu ‘l-Ihraam dan diakhiri dengan salam, dikerjakan dengan syarat dan rukun tertentu.” Demikian pula kata ‘Al-Jaahiliyyah’ yang diambil dari bahasa ‘arab (akar katanya ‘Jahala’), namun tidak pernah digunakan oleh orang ‘arab sendiri sampai Al-Qur’an menggunakannya. Karena itu definisi secara bahasanya yaitu bodoh tidak ber- ilmu’ haruslah diiringi arti secara Al-Qur’an sebagai penentu akan esensi kata tersebut (Ma’na Al-Jaahiliyyah mudah-mudahan sudah pernah dikupas…). ‘Akhlaq’-pun tidak terlepas dari definisi secara syar’i. Perhatikan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (makaarima ‘l-Akhlaaq).”
Disitu digunakan kata akhlaq-nya menggunakan Alif-lam yang sama dengan ‘the’ dalam bahasa Inggeris, jadi sudah spesifik apa yang dimaksud dengan Al-Akhlaaq disitu, dan tentunya bukanlah semata-mata etika, sopansantun atau moral. Ibunda ‘Aisyah ra menerangkan: “Adalah akhlaq beliau (RasululLaah SAW) itu Al-Qur’an.” Al-Qur’an telah menegaskan pula bahwa:”Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlaq mulia (khuluqin ‘adhiim).” (QS. Al-Qolam:4). Dari hadits-hadits dan ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Akhlaaq, sebagaimana Islam itu sendiri, bersifat menyeluruh dan universal. Ia merupakan tata nilai yang memang diset-up oleh Al-Khaliq bagi manusia untuk kemudahannya dan kesejahteraannya dalam menjalankan missi kekhalifahannya dimuka bumi ini. Ia merupakan tata nilai yang selalu selaras dengan fitrah kemanusiaannya dan sudah pasti sinkron/nyambung dengan Al-Qur’an dan Sunnah RasuluLaah SAW.
2. Kemudian, Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita RasululLaah SAW yang menjadi uswah hasanah. RasuluLaah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4) “Sesungguhnya telah ada dalam diri RasululLaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orang mengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21) Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standard akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita. Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita.
Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akn pernah berubah. Contoh-contoh akhlaq beliau: RasululLaah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq hati dan lisan: “Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad) Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan RasululLaah SAW, yang tidak akan mungkin cukup kolom ini mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluq lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya.
3. Jadi akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan ‘akhlaq’, moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu. Ukuran kebaikkan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma’af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya sejak RasululLaah SAW ada sampai sekarang. Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan ‘hello’ ‘goodbye’ juga akan mengucapakan ‘hello’ ‘goodbye’ ketika bertemu seseorang. Oleh karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita. Allah SWT berfirman: “Shibghoh Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah kami mengabdikan diri.” (QS: Al-Baqarah:138).
4. Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih. Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasud tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain didunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak. Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya. Wa ‘l-Laahu a’lam bi ‘sh-Showaab, Wa ‘s-Salaamu ‘alaikum wa rahmatu ‘l-Laahi wa barakaatuh,
C. Definisi Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia [1]. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya[2].
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi kedalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.
Kata ilmu sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab "ilm"[3] yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya.
1. Syarat-syarat ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu[4]. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
a. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
b. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
d. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
D. Hubungan antara Agama, Akhlaq dan Ilmu Pengetahuan
Komprehensi-komprehensi yang digunakan dalam akhlak seperti "baik", "buruk", "harus", "tidak boleh", "benar", "tidak benar", "tugas", dan "tanggung jawab", semuanya merupakan komprehensi-komprehensi khusus yang mempunyai makna dan pengertian masing-masing. Pemahaman-pemahaman nilai ini memiliki paedah dalam penggunaannya ketika mempunyai basis dan landasan ontologis, sehingga jika seseorang melanggar nilai-nilai akhlak, ia akan merasakan konsekuensi dari pelanggarannya dalam bentuk penderitaan atau kepedihan hidup serta jauh dari kebahagiaan.
Fitrah manusia dan pengajaran yang didapatkannya dari agama, dapat menjadi penjamin atas pengamalan dan perealisasian perbuatan-perbuatan akhlak. Pahala dan balasan, dengan tidak melihat wilayah aktualitasnya, mempunyai dampak atas perealisasian nilai-nilai akhlak di tengah masyarakat apatah lagi dengan adanya sangsi-sangsi sosial seperti pujian terhadap pelaku akhlak baik dan celaan terhadap para pelaku akhlak buruk. Namun yang paling urgen dalam masalah ini adalah keberadaan Tuhan yang menjadi asumsi dan postulat agama yang dapat menjadi penjamin utama bagi pelaksanaan perbuatan-perbuatan akhlak baik dan pengaman ampuh untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan akhlak buruk.
Sangat banyak dari komprehensi-komprehensi agama bisa berpengaruh dalam masalah-masalah akhlak. Misalnya, ketika kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang diperintahkan Tuhan, di sini kita membawa keberadaan Tuhan secara langsung dalam masalah akhlak. Tetapi terkadang kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang menjamin kebahagiaan abadi manusia maka di sini kita tidak berbicara secara langsung tentang Tuhan, tetapi salah satu dari doktrin lain agama; yakni kita menerima postulat tentang kehidupan abadi manusia. Yakni kita menerima secara yakin bahwa manusia setelah mati dan meninggalkan alam materi ini, ia akan melewati kehidupan lain yang abadi dan lestari, dan di sana ia akan mendapatkan pahala kebahagiaan atau balasan kesengsaraan.
Berkenaan dengan komprehensi agama dan komprehensi akhlak serta hubungan keduanya telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, dimana dalam hal ini penentuan ukuran akhlak akan berpengaruh dalam memberi tinjauan dan konklusi tentangnya. Dengan pengertian bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip manfaat atau prinsip kelezatan atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat atau prinsip akal praktik ('amali), dalam konteks ini mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk pondasi bagi yang lainnya; dan jika parameter permasalahan-permasalahan akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan meninjau ketiadaan pengetahuan kita terhadap "qurbah" dan "maqâm" Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan proposisi dan kandungan.
Para teolog dan filosof Islam, membincangkan tentang hubungan agama dan akhlak secara bertepatan dengan pembahasan mereka pada masalah kebaikan dan keburukan syar'i atau akli. Dan secara umum kaum muslimin berdasarkan tinjauan mereka terhadap hubungan kedua fenomena ini dibagi atas dua kelompok asasi 'Adliyah (yang dianut oleh mazhab Syiah dan Mu'tazilah) dan non-Adliyah (Asy'ariyah). 'Adliyah adalah golongan yang meyakini bahwa manusia mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian dari prinsip-prinsip akhlak, dan sebagian permasalahan-permasalahan akhlak serta kebaikan dan keburukan perbuatan harus diperoleh dari jalan kitab serta sunnah; kendatipun kebaikan dan keburukan perbuatan itu sendiri pada hakikatnya merupakan esensialitas amal. Oleh karena itu kebahagiaan akhir manusia berada dalam orbit pengamalan terhadap hukum-hukum akal dan syar'i akhlak. Teori dan pandangan ini yang juga dianut oleh sebagian ulama Masehi, disandarkan kepada Mu'tazilah dari ahlu sunnah dan pemikir-pemikir Syi'ah. Dalam berhadapan dengan pandangan ini, kaum Asy'ariyah dan non-Adliyah yang menolak teori prioritas (kedahuluan) akhlak atas agama serta memandang bahwa dalam kedudukan afirmasi dan pembuktian, akhlak merupakan bagian dari agama dan natijahnya dihasilkan dari agama.
Teori mazhab Asy'ariyah yang mengusung pandangan kebaikan dan keburukan syar'i dapat dijelaskan dalam dua bentuk:
pertama, bentuk pengambilan natijah dan kedua, bentuk kenyataan. Dengan pengertian bahwa ketika Tuhan memerintahkan kerjakan perbuatan X, apakah dari kalimat ini dapat diperoleh konklusi bahwa para mukallaf secara akhlak harus mengerjakan perbuatan X tersebut; yakni proposisi-proposisi nilai dalam akhlak, setimbang dengan proposisi-proposisi deskriptif dalam agama. Supaya kedua pandangan ini menjadi jelas maka kita membutuhkan pembahasan tentang kebaikan dan keburukan dari sudut pandang 'Adliyah dan non-Adliyah.
Masalah kebaikan dan keburukan dzâti (esensial) dan rasional, merupakan pembahasan yang sangat urgen dan menjadi salah satu topik bahasan dalam Teologi, Akhlak, dan Ushul Fiqih, dan berperan sebagai suatu kaidah dasar dalam memecahkan banyak dari masalah-masalah lain yang berhubungan dengan akhlak dan agama. Pembahasan keniscayaan dan kemestian akal dalam Ushul Fiqih, kelestarian nilai-nilai asli manusia dalam ilmu akhlak, dan masalah-masalah penting teologi seperti kewajiban taklif, keberadaan balasan, keniscayaan pengutusan Nabi dan Rasul Tuhan As, dan masalah lainnya dalam ilmu Kalam, semua topik-topik tersebut bersandar pada masalah kebaikan dan keburukan dzâti. Akar dari masalah kebaikan dan keburukan akal sejak dahulu telah diungkap dalam filsafat Yunani; dimana filosof ini membagi filsafat dengan filsafat nazhari (teoritis) dan 'amali (praktik). Ilmu akhlak mereka masukkan dalam filsafat 'amali dan mereka ungkapkan dalam filsafat ini tentang kemandirian kebaikan dan keburukan serta kemandirian nilai-nilai akhlak.
Para teolog Islam juga dalam pembahasan hikmah dan keadilan Tuhan, mengungkapkan tentang pembahasan kebaikan dan keburukan aqli, serta mengutarakan suatu pertanyaan tentang apakah akal manusia mempunyai kemampuan memahami dan menghukumi kebaikan dan keburukan amal dan perbuatan ataukah tidak? Dan mereka memandang bahwa pemecahan masalah ini merupakan kunci daripada kerumitan masalah-masalah kalam. Untuk lebih gamblangnya masalah ini, perlu perhatian terhadap penjelasan di bawah ini:
Masalah kebaikan dan keburukan, diungkap dalam hubungannya dengan maqâm penetapan dan maqâm kenyataan. Pada maqâm kenyataan dibicarakan tentang kebaikan dan keburukan dzâti (esensial), sedangkan dalam maqâm pembuktian dibahas tentang masalah kebaikan dan keburukan aqli (rasional). Pada maqâm pertama, pertanyaan dalam bentuk apakah amal dan perbuatan, esensial dan dalam maqâm realitas tersifati dengan baik dan buruk?
Dan pada maqâm kedua, pertanyaan berhubungan dengan epistemologi serta kemampuan akal dalam mengkonsepsi kebaikan dan keburukan perbuatan.
Adapun yang dimaksud dzâti (esensial) dalam baik dan buruk perbuatan, terdapat dua pandangan:
1. Sebagian memandang bahwa dzâti dalam pembahasan ini, adalah dzâti bab burhan, yakni keniscayaan dzat; dengan pengertian bahwa kebaikan dan keburukan terhitung sebagai kemestian dan keniscayaan dzâti perbuatan.
2. Sebagian lain menyalahi pandangan di atas dan berkata bahwa keniscayaan kuiditas (mahiyah), merupakan suatu realitas di samping realitas lain; sementara di sisi lain, kebaikan dan keburukan merupakan suatu perkara iktibari (persepsi mental); oleh karena itu, yang dimaksud dengan dzâti dalam masalah ini, adalah aqli itu sendiri; yakni seseorang tanpa mengambil bantuan dari luar, mempersepsi kebaikan dan keburukan perbuatan.
Menurut pandangan kami, dari pembahasan-pembahasan dan argumentasi penetapan atau penafian kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli dalam karya-karya Asy'ariyah dan Mu'tazilah, dua maqâm kenyataan dan pembuktian dalam masalah ini adalah jelas; kendatipun kedua maqâm ini, dalam hal dimana keduanya bercampur maka esensial (dzâti) ditafsirkan dengan rasional (aqli), akan tetapi yang benar dalam masalah ini adalah pemisahan kedua maqâm ini. Dalam maqâm kenyataan, pembahasan berhubungan dengan apakah Syâri' Muqaddas (penetap hukum dan undang-undang, yakni Tuhan) mempertimbangkan dan memperhitungkan kebaikan dan keburukan bagi perbuatan ataukah perbuatan tidak diperhitungkan dengan sifat baik atau buruk? Dan dalam maqâm pembuktian, pembahasan berhubungan dengan metode pengetahuan, yaitu apakah dalam menyingkap kebaikan dan keburukan perbuatan kita butuh kepada teks agama? Apakah akal, tanpa butuh pada media lain mampu mengkonsepsi kebaikan dan keburukan perbuatan? Maka dari itu, masalah pertama berhubungan dengan maqâm pembuatan dan penetapan dan masalah kedua, berhubungan dengan maqâm penyingkapan dan pembuktian. Dengan demikian, dzâti tidak bisa ditafsirkan sebagai aqli; demikian pula tidak mungkin juga dikembalikan kepada dzâti bab burhan.
Penelitian kami dalam masalah ini menyimpulkan bahwa dzâti di sini, bermakna bahwa perbuatan-perbuatan yang tersifatkan dengan baik dan buruk, tidak butuh kepada perantara dalam "tsubût" (kenyataan) yaitu dzâti sebagaimana yang dibahas dalam bab burhan dan jika sebagian dari peneliti ushul fiqih menyanggah bahwa sangat banyak dari perbuatan-perbuatan, seperti mengambil harta lain yang dialamatkan dengan kebencian dan ketidakridaan, tersifatkan dengan sifat buruk dan berhak dicela, dan penyifatan perbuatan dengan buruk mengambil bentuk dengan perantara. Harus dijawab bahwa peneliti bersangkutan telah salah-kaprah dalam meninjau subyek keburukan; sebab dalam contoh tersebut, terjadi pada subyek yang disebut sebagai "pencurian", bukan mengambil harta lain; meskipun dalam "unwân" (nama, alamat) pencurian, juga tersembunyi pengertian mengambil harta lain dan ketidakrelaan.
Para teolog Islam dalam masalah ini terbagi kepada dua kelompok; suatu kelompok yang mengingkari kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli serta masyhur disebut kaum Asy'ariyah; kelompok lainnya yang menerima kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli, disebut dengan kaum Adliyah.
Muhaqqiq Thusi dan teolog lainnya dari Adliyah, mengkonstruksi beberapa argument untuk membuktikan kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli; sebagai contoh Muhaqqiq Thusi dalam Kitab "Tajrîd al-I'tiqâd", berkata: "Jika kebaikan dan keburukan adalah syar'i, dalam bentuk ini maka tidak akan tertetapkan kebaikan dan keburukan akal demikian juga kebaikan dan keburukan syar'i; sebab jika misalnya berdusta adalah bukan keburukan aqli, dan secara asumsi seorang nabi mengabarkan bahwa berdusta adalah buruk, darinya tidak dapat diterima berita tersebut; sebab mungkin saja pemberitaannya tentang keburukan berdusta, adalah dusta. Dengan demikian kenabian ia juga tidak terbukti; sebab berdasarkan atas asumsi, berbuat yang menyalahi hikmah, tidak buruk bagi Tuhan dan membenarkan pendusta juga adalah tidak buruk. Implikasi dari asumsi ini juga, mungkin saja seseorang mengkalim kenabian tentang dirinya dengan berdusta dan Tuhan memberlakukan mukjizat ditangannya, di samping itu tidak ada celaan jika nabi palsu ini mencegah orang-orang dari sesuatu yang diwajibkan Tuhan serta memerintahkan mereka pada sesuatu yang diharamkan Tuhan atas nama Tuhan.
Singkat kata, ketika berdusta bukanlah keburukan aqli maka seluruh kemungkinan-kemungkinan ini tentu saja menjadi hal yang dimungkinkan. Dengan penjelasan lain, jika kebaikan dan keburukan aqli tidak diterima maka keluarnya mukjizat dari para pendusta dan nabi hakiki tidaklah dapat dibedakan dan dalam bentuk itu, tidak ada kemungkinan untuk menetapkan kenabian dan syariat.
Para pengusung Adliyah setelah menetapkan kebaikan dan keburukan dzâti serta akli, lantas menyandarkan berbagai masalah teologi khusus terhadap kaidah ini; masalah-masalah seperti makrifatullah atau keniscayaan pengenalan terhadap mun'im (pemberi nikmat), kemestian bersyukur kepada mun'im, kemestian menolak dharâr (kerugian) yang sangat berefek pada keselamatan, menyifatkan Tuhan dengan sifat adil dan hikmah, kemustahilan keluarnya keburukan dari Tuhan, kaidah lutf, keniscayaan pengutusan nabi-nabi, kebaikan taklif, pembenaran terhadap para penyeru kenabian, undang-undang tetap dalam dunia yang berubah, kelestarian akhlak dan topik-topik lain yang menjadi natijah dari masalah ini.
Setelah pembuktian kebaikan dan keburukan dzâti, giliran berikutnya adalah pembuktian kebaikan dan keburukan aqli. Harus diperhatikan bahwa pertikaian dan perbedaan di antara Asy'ariyah dan Adliyah berada pada tataran bahwa pendukung kebaikan dan keburukan aqli (Adliyah) memiliki keyakinan bahwa akal mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan manusia.
Asas dan prinsip universal kebaikan dan keburukan perbuatan seperti kebaikan perbuatan adil dan dan keburukan perbuatan zalim serta sebagian yang partikular seperti keburukan menggunakan harta orang lain tanpa keridaannya, keburukan bohong, kebaikan jujur, kebaikan amanah dan perbuatan-perbuatan partikular lainnya, bagi semua orang adalah sudah jelas kedudukannya. Di samping itu Adliyah juga berkeyakinan bahwa untuk mengetahui dan menyingkap sebagian kebaikan dan keburukan, harus dengan perantara syariat suci yang datang dari Tuhan. Dalam berhadapan pandangan ini, mereka yang mengingkari kebaikan dan keburukan aqli. Menurut mereka (Asy'ariyah), akal secara mandiri sama sekali tidak mampu mengkonsepsi dan mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, oleh karena itu berasaskan ini, untuk mengetahui seluruh perkara baik dan buruk perbuatan adalah dharuri dan niscaya merujuk kepada syariat.
Perbedaan yang jelas dalam norma dan kultur di antara bangsa-bangsa, tidak bertentangan dengan kebaikan dan keburukan aqli; sebab klaim Adliyah pada maqam pembuktian yang berhubungan dengan prinsip universal dan sebagian yang partikular, dimana pada poin-poin itu tidak terdapat perbedaan di antara suku-suku dan bangsa-bangsa. Jika seseorang mengkonsepsi subyek dan predikat masalah ini secara benar maka ia akan menghukuminya juga secara benar. Demikian juga penerimaan terhadap kebaikan dan keburukan dzâti serta aqli, tidak memestikan penentuan dan pembatasan kekuasaan Tuhan; sebab ketika dikatakan bahwa Tuhan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk; ini punya pengertian bahwa kesempurnaan wujud Tuhan secara tinjauan takwini meniscayakan perkara demikian ini dan akal juga menyingkap hubungan niscaya tersebut.
Hubungan akhlak dan agama mendapatkan pandangan yang berbeda berasaskan masing-masing dari pra asumsi-pra asumsi di atas. Berdasarkan prinsip Adliyah, akhlak dalam maqâm kenyataan tidak mempunyai hubungan dengan agama dan syariat serta masing-masing terlepas satu sama lain; sebab perbuatan-perbuatan, secara dzat tersifati dengan baik dan buruk, dan pada maqam itsbât (penetapan, pembuktian), dalam bagian universal dan sebagian dari bagian partikular juga terlepas dan mandiri dari agama dan syariat. Akan tetapi dalam masalah-masalah lain dari akhlak, terdapat hubungan yang erat dan dalam dengan agama dan syariat. Adapun berdasarkan prinsip Asy'ariyah, akhlak pada maqâm kenyataan dan penetapan mempunyai hubungan sinkritis dengan agama, dan akhlak secara kenyataan dan penetapan diperoleh dari agama serta merupakan bagian dari agama.
Agama merupakan symbol khusus bagi pemahaman dan keyakinan manusia/makhluk Allah. Sekalipun dunia ini merupakan agama yang multi cultural, akan tetapi titik tolak dari semuanya hanyalah pada Allah. Dialog kultural misalnya, dalam sebuah pertemuan yang di ikut sertai oleh pluralisme agama dari berbagai Negara menghasilkan pemahaman baru tentang persepsi yang mengatakan bahwa agama selain Islam tidak menghamba pada Allah, namun hal ini ditentang keras oleh para kristenisme, yang mengatakan mereka juga menghamba pada Allah melalui pelantara patung, sedangakan para penganut Islam melalui pelantara ka’bah/baitullah.
Agama dilihat dari sisi dzahirnya telah menjadi doktrin yang sangat erat dengan para pemiliknya, namun hal ini tidak berlaku pada eksistensi agama, artinya mereka telah beragama tapi tidak bisa meng-agamakan agamanya pada diri mereka. Realitas ini terlihat jelas ketika perdebatan atau percekcokan yang terjadi dikalangan para petinggi religius tentang institusi dari perbedaan paham, yang nyata-nyata tidak di praktekkan dilapangan nyata. Ada beberapa contoh yang sangat kongkrit, ketika kita sedang bekerja dalam suatu perusa haan, setelah mendengar adzan berkuman dang hati kita menggerutu; ah.. nanti dulu, sudah hampir selesai. Ketika lagi enaknya nyetir kendaraan dengan lagu yang melantun indah tiba-tiba lampu mirah menyala dan datang seorang pengamin hati pun mencemo’oh “uh... orang ini mengganggu saja”.
Dari contoh diatas, sudah bisa memberikan gambaran negatif tentang penyelewengan dari tujuan kultur ini, dalam kerangka agama tujuan utama dari memeluk agama adalah guna memperbaiki tatanan hidup dunia dan akhirat, dengan dalil saling menolong dalam kebaikan dan uswatun hasanah. Persepsi yang mengatakan bahwa agama hanyalah alat untuk berpolitik, manajemen perusahaan, inovasi budaya dan tidak membangun diri yang intelektual terutama pada spritualnya, maka secara tidak langsung mereka telah membuang agama mereka dari ruh dan jiwanya, walaupun madzhurnya (luamya) masih melekat. Lalu, apakah kesalah pahaman ini ada kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan ?.
Pertanyaan diatas memancing kita untuk berfikir lebih komprehensif tentang agama dalam kungkungan modernisme. Banyak sekali yang mengatakan agama tidak berperan aktif dalam kemajuan era sekarang, agama hanya sebagai nama dalam kartu nama atau jelasnya hanya lambang kebanggaan saja. Padahal kesatuan dan kekekalan tali hubungan dalam kehidupan sangat ditentukan oleh agama. Esensi agama itulah yang dapat mengatur dan membimbing kita menuju kehidupan bermoral dan interaksi social.
Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua entitas yang harus di komparasikan dan saling melengkapi, perpaduan antara keduanya men jadikan ilmu yang kita pelajari akan empiris dan menumbuhkan keyakinan yang absolut. Pada tatanan metodologik dan akademik misalnya, te lah menghasilkan perkembangan tekhnologi yang super akurat dan kadang-kadang di luar lo gika. Hal ini disebabkan tidak adanya penyimpa ngan dari fungsi agama dan ilmu pengetahuan itu sendiri, mengapa harus kedua-duanya ?, Kalau hanya agama yang kita kembangkan, kita tidak akan menemukan keempirikan dari ilmu itu dan akan tertinggal jauh dari zaman kemoder nan, demikaian juga sebalik nya, ilmu pengeta huan tanpa agama akan me nyebabkan ketidak pahaman tentang kehidupan yang sesungguh nya, yakni akhirat. Salah satu contohnya dalam IPTEK yang sangat relevan dengan keadaan sekarang, yaitu tentang penciptaan manusia mulai dari dalam kandungan hingga lahir kedunia yang didalam kitab Al-Quran dijelaskan secara efisien pada surat al-mu’minun ayat 13-14, yang kemudian diteliti oleh para dokter, alhasil, tidak ada yang dusta dalam firmannya.
Sesungguhnya tentang kedua hal ini telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqa rah, ayat 201 yang artinya, dan sebagian mere ka berdo’a “ya tuhanku datangkanlah pada ka mi kehidupan yang bahagia di dunia dan akhi rat”. Dalam ayat ini tuhan telah memaparkan dengan jelas bahwa agama dan ilmu pengeta huan harus dikembangkan secara berkesinam bungan, pada kalimat “kebahagian dunia” di identikkan dengan ilmu pengetahuan sedangkan “akhirat” adalah tentang pelajaran agama.
Metodologi ini bersifat universal, baik dari kalangan pemerhati agama ataupun ahli dibidang disiplin ilmu. Lembaga paling dominan yang tendensi implikasinya menerapkan atau mengajarkan tentang agama saja, seperti pesantren salafiah, sepantasnya/seharusnya menyeimbangkan kedua disiplin ilmu tersebut, agar tidak ada dikotomi pendidikan, artinya pendidikan di pesantren itu diikutkan pada zaman, namun tidak menghilangkan eksisitensi atau akar pesantrennya, dalam hal ini senada dengan argument seorang rector UNISME malang prof. Dr. Thalhah Hasan bahwa, terdapat empat karakter signifikan agar pendidikan saat ini maksimal; harus dinamis, relevan, profesional dan kompetitif. Pesantren harus menggali empat karakter itu, dengan tidak mengurangi nilai plus/jati diri dari pesantren itu. Demikian juga kepada para ahli astronomi, biologi, geologi dll. Untuk menumbuhkan semangat kesadaran dan membangun para cendekiawan yang mempunyai spiritual tinggi.
Sesungguhnya semua yang ada di langit dan dibumi adalah tercermin dalam kitab-kitab Allah, semuanya sudah diatur sebagaimana mestinya, tidak ada yang luput dari sifat basharNya. Banyaknya keanekaragaman ilmu pengetahuan dan pemikiran yang berbeda-beda, tidak lain hanya mencari hakikat kehidupan dan kembali pada sang penguasa alam semesta ini. Keluasan alam ini dan komponen-komponennya beserta alam kehidupan nanti, tidak akan pernah selesai dibahas ataupun difikirkan dan tidak pernah habis walaupun dijadikan penyempurna hidup, meskipun oleh orang terpandai seduniapun, karena fikiran manusia sangat terbatas dan harus mengetahui ilmu dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Tak ayal lahiriah berbagai ilmu-ilmu tafsir dari penafsiran ulama-ulama tentang ayat Allah yang kesemuanya mengarah pada sangkaan dan penyempurna.
Konklusi dari pemaparan penulis, bahwa untuk bisa mengkondisikan tatanan kehidupan dengan keadaan sekarang dan menciptakan suasana yang tentram dan damai, haruslah memadukan agama dengan ilmu pengetahuan secara inheren. Karena apabila salah satunya pincang, akan menimbulkan problema-problema yang bisa mengakibatkan kehancuran dan cerai berainya kebersatuan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Agama, Akhlaq serta Ilmu pengetahuan merupakan sebuah kesatuan yang saling terkait dan sangat erat sehingaa tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika dipisahkan maka akan menimbulkan poemahaman-pemahan yang berbeda-beda dari manusia yang beragama satu yaitu agama Islam. Hal ini terkait erat dengan Tauhid dari pemeluk agama itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Que’an, Jakarta: UIN Press, 2005,
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, Jakarta: Raja Grafindio Persada, 1997
Dale, Edgar. Audiovisual Methods in Teaching, New York: The Dryden Press, Rinehart and Winston, Inc., 1969.
Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Quraish Shihab, Ed., Ensiklopedia al-Qur’an dan Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sayid Ahmad al-Hasyimy, Mukhtarul Ahadist, Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Wahid Bakhsh Shaikh, Education Based on the Teaching of Holy Qur’an, New Delhi:
Adam Publisher and Distributors, 2003.
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: PT Ruhama, 1995, h. 101
http://yudhim.blogspot.com ›
http://yayansah.wordpress.com/.../ilmu-pengetahuan-dan-agama/
http://oediku.wordpress.com/.../hubungan-agama-islam-dan-ilmu-pengetahuan/
www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/024.htm
http://yuyutwahyudi.blogspot.com/hubungan+agama+akhlaq+ilmu+pengetahuan
Cari Blog Ini
Minggu, 30 Mei 2010
Jumat, 28 Mei 2010
BIMBINGAN KONSELING
A. KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING
Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 12, 2008
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
Landasan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 25, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Abstrak :
Agar dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan dan memberikan manfaat bagi kehidupan, maka layanan bimbingan dan konseling perlu dibangun di atas landasan yang kokoh, dengan mencakup: (1) landasan filosofis, (2) landasan psikologis; (3) landasan sosial-budaya, dan (4) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, selain berpijak pada keempat landasan tersebut juga perlu berlandaskan pada aspek pedagogis, religius dan yuridis-formal. Untuk terhidar dari berbagai penyimpangan dalam praktek layanan bimbingan dan konseling, setiap konselor mutlak perlu memahami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai pijakan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
Kata kunci : bimbingan dan konseling, landasan filosofis, landasan psikologis; landasan sosial-budaya, landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
A. Pendahuluan
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien). .
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya..
Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling.
B. Landasan Bimbingan dan Konseling
Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun landasan pendidikan secara umum.
Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
• Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
• Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
• Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
• Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
• Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
• Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
• Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan ( Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
• Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
• Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
• Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
• Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
• Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
• Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas landasan yang kokoh.
Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Sumber Bacaan :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung
.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK SMP, SMA dan SMK
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas
.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta
.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Tujuan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir.
1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:
• Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
• Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
• Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
• Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
• Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
• Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
• Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
• Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :
• Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
• Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
• Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
• Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
• Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
• Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.
3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :
• Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
• Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
• Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
• Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
• Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
• Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
• Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
• Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.
• Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU
Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :
1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
9. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli
Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
Bidang Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
• Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
• Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
• Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
• Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.
Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
Dalam rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:
Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
Layanan Informasi; layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
• Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
• Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan
• Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
• Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
• Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup :
• Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan.
• Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
• Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
• Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien.
• Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.
Konsep Bimbingan Karier
Diterbitkan Februari 7, 2008
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Konsep bimbingan jabatan lahir bersamaan dengan konsep bimbingan di Amerika Serikat pada awal abad keduapuluh, yang dilatari oleh berbagai kondisi obyektif pada waktu itu (1850-1900), diantaranya : (1) keadaan ekonomi; (2) keadaan sosial, seperti urbanisasi; (3) kondisi ideologis, seperti adanya kegelisahan untuk membentuk kembali dan menyebarkan pemikiran tentang kemampuan seseorang dalam rangka meningkatkan kemampuan diri dan statusnya; dan (4) perkembangan ilmu (scientific), khususnya dalam bidang ilmu psiko-fisik dan psikologi eksperimantal yang dipelopori oleh Freechner, Helmotz dan Wundt, psikometrik yang dikembangkan oleh Cattel, Binnet dan yang lainnya Atas desakan kondisi tersebut, maka muncullah gerakan bimbingan jabatan (vocational guidance) yang tersebar ke seluruh negara (Crites, 1981 dalam Bahrul Falah, 1987).
Isitilah vocational guidance pertama kali dipopulerkan oleh Frank Pearson pada tahun 1908 ketika ia berhasil membentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk membantu anak-anak muda dalam memperoleh pekerjaan.
Pada awalnya penggunaan istilah vocational guidance lebih merujuk pada usaha membantu individu dalam memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk didalamnya berupaya mempersiapkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki suatu pekerjaan. Namun sejak tahun 1951, para ahli mengadakan perubahan pendekatan dari model okupasional (occupational) ke model karier (career). Kedua model ini memliki perbedaan yang cukup mendasar, terutama dalam landasan individu untuk memilih jabatan. Pada model okupasional lebih menekankan pada kesesuaian antara bakat dengan tuntutan dan persyaratan pekerjaan. Sedangkan pada model karier, tidak hanya sekedar memberikan penekanan tentang pilihan pekerjaan, namun mencoba pula menghubungkannya dengan konsep perkembangan dan tujuan-tujuan yang lebih jauh sehingga nilai-nilai pribadi, konsep diri, rencana-rencana pribadi dan semacamnya mulai turut dipertimbangkan.
Bimbingan karier tidak hanya sekedar memberikan respon kepada masalah-masalah yang muncul, akan tetapi juga membantu memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaan.
Penggunaan istilah karier didalamnya terkandung makna pekerjaan dan sebatan sekaligus rangkaian kegiatan dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Hattari (1983) menyebutkan bahwa istilah bimbingan karier mengandung konsep yang lebih luas. Bimbingan jabatan menekankan pada keputusan yang menentukan pekerjaan tertentu sedangkan bimbingan karier menitikberatkan pada perencanaan kehidupan seseorang dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dengan lingkungannya agar ia memperoleh pandangan yang lebih luas tentang pengaruh dari segala peranan positif yang layak dilaksanakannya dalam masyarakat.
Perubahan isitilah dari bimbingan jabatan (vocational guidance) ke bimbingan karier mengandung konsekuensi terhadap peran dan tugas konselor dalam memberikan layanan bimbingan terhadap para siswanya. Peran dan tugas konselor tidak hanya sekedar membimbing siswa dalam menentukan pilihan-pilihan kariernya, tetapi dituntut pula untuk membimbing siswa agar dapat memahami diri dan lingkungannya dalam rangka perencanaan karier dan penetapan karier pada kehidupan masa mendatang.
Dalam perkembangannya, sejalan dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dewasa ini, bimbingan karier merupakan salah satu bidang bimbingan yang telah berhasil mempelopori pemanfaatan teknologi informasi, dalam bentuk cyber counseling.
Sementara itu, dalam perspektif pendidikan nasional, pentingnya bimbingan karier sudah mulai dirasakan bersamaan dengan lahirnya gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, berawal dari kebutuhan penjurusan siswa di SMA pada waktu itu. Selanjutnya, pada tahun 1984 bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 1984, bimbingan karier cukup terasa mendominasi dalam layanan bimbingan dan penyuluhan dan pada tahun 1994, bersamaan dengan perubahan nama bimbingan penyuluhan menjadi bimbingan dan konseling dalam Kurikulum 1994, bimbingan karier ditempatkan sebagai salah bidang bimbingan.
Sampai dengan sekarang ini bimbingan karier tetap masih merupakan salah satu bidang bimbingan. Dalam konsteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, dengan diintegrasikannya Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dalam kurikulum sekolah, maka peranan bimbingan karier sungguh menjadi amat penting, khususnya dalam upaya membantu siswa dalam memperoleh kecakapan vokasional (vocational skill), yang merupakan salah jenis kecakapan dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education).
Terkait dengan penjabaran kompetensi dan materi layanan bimbingan dan konseling di SMTA, bidang bimbingan karier diarahkan untuk :
1. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karier yang hendak dikembangkan.
2. Pemantapan orientasi dan informasi karier pada umumnya dan karier yang hendak dikembangkan pada khususnya.
3. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SMTA.
5. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karier yang hendak dikembangkan.
6. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan; pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (instansi, perusahaan, industri) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan. (Muslihudin, dkk, 2004)
Sumber :
Bahrul Falah. 1987. Konstribusi Orientasi Nilai Pekerjaan dan Informasi Karier terhadap Kematangan Karier (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.
Hattari. 1983. Ke Arah Pengertian Bimbingan Karier dengan Pendekatan Developmental. Jakarta : BP3K.
Muslihudin, dkk. 2004. Bimbingan dan Konseling (Makalah). Bandung : LPMP Jawa Barat.
Informasi Karier
Diterbitkan Februari 4, 2008
Oleh : AKHMAD SUDRAJAT, M.Pd.
Layanan informasi marupakan salah satu jenis layanan dalam bimbingan konseling di sekolah yang amat penting guna membantu siswa agar dapat terhindar dari berbagai masalah yang dapat mengganggu terhadap pencapaian perkembangan siswa, baik yang berhubungan dengan diri pribadi, sosial, belajar ataupun kariernya., Melalui layanan informasi diharapkan para siswa dapat menerima dan memahami berbagai informasi, yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan siswa itu sendiri.
Seorang siswa dalam kehidupannya akan dihadapkan dengan sejumlah alternatif, baik yang berhubungan kehidupan pribadi, sosial, belajar maupun kariernya. Namun, adakalanya siswa mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dalam menentukan alternatif mana yang seyogyanya dipilih. Salah satunya adalah kesulitan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan rencana-rencana karier yang akan dipilihnya kelak. Mereka dihadapkan dengan sejumlah pilihan dan permasalahan tentang rencana kariernya. Diantaranya, mereka mempertanyakan, dari sejumlah jenis pekerjaan yang ada, pekerjaan apa yang paling cocok untuk saya kelak setelah menamatkan pendidikan ?
Kesulitan-kesulitan untuk mengambil keputusan karier akan dapat dihindari manakala siswa memiliki sejumlah informasi yang memadai tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia kariernya. Untuk itulah, mereka seyogyanya dapat dibimbing guna memperoleh pemahaman yang memadai tentang berbagai kondisi dan karakteristik dirinya, baik tentang bakat, minat, cita-cita, berbagai kekuatan serta kelemahan yang ada dalam dirinya. Dalam hal ini, tentunya tidak cukup hanya sekedar memahami diri. Namun juga harus disertai dengan pemahaman akan kondisi yang ada dilingkungannya, seperti kondisi sosio-kultural, pasar kerja, persyaratan, jenis dan prospek pekerjaan, serta hal-hal lainnya yang bertautan dengan dunia kerja. Sehingga pada gilirannya siswa dapat mengambil keputusan yang terbaik tentang kepastian rencana karier yang akan ditempuhnya kelak.
Dalam memberikan layanan informasi karier setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu tentang : (1) materi informasi dan (2) teknik layanan informasi.
Materi Informasi.
Dalam era informasi dewasa ini sesungguhnya kemudahan untuk memperoleh informasi sangat terbuka, baik melalui media cetak atau eleltronik. Terutama setelah adanya kemajuan yang menakjubkan dalam bidang teknologi komputer multi media, maka dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat kita dapat mengakses ribuan bahkan jutaan jenis informasi melalui internet. Namun, karena begitu banyak dan beragamnya jenis informasi yang dapat diakses, sehingga tidak mustahil dapat menimbulkan kekacauan informasi. Untuk itulah, dalam upaya pemberian layanan informasi seyogyanya dibutuhkan sikap arif dan selektif dari konselor dalam memilih berbagai materi informasi, yang sekiranya benar-benar dapat memberikan manfaat besar bagi siswa.
Materi informasi yang diberikan kepada siswa hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan siswa, sehingga benar-benar dapat dirasakan lebih bermanfaat dan memiliki makna (meaningful). Pemilihan dan penetuan jenis materi informasi yang tidak didasarkan kepada kebutuhan dan masalah siswa akan cenderung tidak memiliki daya tarik, sehingga siswa akan menjadi kurang partisipatif dan kooperatif dalam mengikuti kegiatan layanan. Materi informasi yang lengkap dan akurat akan sangat membantu siswa untuk lebih tepat dalam mempertimbangkan dan memutuskan pilihan kariernya.
Beberapa jenis materi informasi tentang karier yang mungkin dibutuhkan siswa, diantaranya:
• Tugas perkembangan masa remaja tentang kemampuan dan perkembangan karier.
• Perkembangan dan prospek karier di masyarakat.
• Kursus-kursus dalam rangka pengembangan karier.
• Langkah-langkah dalam memasuki pekerjaan, jenis pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan.
• Syarat-syarat pekerjaan yang dapat dimasuki setelah tamat SMA.
• Kemungkinan permasalahan dalam pilihan pekerjaan, karier, dan tuntutan pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Di samping itu, materi informasi yang bersifat personal, seperti bakat, ciri-ciri kepribadian atau minat pekerjaan perlu dikuasai oleh siswa.
Hanya perlu dipertimbangkan jika memang sekolah sudah dapat menyelenggarakan pemeriksaan psikologis/tes psikologis, maka penyampaian materi hasil-hasil pemeriksaan psikologis harus benar-benar dilaksanakan secara cermat dan di bawah pengawasan konselor. Karena, biasanya data hasil pemeriksaan psikologis dideskripsikan dalam bahasa/terminologis tertentu, yang tentunya tidak semua siswa dapat memaknainya sendiri. Data-data personal ini memang perlu dipahami dan dimaknai oleh siswa, karena dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri, seperti kecerdasan, bakat, ciri-ciri kepribadian, atau minat pekerjaannya, siswa akan dapat lebih akurat lagi dalam mengambil keputusan kariernya, sesuai dengan karakterisitik diri yang dimikinya.
Teknik Layanan Informasi
Disamping konselor dituntut untuk banyak memahami berbagai informasi yang akan dibutuhkansiswa, juga seyogyanya dapat menguasai berbagai teknik penyampaiannya secara variatif dan menyenangkan. Tanpa didukung kekayaan informasi dan keterampilan penyampaian, layanan informasi dikhawatirkan menjadi tidak memiliki daya tarik di hadapan siswa.
Penyampaian informasi bisa dilakukan oleh konselor itu sendiri melalui teknik ekspositorik. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara meminta bantuan dari pihak lain sebagai nara sumber, misalkan dengan mengundang “tokoh karier”. Upaya pemanfatan nara sumber memiliki keunggulan tersendiri, yakni informasi yang diberikan cenderung bersifat nyata, berdasarkan hasil pengalamannya.
Selain itu, dapat dilakukan pula melalui media “papan bimbingan”, yakni dengan menyediakan papan informasi untuk menempelkan berbagai bentuk tulisan yang mengandung nilai informasi. Untuk itu, konselor dituntut secara kreatif untuk dapat mengoleksi berbagai tulisan, keterangan, artikel, atau klipping yang berhubungan dengan karier.
Jika mengacu pada teori kontruktivisme yang saat ini sedang dikembangkan. Penggunaan teknik layanan informasi seyogyanya lebih mengedepankan aktivitas dan partisipasi siswa dalam menentukan kebutuhan, menggali dan mengolah serta menarik kesimpulan dari informasi yang diperolehnya. Misalkan, untuk memahami tentang kondisi nyata kehidupan di suatu perusahaan, dapat dilakukan dengan cara siswa diajak langsung untuk berkunjung dan melakukan pengamatan ke perusahaan tertentu. Dari hasil kunjungan, siswa akan memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan, dalam rangka menambah wawasan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan kariernya, sekaligus dapat membangun dan mengembangkan sikap-sikap positif dan konstruktif terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja dibutuhkan sosiabilitas yang tinggi dari konselor untuk dapat menjalin hubungan secara luas dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk memfasilitasi siswa dalam proses penggalian informasi.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sumber informasi saat ini dapat dengan mudah diakses melalui teknologi komputer multi media, maka dalam hal ini tidak salahnya konselor untuk belajar menguasai teknologi internet untuk menjelajah situs-situs yang menyediakan informasi yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier.
Dengan mengenal situs-situs yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier, maka di samping konselor dapat memperoleh berbagai tambahan informasi untuk dirinya, juga dapat menunjukkannya kepada siswa, agar siswa dapat belajar secara langsung menjelajah dan menggali berbagai informasi karier yang tersedia dalam internet.
Sumber bacaan :
Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK
Depdikbud (1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV;
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Jakarta : IPBI
Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Guru Pembimbing SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
15 Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Diterbitkan April 11, 2008
Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.
5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.
Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.
Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli.
11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.
Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.
13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.
Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.
Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Diterbitkan April 20, 2008
Beberapa bulan yang lalu saya pernah menulis tentang layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang merujuk pada Pola 17+ sebagai panduan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Setelah saya mengikuti pelatihan Bimbingan dan Konseling di Bandung yang diselenggarakan oleh ABKIN, dan saya memperoleh informasi tentang rencana perubahan kebijakan baru layanan Bimbingan dan Konseling yang disebut-sebut sebagai layanan Bimbingan dan Konseling Komprehensif, akhirnya saya memutuskan untuk men-delete postingan saya tersebut, dengan harapan akan segera muncul kebijakan baru tersebut.
Tunggu punya tunggu ternyata kebijakan baru itu tidak segera muncul juga. Dari pada menunggu kebijakan yang tidak pasti akhirnya saya posting ulang tulisan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah beserta contoh pengadmintrasiannya.
Silahkan klik saja tautan di bawah ini:
1. Bimbingan dan Konseling di Sekolah
2. Pengadministrasian Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Rekonseptualisasi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 21, 2008
Selama empat hari (11-14 Desember 2007) penulis mengikuti pelatihan ‘Keterampilan Manajemen Bimbingan dan Konseling“, bertempat di Cikole Lembang Bandung, yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB-ABKIN) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas.Selama mengikuti pelatihan, penulis menerima berbagai materi dan penjelasan dari para nara sumber seputar penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah yang tampaknya akan menjadi cikal bakal untuk lahirnya kebijakan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Dalam tulisan sebelumnya di situs ini, penulis pernah menyampaikan keprihatinan atas ketidakpastian dalam penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling selama ini, seperti : ketidakjelasan dalam sertifikasi guru bimbingan dan konseling, standar kompetensi konselor, Standar Kompetensi Lulusan atau sekarang dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), dan hal-hal lainnya tentang praktik Bimbingan dan Konseling.(lihat 1, 2 3)
Beberapa pertanyaan yang berkecamuk dalam benak penulis dan mungkin juga para guru Bimbingan dan Konseling di lapangan tentang bagaimana seharusnya Bimbingan dan Konseling di sekolah, melalui kegiatan pelatihan ini sebagian besar terjawab sudah. Hanya mungkin ada beberapa persoalan teknis yang belum bisa terjawab dan perlu ada tindaklanjut tertentu.
Ketika membuka kegiatan pelatihan, Prof. Dr. Sunaryo, M.Pd. selaku ketua PB- ABKIN, dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam satu tahun terakhir ini, ABKIN telah bekerja secara intensif untuk mencari formulasi terbaik tentang bagaimana seharusnya penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum terakomodir dengan baik.
Hasil kerja keras ABKIN dalam satu tahun terakhir ini telah menghasilkan draft Naskah Akademik berupa “Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal“, yang sekarang sedang dikaji oleh pihak yang kompeten untuk dijadikan sebagai kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Hal yang cukup mengagetkan penulis, bahwa ke depannya Bimbingan dan Konseling di Indonesia tidak lagi bersandar pada Konsep Pola 17 yang selama ini digunakan dalam praktik bimbingan dan konseling di sekolah, tetapi justru akan lebih mengembangkan model bimbingan dan konseling yang komprehensif dan berorientasi pada perkembangan, yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling, yaitu :
1. Layanan Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Tujuan layanan ini adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, memperoleh keterampilan hidup, yang dapat dilakukan melalui strategi layanan klasikal dan strategi layanan kelompok.
2. Layanan Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera”. Tujuan layanan ini adalah membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya yang dapat dilakukan melalui strategi layanan konsultasi, konseling individual, konseling kelompok, referal dan bimbingan teman sebaya.
3. Layanan Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, merencanakan, atau mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi penilaian individual, penasihatan individual atau kelompok.
4. Layanan dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan masyarakat dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan.
Jika kita perhatikan komponen-komponen program di atas, tampaknya ada upaya dari ABKIN untuk mengelaborasi konsep bimbingan dan konseling sebelumnya, baik dalam Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, mau pun Kurikulum 1994. Selain itu, keempat komponen program bimbingan dan konseling di atas tampaknya menggunakan rujukan model penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini sedang dikembangkan di Amerika Serikat. Perbedaannya, untuk komponen layanan dasar di Amerika cenderung menggunakan istilah guidance curriculum.
Untuk lebih jelasnya, dalam tautan-tautan di bawah ini disajikan sebagian materi yang disampaikan oleh para nara sumber dalam bentuk tayangan slide dan pdf file :
Sertifikasi Guru Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)
Program Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)
Supervisi Bimbingan dan Konseling (dari: Drs. Agus Taufiq, M.Pd.)
Draft Standar Kompetensi Konselor (dari: ABKIN)
Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Bimbingan dan Konseling
Arah dan Perspektif Baru Bimbingan dan Konseling (dari: Prof. Dr. Syamsu Yusuf L.N., M.Pd. dan Dr. A. Juntika Nurihsan)
Rubrik Sertifikasi Guru BK
Diterbitkan Februari 6, 2008
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :
1. Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.
2. Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling
Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-aspek penilaian meliputi :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
• Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)
• Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
• Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)
7. Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.
Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.
Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
Rubrik Penilaian Portofolio Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)
B. PROSEDUR, PROSES DAN TEKNIK BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Prosedur Umum Layanan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Mei 31, 2008
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut
A. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
B. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; ( hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
C. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
D. Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus - kasus yang dihadapi.
E. Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
F. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
3. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:
1. Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
7. Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
8. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
9. Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
10. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
11. Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
12. Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
Sumber:
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
Proses Layanan Konseling Individual
Diterbitkan Januari 26, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus
Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan).
A. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
• Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
• Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.
• Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.
• Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi : (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
B. Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja.
Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
• Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya.
• Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.
• Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.
Hal ini bisa terjadi jika :
• Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
• Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.
• Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.
C. Akhir (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
• Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.
• Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
• Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
• Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien; (2) perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3) pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.
Pendekatan dan Teknik Konseling
Diterbitkan Januari 12, 2008
Pekerjaan konseling pada dasarnya merupakan pekerjaan profesional dan dalam melaksanakan tugas - tugas profesionalnya, seorang konselor perlu memiliki pemahaman dan keterampilan yang memadai dalam menggunakan berbagai pendekatan dan teknik dalam konseling.Tanpa didukung oleh penguasaan penguasaan teknik-teknik konseling yang memadai, niscaya bantuan yang diberikan kepada siswa (klien) tidak akan berjalan efektif. Dalam bentuk tayangan slide, Dr. DYP Sugiharto, M.Pd mengupas tentang berbagai pendekatan dan teknik konseling, diantaranya : pendekatan dan teknik konseling behaviorisme, gestalt, psikoanaliss, rational emotive therapy (RET), dan trait and factor.Anda ingin memahami lebih jauh tentang materi ini dengan cara meng-klik tautan di bawah ini dan tentunya komentar Anda sangat dinantikan.
Pendekatan dan Teknik Konseling Klik Disini !
Pendekatan Konseling Behavioral
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Konselor aktif :
1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak
2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Deskripsi langkah-langkah konseling :
1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
• Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
• Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
• Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
Teknik-teknik Konseling Behavioral
Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Gestalt
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Pendekatan konseling ini berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu koordinasi semua bagian tersebut.
Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan dan integrasi pemikiran, pera-saan, dan tingkah lakunya
Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi, memiliki dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini adalah : (1) tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya, (2) merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya itu, (3) aktor bukan reaktor, (4) berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya, (5) dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab, (6) mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.
Dalam hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan ini memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa sekarang.
Dalam pendekatan ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang dan kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan.
Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan. Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan di bawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Individu bermasalah kaena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi.
Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self).
Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis
Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan datang
Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi
Spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi :
Kepribadian kaku (rigid)
Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin tetap tergantung
Menolak berhubungan dengan lingkungan
Memeliharan unfinished bussiness
Menolak kebutuhan diri sendiri
Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih” .
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan hidupnya.
Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.
Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut.
Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya
Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself)
Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.
D. Deskripsi Proses Konseling
Fokus utama konseling gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan klien sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong klien untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar klien mau belajar menggunakan perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua alternatif, ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.
Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak, keinginan-keinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat.
Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri sendiri. Dalam hal ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi dari ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri. Usaha ini dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan klien.
Pada saat klien mengalami gejala kesesatan dan klien menyatakan kekalahannya terhadap lingkungan dengan cara mengungkapkan kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau gila, maka tugas konselor adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau menghadapi ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.
Deskripsi fase-fase proses konseling :
Fase pertama, konselor mengembangkan pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang diciptakan untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang harus dipecahkan.
Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan klien untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada dua hal yang dilakukan konselor dalam fase ini, yaitu :
Membangkitkan motivasi klien, dalam hal ini klien diberi kesempatan untuk menyadari ketidaksenangannya atau ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap ketidakpuasannya semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.
Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien dan menekankan kepada klien bahwa klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara bertanggung jawab.
Fase ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat ini, klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang klien diperbolahkan memproyeksikan dirinya kepada konselor.
Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek kepribadian yang hilang, dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.
Fase keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling.
Pada fase ini klien menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.
Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya dan tingkah lakunya.
Dalam situasi ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan” diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.
Teknik Konseling
Hubungan personal antara konselor dengan klien merupakan inti yang perlu diciptakan dan dikembangkan dalam proses konseling. Dalam kaitan itu, teknik-teknik yang dilaksanakan selama proses konseling berlangsung adalah merupakan alat yang penting untuk membantu klien memperoleh kesadaran secara penuh.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Gestal
Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya.
Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi masa lalu atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini bukan berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan keadaan sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya “mengapa”.
Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali dirinya: (a) klien mempergunakan kata ganti personal
klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan; (b)klien mengambil peran dan tanggung jawab; (c) klien menyadari bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada diri atau tingkah lakunya
Teknik-teknik Konseling Gestalt
Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya : (a) kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak; (b) kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh; (c) kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”
kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung; (d) kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
Latihan Saya Bertanggung Jawab
Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Misalnya :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”.
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.
Bermain Proyeksi
Proyeksi artinya memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain.Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya.
Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.
Teknik Pembalikan
Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.
Tetap dengan Perasaan
Teknik dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Rasional Emotif
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
C. Tujuan Konseling
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, ( penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
D. Deskripsi Proses Konseling
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.
Tugas konselor menunjukkan bahwa
• masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak rasional
• usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :
1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
E. Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.
Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Psikoanalisis
Diterbitkan Juli 8, 2008
A. Konsep Dasar
1. Hakikat manusia, Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:
• Anti rasionalisme
• Mendasari tindakannya dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.
• Manusia secara esensial bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan instingtif, sehingga perilaku merupakan fungsi yang di dalam ke arah dorongan tadi. Libido atau eros mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan, sebagai lawan lawan dari Thanatos
• Semua kejadian psikis ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.
• Kesadaran merupakan suatu hal yang tidak biasa dan tidak merupakan proses mental yang berciri biasa.
• Pendekatan ini didasari oleh teori Freud, bahwa kepribadian seseorang mempunyai tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego
C. Tujuan Konseling
• Menolong individu mendapatkan pengertian yang terus menerus dari pada mekanisme penyesuaian diri mereka sendiri
• Membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan jalan mengembalikan hal-hal yang tak disadari menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada pemahaman dan pengenalan pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama usia 2-5 tahun, untuk ditata, disikusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga kepribadian klien bisa direkonstruksi lagi.
D. Deskripsi Proses Konseling
1. Fungsi konselor
• Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis
• Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga klien dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan analisis.
2. Langkah-langkah yang ditempuh :
• Menciptakan hubungan kerja dengan klien
• Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi.
• Tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya
• Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri
• Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.
• Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.
• Menutup wawancara konseling
E. Teknik Konseling
• Asosiasi bebas, yaitu mengupayakan klien untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga klien mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Klien diminta mengutarakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah agar klien mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga katarsis.
• Analisis mimpi, klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesak pun muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
• Interpretasi, yaitu mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
• Analisis resistensi; resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi). Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi
• Analisis transferensi. Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.
Konseling Humanistik
Diterbitkan Juli 14, 2008
A. Konsep Dasar:
1. Memandang manusia sebagai individu yang unik. Manusia merupakan seseorang yang ada, sadar dan waspada akan keberadaannya sendiri. Setiap orang menciptakan tujuannnya sendiri dengan segala kreatifitasnya, menyempurnakan esensi dan fakta eksistensinya.
2. Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
3. Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri
4. Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
B. Asumsi Perilaku Bermasalah
Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan.
C. Tujuan Konseling
1. Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya
2. Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
3. Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
4. Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.
D. Deskripsi Proses Konseling
1. Adanya hubungan yang akrab antara konselor dan konseli.
2. Adanya kebebasan secara penuh bagi individu untuk mengemukakan problem dan apa yang diinginkannya.
3. Konselor berusaha sebaik mungkin menerima sikap dan keluhan serta perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
4. Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri individu dan keyakinan akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang paling menentukan dalam hubungan konseling.
5. Pengenalan tentang keadaan individu sebelumnya beserta lingkungannya sangat diperlukan oleh konselor.
E. Teknik-Teknik Konseling
Teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5) encouragement (memberi dorongan); (5) limited questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan).
Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan menerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarahkan diri; (4) mewujudkan dirinya.
Sumber:
Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Terapi Realitas
Diterbitkan Juli 14, 2008
A. Konsep Dasar
Terapi Realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan.
Terapi Realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun.
Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Adalah William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini. Menurutnya, bahwa tentang hakikat manusia adalah:
1. Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya.
2. Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang individu yang sukses.
3. Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri
B. Ciri-Ciri Terapi Realitas
1. Menolak adanya konsep sakit mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.
2. Berfokus pada perilaku nyata guna mencapai tujuan yang akan datang penuh optimisme.
3. Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman yang berharga.
4. Tidak menegaskan transfer dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor dalam memberikan pertolongan mencarikan alternatif-alternatif yang dapat diwujudkan dalam perilaku nyata dari berbagai problema yang dihadapi oleh konseli .
5. Menekankan aspek kesadaran dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku tentang apa yang harus dikerjakan dan diinginkan oleh konseli . Tanggung jawab dan perilaku nyata yang harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai dan bermakna dan disadarinya.
6. Menghapuskan adanya hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami kegagalan., tetapi yang ada sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang disadari maknanya dan dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.
7. Menekankan konsep tanggung jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain melalui perwujudan perilaku nyata.
C. Tujuan Terapi
1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D. Proses Konseling (Terapi)
Konselor berperan sebagai:
1. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.
2. Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
3. Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
4. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
5. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
Teknik-Teknik dalam Konseling
1. Menggunakan role playing dengan konseli
2. Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks
3. Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
4. Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
5. Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
6. Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya
7. Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.
8. Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.
Sumber:
Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.
Teknik Umum Konseling (1)
Diterbitkan Januari 15, 2008
Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum, diantaranya :
A. Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :
1. Meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik :
• Kepala : melakukan anggukan jika setuju
• Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
• Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
• Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
• Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
• Kepala : kaku
• Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot.
• Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
• Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
• Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
B. Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :
1. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan terbuka.Contoh ungkapan empati primer :” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”. ” Saya dapat memahami pikiran Anda”.” Saya mengerti keinginan Anda”.
2. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi : Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.
C. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :
1. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”
2. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan…”
3. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan suatu…”
D. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
1. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang tersimpan. Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan ….”
2. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien. Contoh : ” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang sekolah sambil bekerja”.
3. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman klien. Contoh :” Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan Anda”
E. Menangkap Pesan (Paraphrasing)
Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau initi ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa demikian ? ”
Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”
F. Pertanyaan Terbuka (Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh : ” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan ? ”
G. Pertanyaan Tertutup (Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3) menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Klien : ”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang selama ini belum pernah saya lakukan”.
Konselor: ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien : ” Empat ”
Konselor: ” Sekarang berapa ? ”
Klien : ” Sebelas ”
H. Dorongan minimal (Minimal Encouragement)
Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan ungkapan : oh…, ya…., lalu…, terus….dan…
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya putus asa… dan saya nyaris… ” (klien menghentikan pembicaraan)
Konselor: ” ya…”
Klien : ” nekad bunuh diri”
Konselor: ” lalu…”
I. Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan biaya.”
Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan meninggalkan SMA”.
J. Mengarahkan (Directing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.
Klien : ” Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan diri. Akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor : ” Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
K. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2) menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu : sikap orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.”
Sumber :
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Teknik Umum Konseling (2)
Diterbitkan Januari 15, 2008
A. Memimpin (leading)
Yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan dalam wawancara konseling sehingga tujuan konseling .
Contoh dialog :
Klien :” Saya mungkin berfikir juga tentang masalah hubungan dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”
Konselor : ” Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka kepedulian Anda juga ?”
B. Fokus
Yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat menentukan apa yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :
” Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis ”.
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
1. Fokus pada diri klien. Contoh : ” Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.
2. Fokus pada orang lain. Contoh : ” Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa yang telah dilakukannya ?”
3. Fokus pada topik. Contoh : ” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ? Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.
4. Fokus mengenai budaya. Contoh: ” Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatas sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi obyek laki-laki.”
C. Konfrontasi
Yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya adalah : (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat; (2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan perilaku attending dan empati.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya baik-baik saja”.(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).”
Konselor :” Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres”. ”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri ”.
D. Menjernihkan (Clarifying)
Yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan agak meragukan. Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis, (2) agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.
Contoh dialog :
Klien : ” Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.”
Konselor : ”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau saudara-saudara Anda.”
E. Memudahkan (facilitating)
Yaitu teknik untuk membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas. Contoh :
” Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”
F. Diam
Teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5 – 10 detik, komunikasi yang terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang berfikir; (2) sevagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; (3) menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien babas bicara.
Contoh dialog :
Klien :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu”
Konselor :”…………..” (diam)
Klien :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor :”…………..” (diam)
G. Mengambil Inisiatif
Teknik ini dilakukan manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang parisipatif. Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika klien lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah pembicaraan.
Contoh:
” Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun masih belum keluar. Coba Anda renungkan kembali”.
G. Memberi Nasehat
Pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam memberi nasehat tetap dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.
Contoh respons konselor terhadap permintaan klien : ” Apakah hal seperti ini pantas saya untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih mengetahuinya dari pada saya.”
H. Pemberian informasi
Sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap diupayakan agar klien mengusahakannya.
Contoh :
” Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com di internet”.
I. Merencanakan
Teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan (action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien.
Contoh :
” Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman hasil pembicaraan kita sejak tadi ”
J. Menyimpulkan
Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3) pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Teknik Khusus Konseling
Diterbitkan Januari 15, 2008
Dalam konseling, di samping menggunakan teknik-teknik umum, dalam hal-hal tertentu dapat menggunakan teknik-teknik khusus. Teknik-teknik khusus ini dikembangkan dari berbagai pendekatan konseling, seperti pendekatan Behaviorisme, Rational Emotive Theraphy, Gestalt dan sebagainya
Di bawah disampaikan beberapa teknik – teknik khusus konseling, yaitu :
1. Latihan Asertif
Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
2. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakekatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
3. Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
4. Pembentukan Perilaku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk Perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
5. Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :
Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak.
Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh.
Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”.
Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung.
Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
6. Latihan Saya Bertanggung Jawab
Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Misalnya :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab atas ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.
7. Bermain Proyeksi
Proyeksi yaitu memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain. Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.
8. Teknik Pembalikan
Gejala-gejala dan perilaku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.
9. Bertahan dengan Perasaan
Teknik ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
10. Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
11. Adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
12. Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
13. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Sumber :
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Studi Kasus dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 31, 2008
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.
Nama & E-mail: Slameto
Saya Dosen di UKSW salatiga
Tanggal: 8 Mei 2002
Judul Artikel: Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD
Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling.
Artikel:
DESKRIPSI KASUS
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli.
2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
3. Kesegaran hasil yang dicapai.
4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.
SUMBER
Aryatmi, S., 1991, Perspektif BK dan Penerapannya di Berbagai Institusi, Satya Wacana Semarang.
Corey G., 1991/1995, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi (terjemahan Mulyarto), IKIP Semarang Pres.
Prayitno, 1998, Konseling Pancawashita, progdi BK PPB, FIP, IKIP Padang
Rosjidan, 1998, Pengantar Teori-teori Konseling, Depdikbud Dirjen PT Proyek P2LPTK, Jakarta
Surya, M., 1988, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta.
Konseling Pecandu Narkoba
Diterbitkan Januari 25, 2008
Konseling Terpadu Pemulihan Pecandu Narkoba
Oleh: Sofyan S. Willis*)
Abstrak : Pemulihan pecandu narkoba pasca pengobatan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dapat ditangani dengan Konseling Terpadu yang terdiri dari Konseling Individual, Konseling Agama, Konseling Keluarga, Konseling Kelompok, Pendidikan dan Pelatihan, Kunjungan, dan Partisipasi Sosial. Semua itu bertujuan agar klien terbebas dari dorongan kecanduan akibat mengkonsumsi narkoba. Pemulihan pecandu narkoba dengan menggunakan Konseling Terpadu itu memungkinkan hasil-hasil sebagai berikut. Tumbuh pada diri klien perasaan percaya diri, tidak menyalahkan pihak luar, mengambil tanggung jawab atas perbuatan sendiri dengan sadar atas resikonya, mendapat penghargaan dari lingkungan sehingga tumbuh motivasi untuk hidup baik, merasa sebagai anggota masyarakat yang beragama, dan akhirnya tumbuh sifat kepemimpinan terhadap diri, keluarga, dan masyarakat dengan moral-religius yang baik. Studi kasus aplikasi Konseling Terpadu terhadap seorang klien pasca RSKO, membuktikan bahwa dengan menjalani konseling selama 3 bulan (April-Juni 2001), klien telah menjadi anggota masyarakat dan bekerja normal pada toko suku cadang mobil di Jakarta.
Kata Kunci: Konseling Terpadu, pecandu narkoba, Pasca RSKO, Pemulihan.
*) Sofyan S. Willis adalah Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP-UPI Bandung
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan narkoba berawal sejak tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen Nung menulis naskah farmasi yang bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great Herbal). Salah satu ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan, malaria, rematik, dan analgesik (Martin, 1977).
Pada tahun 800 SM di India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki, dan segitiga emas (Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun kemudian ditemukan antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis obat (drug) yang saat ini amat populer yaitu marijuana yang berasal dari tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku primitif seperti Aztec dan suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin) menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic seperti marijuana dan sejenisnya untuk upacara-upacara ritual kepercayaannya mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik (Kisker, 1977; Martin, 1977).
Saat ini narkoba telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada abad ke 21.
Bagaimana di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia sudah terkena wabah narkoba yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di Indonesia sudah ada empat juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan, suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800 miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu (curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4) ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995), (2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan S.Willis, 2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah bebas, konsumtif, dan haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK pun menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak berfungsi, sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).
1.2 Tujuan Studi Kasus
Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk melalui kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan bahaya narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan diri kepada Tuhan.
1.3 Kajian Literatur
Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis, Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan pecandu secara berarti setiap tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979). Mengenai hal itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.
“There are still many places in our society where the typical approach to the disease of chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification; institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to destructive drinking”.
Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total (total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2.Metode Penanganan Kasus
Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan program detoxification dari RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
2.1 Konseling Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2.2 Bimbingan Kelompok (BKL)
Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.
2.3 Konseling Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.
2. Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne & Ohlsen, 1982).
3. Selanjutnya, konselor memberi kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi hatinya berupa kata-kata pengakuan jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta penyesalan terhadap masa lalu. Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup masa depan dan diberi kesempatan untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat.
4. Selanjutnya, konselor mengemukakan kepada keluarga tentang program pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya supaya keluarga klien menaruh kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama klien. Selanjutnya, keluarga akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan kasih sayang,.
5. Konselor meminta tanggapan keluarga tentang program tersebut. Di samping itu, diminta juga tanggapan mereka terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga, tanggapan klien terhadap program yang telah disusun konselor, dan juga tanggapan terhadap keluarganya. Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap program yang disusun konselor amat penting supaya semua pihak terutama klien sungguh-sungguh didalam menjalani program pemulihan dirinya.
Secara berturut-turut telah dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan konseling individual, bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam konteks bimbingan dan konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan, serta program partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.
Sumber : http://depdiknas.go.id, Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36.
Perilaku Konselor yang Efektif dan Tidak Efektif
Diterbitkan Juli 10, 2008
Dalam proses konseling, seorang konselor dituntut untuk dapat menunjukkan perilakunya secara efektif, baik perilaku verbal maupun non verbal. Barbara F. Okun (Sofyan S. Willis, 2004) telah mengidentifikasi beberapa perilaku verbal non verbal konselor yang efektif dan tidak efektif sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
1. Perilaku Verbal:
Efektif Tidak efektif
Menggunakan kata-kata yang dapat dipahami klien Memberi nasihat
Memberikan refleksi dan penjelasan terhadap pernyataan klien Terus menerus menggali dan bertanya terutama bertanya “mengapa”
Penafsiran yang baik/sesuai Bersifat menentramkan klien
Membuat kesimpulan-kesimpulan Menyalahkan klien
Merespon pesan utama klien Menilai klien
Memberi dorongan minimal Membujuk klien
Memanggil klien dengan nama panggilan atau “Anda” Menceramahi
Memberi informasi sesuai keadaan Mendesak klien
Menjawab pertanyaan tentang diri konselor Terlalu banyak berbicara mengenai diri sendiri
Menggunakan humor secara tepat tentang pernyataan klien Menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti
Penafsiran yang sesuai dengan situasi Penafsiran yang berlebihan
Sikap merendahkan klien
Sering menuntut/meminta klien
Menyimpang dari topik
Sok intelektual
Analisis yang berlebihan
Selalu mengarahkan klien
2. Perilaku Non Verbal:
Efektif Tidak efektif
Nada suara disesuaikan dengan klien (tenang, sedang) Berbicara terlalu cepat atau terlalu pelan
Memelihara kontak mata yang baik Duduk menjauh dari klien
Sesekali menganggukkan kepala Senyum menyeringai /senyum sinis
Wajah yang bersemangat Menggerakan dahi
Kadang-kadang memberi isyarat tangan Cemberut
Jarak dengan klin relatif dekat Marapatkan mulut
Ucapan tidak terlalu cepa/lambat Menggoyang-goyangkan jari
Duduk agak condong ke arah klien Menguap
Sentuhan (touch) disesuaikan dengan usia klien dan budaya lokal Gerak-gerak isyarat yang mengacaukan
Air muka ramah dan senyum Menutup mata atau mengantuk
Nada suara tidak menyenangkan
Membuang pandangan
Sumber:
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah
Diterbitkan Juli 8, 2008
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :
1. Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
2. Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
3. Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Secara visual, penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.
C. STANDAR KOMPETENSI BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Kompetensi Konselor/Guru BK
Diterbitkan Februari 17, 2008
A. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani
1. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi; (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap permsalahan konseli, dan (f) ersikap demokratis
B. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.
1. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsipprinsip pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan
2. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling pada satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
3. Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan konseling: (a) memahami berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan penelitian bimbingan
dan konseling; (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
4. Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a) mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b) mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja; (e) mengaplikasikan pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.
C. Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan
1. Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan konseli; (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan; (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling; dan (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling.
2. Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a) Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
3. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait; (d) menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan
mengembangkan program bimbingan dan konseling.
4. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami dasar, tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan
sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga administrasi)
5. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a) Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi
bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi.
6. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b) memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai keperluan.
Sumber : ABKIN. 2007. Naskah Akademik Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal
Tulisan yang sama dalam bentuk file Pdf :
Draft Standar Kompetensi Konselor
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SD
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu: (1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Dasar
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH DASAR
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mengenal bentuk-bentuk dan tata cara ibadah sehari-hari Tertarik pada kegiatan ibadah sehari Melakukan bentuk-bentuk ibadah sehari-hari
2 Landasan perilaku etis Mengenal patokan baik-buruk atau benar salah dalam berperilaku Menghargai aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari Mengikuti aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari
3 Kematangan emosi Mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain Memahami perasaan diri sendiri dan orang lain Mengekspresikan perasaan secara wajar
4 Kematangan intelektual Mengenal konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan dan perilaku belajar Menyenangi berbagai aktifitas perilaku belajar Melibatkan diri dalam berbagai aktifitas perilaku belajar
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mengenal hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam lingkungan kehidupan sehari-hari Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam lingkungan kehidupan sehari-hari Berinteraksi dengan orang lain dalam suasana persahabatan
6 Kesadaran gender Mengenal diri sebagai laki-laki atau perempuan Menerima atau menghargai diri sebagai laki-laki atau perempuan Berperilaku sesuai dengan peran sebagai laki-laki atau perempuan
7 Pengembangan diri Mengenal keadaan diri dalam lingkungan dekatnya Menerima keadaan diri sebagai bagian dari lingkungan Menampilkan perilaku sesuai dengan keberadaan diri dalam lingkungannya
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mengenal perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dekatnya Memahami perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dekatnya Menampilkan perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya
9 Wawasan dan kesiapan karier Mengenal ragam pekerjaan dan aktivitas orang dalam kehidupan Menghargai ragam pekerjaan dan aktivitas sebagai hal yang saling bergantung Mengekspresikan ragam pekerjaan dan aktivitas orang dalam lingkungan kehidupan
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mengenal norma-norma dalam berinteraksi dengan teman sebaya Menghargai norma-norma yang dijunjung tinggi dalam menjalin persahabatan dengan teman sebaya Menjalin persahabatan dengan teman sebaya atas dasar norma yang dijunjung tinggi bersama
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTP
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; (8 ) Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu:(1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mengenal arti dan tujuan ibadah Berminat mempelajari arti dan tujuan ibadah Melakukan berbagai kegiatan ibadah dengan kemauan sendiri
2 Landasan perilaku etis Mengenal alasan perlunya mentaati aturan/norma berperilaku Memahami keragaman aturan/patokan dalam berperilaku dalam konteks budaya Bertindak atas pertimbangan diri terhadap norma yang berlaku
3 Kematangan emosi Mengenal cara-cara mengekspresikan perasaan secara wajar Memahami keragaman ekspresi perasaan diri dan perasaan orasaan orang lain Mengekspresikan perasaan atas dasar pertimbangan kontekstual
4 Kematangan intelektual Mempelajari cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah Menyadari adanya resiko dari pengambilan keputusan Mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan resiko yang mungkin terjadi.
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mempelajari cara-cara memperoleh hak dan memenuhi kewajiban dalam lingkungan kehidupan sehari-hari Menghargai nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari Berinteraksi dengan orang lain atas dasar nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan hidup.
6 Kesadaran gender Mengenal peran-peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan Menghargai peranan diri dan orang lain sebagai laki-laki atau perempuan dalam kehidupan sehari-hari Berinteraksi dengan lain jenis secara kolaboratif dalam memerankan peran jenis
7 Pengembangan diri Mengenal kemampuan dan keinginan diri Menerima keadaan diri secara positif Meyakini keunikan diri sebagai aset yang harus dikembangkan secara harmonis dalam kehidupan
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mengenal nilai-nilai perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari manfaat perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari. Membiasakan diri hidup hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari.
9 Wawasan dan kesiapan karier Mengekspresikan ragam pekerjaan, pendidikan dan aktivitas dalam dengan kemampuan diri Menyadari keragaman nilai dan persyaratan dan aktivitas yang menuntut pemenuhan kemampuan tertentu Mengidentifikasi ragam alternatif pekerjaan, pendidikan dan aktifitas yang mengandung relevansi dengn kemampuan diri
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mempelajari norma-norma pergaulan dengan teman sebaya yang beragam latar belakangnya Menyadari keragaman latar belakang teman sebaya yang mendasari pergaulan Bekerja sama dengan teman sebaya yang beragam latar belakangnya
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTA
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu: (1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mempelajari hal ihwal ibadah Mengembangkan pemikiran tentang kehidupan beragama Melaksanakan ibadah atas keyakinan sendiri disertai sikap toleransi
2 Landasan perilaku etis Mengenal keragaman sumber norma yang berlaku di masyaraakat Menghargai Keragaman sumber norma sebagai rujukan pengambilan keputusan Berperilaku atas dasar keputusan yang mempertimbangkan aspek-aspek etis
3 Kematangan emosi Mempelajari cara-cara menghindari konflik dengan orang lain Bersikap toleran terhadap ragam ekspresi perasaan diri sendiri dan orang lain Mengekspresikan perasaan dalam cara-cara yang bebas,terbuka dan tidak menimbulkan konflik
4 Kematangan intelektual Mempelajari cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah secara objektif Menyadari akan keragaman alternatif keputusan dan konsekuensi yang dihadapinya Mengambil keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data secara obyektif
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mempelajari keragaman interaksi sosial Menyadari nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam konteks keragaman interaksi sosial Berinteraksi dengan orang lain atas dasar kesamaan
6 Kesadaran gender Mempelajari perilaku kolaborasi antar jenis dalam ragam kehidupan Menghargai keragaman peraan laki-laki atau perempuan sebagai aset kolaborasi dan keharmonisan hidup Berkolaborasi secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran
7 Pengembangan diri Mempelajari keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial Menerima keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya Menampilkan keunikan diri secara harmonis dalam keragaman
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mempelajari strategi dan peluang untuk berperilaku hemat,ulet, sengguh-sungguh dan kompetitif dalam keragaman kehidupan Menerima nilai-nilai hidup hemat,ulet sungguh-sungguh dan kompetitif sebagai aset untuk mencapai hidup mandiri Menampilkan hidup hemat, ulet, sungguh-sungguh dan kompetitif atas dasar kesadaran sendiri
9 Wawasan dan kesiapan karier Mempelajari kemampuan diri, peluang dan ragam pekerjaan, pendidikan, dan aktifitas yang terfokus pada pengembangan alternatif karir yang lebih terarah Internalisasi nilai-niolai yang melandasi pertimbangan pemilihan alternatif karir Mengembangkan alternatif perencanaan karir dengan mempertimbangkan kemampuan, peluang dan ragam karir
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mempelajari cara-cara membina dan kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman sebaya Menghargai nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai dasar untuk menjalin persahabatan dengan teman sebaya Mempererat jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan norma yang berlaku
11 Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga Mengenal norma-norma pernikahan dan berkeluarga Mengharagai norma-norma pernikahan dan berkeluarga sebagai landasan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis Mengekspresikan keinginannya untuk mempelajari lebih intensif tentang norma pernikahan dan berkeluarga
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi BK di Perguruan Tinggi
Diterbitkan Juni 13, 2008
Meski penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling tidak terkait langsung dengan Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Namun Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) telah menyiapkan pula rumusan Standar Kompetensi Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Perguruan Tinggi
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mempelajari hal ihwal ibadah Mengembangkan pemikiran tentang kehidupan beragama Melaksanakan ibadah atas keyakinan sendiri disertai sikap toleransi
2 Landasan perilaku etis Mengenal keragaman sumber norma yang berlaku di masyaraakat Menghargai Keragaman sumber norma sebagai rujukan pengambilan keputusan Berperilaku atas dasar keputusan yang mempertimbangkan aspek-aspek etis
3 Kematangan emosi Mempelajari cara-cara menghindari konflik dengan orang lain Bersikap toleran terhadap ragam ekspresi perasaan diri sendiri dan orang lain Mengekspresikan perasaan dalam cara-cara yang bebas,terbuka dan tidak menimbulkan konflik
4 Kematangan intelektual Mempelajari cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah secara objektif Menyadari akan keragaman alternatif keputusan dan konsekuensi yang dihadapinya Mengambil keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data secara obyektif
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mempelajari keragaman interaksi sosial Menyadari nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam konteks keragaman interaksi sosial Berinteraksi dengan orang lain atas dasar kesamaan
6 Kesadaran gender Mempelajari perilaku kolaborasi antar jenis dalam ragam kehidupan Menghargai keragaman peraan laki-laki atau perempuan sebagai aset kolaborasi dan keharmonisan hidup Berkolaborasi secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran
7 Pengembangan diri Mempelajari keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial Menerima keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya Menampilkan keunikan diri secara harmonis dalam keragaman
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mempelajari strategi dan peluang untuk berperilaku hemat,ulet, sengguh-sungguh dan kompetitif dalam keragaman kehidupan Menerima nilai-nilai hidup hemat,ulet sungguh-sungguh dan kompetitif sebagai aset untuk mencapai hidup mandiri Menampilkan hidup hemat, ulet, sungguh-sungguh dan kompetitif atas dasar kesadaran sendiri
9 Wawasan dan kesiapan karier Mempelajari kemampuan diri, peluang dan ragam pekerjaan, pendidikan, dan aktifitas yang terfokus pada pengembangan alternatif karir yang lebih terarah Internalisasi nilai-niolai yang melandasi pertimbangan pemilihan alternatif karir Mengembangkan alternatif perencanaan karir dengan mempertimbangkan kemampuan, peluang dan ragam karir
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mempelajari cara-cara membina dan kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman sebaya Menghargai nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai dasar untuk menjalin persahabatan dengan teman sebaya Mempererat jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan norma yang berlaku
11 Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga Mengenal norma-norma pernikahan dan berkeluarga Mengharagai norma-norma pernikahan dan berkeluarga sebagai landasan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis Mengekspresikan keinginannya untuk mempelajari lebih intensif tentang norma pernikahan dan berkeluarga
Simber:
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
D. MANAJEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Program Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
A. Program Bimbingan dan Konseling
Program pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi, dengan substansi program pelayanan mencakup: (1) empat bidang, (2) jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3) format kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan (5) volume/beban tugas konselor.
Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.
Dilihat dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5 (lima) jenis program, yaitu:
1. Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.
2. Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
3. Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
4. Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
5. Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) Bimbingan dan Konseling.
B. Manajemen Bimbingan dan Konseling
Secara keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling mencakup tiga kegiatan utama, yaitu : (1) perencanaan; (2) pelaksanaan, dan (3)penilaian
1. Perencanaan
Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan. Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang merupakan penjabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang masing-masing memuat:: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b) substansi layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan;(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang terlibat; dan (e) waktu dan tempat. Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah.
B. Pelaksanaan Kegiatan
Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan keteladanan.Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.
Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan di dalam dan di luar jam pelajaran, yang diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah.
Pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk: (1) kegiatan tatap muka secara klasikal; dan (2) kegiatan non tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Sedangkan kegiatan non tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.
Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk kegiatan tatap muka maupun non tatap muka dengan peserta didik, untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah. Setiap kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG)..
C. Penilaian Kegiatan
Penilaian kegiatan bimbingan dan konseling terdiri dua jenis yaitu: (1) penilaian hasil; dan (2) penilaian proses. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan melalui:
1. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.
2. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.
3. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didik.
Sedangkan penilaian proses dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.
Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan dalam LAPELPROG Hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.
Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Pengembangan diri sebagaimana dimaksud dalam KTSP merupakan wilayah komplementer antara guru dan konselor. Penjelasan tentang pengembangan diri yang tertulis dalam struktur kurikulum dijelaskan bahwa :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap konseli sesuai dengan kondisi Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir konseli.
Dari penjelasan yang disebutkan itu ada beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, sehingga dapat menghindari kerancuan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
1. Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
2. Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
3. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor (periksa gambar 2).
Telaahan di atas menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan (khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum. Sebagian dari pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebgian dari aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Jika dilakukan telaahan anatomis terhadap posisi bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dapat terlukiskan sebagai berikut (lihat gambar 1).
Gambar 1.
Posisi Bimbingan dan Konseling dan Kurikulum (KTSP)
dalam Jalur Pendidikan Formal
Dapat ditegaskan di sini bahwa KTSP adalah salah satu subsistem pendidikan formal yang harus bersinergi dengan komponen/subsitem lain yaitu manajemen dan bimbingan dan konseling dalam upaya memfasilitasi konseli mencapai perkembangan optimum yang diwujudkan dalam ukuran pencapaian standar kompetensi. Dengan demikian pengembangan diri tidak menggantikan fungsi bimbingan dan konseling melainkan sebagai wilayah komplementer dimana guru dan konselor memberikan kontribusi dalam pengembangan diri konseli.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
BK dan MPMBS
Diterbitkan Februari 10, 2008
Oleh : Drs. Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Salah satu issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling
Bahwa berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.
Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi
1. Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan inovatif.
Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.
Dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional.
Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional.
Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.
Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling.
Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.
Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang mantap dan memadai.
Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada praktek konseling sebelumnya.
Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.
2. Akuntabilitas Kerja Konselor
Pada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas konselor.
Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.
Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.
Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan.
Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik
3. Konselor Sebagai Agen Informasi
Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif, konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.
Hal yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun, konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang berkenaan dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.
Dalam mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin sangat kurang.
Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team work tersebut.
Demikianlah, uraian sederhana yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat adanya, khususnya bagi kemajuan dan peningkatan mutu layanan konseling di sekolah.
Sumber bacaan :
Dedi Suriyadi, Prof. Dr., (2001), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Konselor, Makalah , Jurusan PPB-FIP UPI Bandung-ABKIN Pengda Jawa Barat : Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional (2001) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan, Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,(1994), Kurikulum Sekolah Menengah Umum (SMU), Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Konselor SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Diterbitkan Februari 17, 2008
Bagaimana mengevaluasi program Bimbingan dan Konseling Komprehensif? Norman C. Gysbers and Patricia Henderson dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Comprehensive Guidance and Counseling Program Evaluation: Program + Personnel = Results” mengetengahkan tentang tiga jenis evaluasi kaitannya dengan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Komprehensif. Ketiga jenis evaluasi tersebut adalah : (1) evaluasi personil; (2) evaluasi program; dan (3) evaluasi hasil.
Sementara itu, Victoria Merrill dari University of Phoenix Washington mengetengahkan tentang perubahan peran konselor terkait dengan keberagaman masyarakat atau multikultural. Konselor harus memiliki pengetahuan tentang perbedaan kultural yang individu (konseli) yang dilayaninya.
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut silahkan klik tautan di bawah ini. Tulisan disajikan dalam Bahasa Inggris, yang penulis peroleh dari hasil searching di internet.
1. Comprehensive Guidance and Counseling Program Evaluation
2. Counselors Role in a Changing
Pergeseran Pola Manajemen dan Proses Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Februari 27, 2008
Pola Lama Pola Baru
Manajemen Bimbingan dan Konseling
Menitikberatkan pada siswa yang beresiko/bermasalah Melayani seluruh siswa (guidance for all)
Dilaksanakan karena adanya krisis/masalah Dilaksanakan berdasarkan kurikulum
Pendekatan panggilan (on call) Terjadwal (kalender)
Disampaikan dan dilaksanakan hanya oleh konselor Kolaboratif antara konselor, guru, orang tua dan masyarakat
Dimiliki hanya oleh staf konseling (konselor) Didukung dan dimiliki oleh seluruh komunitas
Mengukur jumlah usaha yang dilakukan Mengukur dampak yang dikaitkan dengan tujuan
Berurusan dengan proses melaksanakan pekerjaan Berurusan dengan pencapain tujuan, sasaran dan hasil
Memfokuskan pada tujuan dan yang dianggap baik Memfokuskan pada pencapaian (accomplisment)
Bekerja untuk memelihara sistem yang ada Responsif dan beradaptasi dengan perubahan
Membicarakan tentang bagaimana bekerja keras Membicarakan tentang efektivitas kerja
Proses Konseling
Bersifat klinis Bersifat pedagogis
Melihat kelemahan klien Melihat potensi klien (siswa)
Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa) Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
Konselor serius Menggembirakan klien (siswa)
Dialog menekan perasaan klien dan klien (siswa) sering tertutup Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
Klien sebagai obyek Klien (siswa) sebagai subyek
Konselor dominan dan bertindak sebagai problem solver Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
Sumber :
Gary L. Spear (tt) Comprehensive School Counseling on line http://www.dpi.wisconsin.gov/sspw/counsl1.html
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
Rubrik Sertifikasi Guru BK
Diterbitkan Februari 6, 2008
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :
1. Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.
2. Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling
Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-aspek penilaian meliputi :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
• Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)
• Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
• Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)
7. Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.
Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.
Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
Rubrik Penilaian Portofolio Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)
Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor
Diterbitkan Februari 3, 2008
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksnakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan antara konselor dengan guru, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal)
Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru pada saat pembelajaran dirujuk kepada konselor untuk penanganannya. Demikian pula, masalah-masalah peserta didik yang ditangani konselor terkait dengan proses pembelajaran bidang studi dirujuk kepada guru untuk menindaklanjutinya.
Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini berarti dalam pengembangan dan proses pembelajaran fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru. Sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian konselor.
Selengkapnya, keunikan dan keterkaitan pelayanan pembelajaran oleh guru dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh konselor dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Dimensi Guru Konselor
1. Wilayah Gerak Khususnya Sistem Pendidikan Formal Khususnya Sistem Pendidikan Formal
2. Tujuan Umum Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
3. Konteks Tugas Pembelajaran yang mendidik melalui mata pelajaran dengan skenario guru-murid Pelayanan yang memandirikan dengan skenario konseli-konselor
Fokus Kegiatan Pengembangan kemampuan penguasaan bidang studi dan masalah-masalahnya Pengembangan potensi diri bidang pribadi, sosial, belajar, karier, dan masalah-masalahnya
Hubungan Kerja Alih tangan (referal) Alih tangan (referal)
4. Target Intervensi
Individual Minim Utama
Kelompok Pilihan Strategis Pilihan Strategis
Klasikal Utama Minim
5. Ekspektasi Kinerja
Ukuran Keberhasilan Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan
Lebih Bersifat Kuantitaif Kemandirian dalam kehidupan
Lebih bersifat kualitatif yang unsur-unsurnya saling terkait
Pendekatan Umum Pemanfaatan Instructional Effects & Nurturant Effects melalui pembelajaran yang mendidik Pengenalan diri dan lingkungan oleh konseli dalam rangka pengentasan masalah pribadi, sosial, belajar dan karier. Skenario tindakan merupakan hasil transaksi yang merupakan keputusan konseli
Perencanaan tindak intervensi Kebutuhan belajar ditetapkan terlebih dahulu untuk ditawarkan kepada peserta didik Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional oleh konseli, difasilitasi oleh konselor
Pelaksanaan tindak intervensi Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkretik peserta didik yang lebih terstruktur Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkretik konseli dalam transaksi makna yang lebih lentur dan terbuka
Sumber : Dirjen PMPTK, 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akdemik). Jakarta
F. OPINI TENTANG BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Guru BK tak Perlu Beri Solusi
Diterbitkan Februari 17, 2008
Guru bimbingan dan konseling (BK) harus mampu membantu siswa memecahkan masalahnya sendiri. Guru BK tidak perlu memberikan solusi atas masalah para siswa tapi menjadi pendengar yang baik dan memberikan arahan-arahan.
Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis, M.Pd., mengatakan hal itu kepada ”PR” di sela-sela lokakarya “Konselor Sekolah” di SMAN 5 Bandung, Jl. Belitung, Menurut dia, solusi yang diberikan guru malah belum tentu menjadi yang terbaik untuk para siswa. “Tidak ada yang dipecahkan pembimbing. Siswa harus memecahkannya sendiri atas bantuan guru,” ujarnya.
Staf pengajar pada program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia itu mengatakan, guru BK bisa saja memberikan usulan tapi tidak dalam bentuk nasihat. “Alternatif bisa diusulkan guru, tapi siswa tetap yang harus memikirkan. Yang baik, alternatif juga dari dia (siswa-red),” ungkapnya.
Selain terlalu sering memberikan nasihat, katanya, ada beberapa hambatan lain yang membuat guru BK tidak berfungsi dengan baik di sekolah. Terutama, citra yang telanjur melekat pada guru BK sebagai polisi sekolah.
Menurut dia, kantor BK di sekolah bahkan telah dianggap sebagai tempat pesakitan. Padahal, guru BK harus memberikan konseling kepada seluruh siswa, bukan yang memiliki masalah saja. Karenanya, hubungan konseling harus dijaga supaya selalu baik sehingga siswa bisa percaya pada guru BK secara personal.
Hambatan lain adalah banyaknya guru BK yang tidak mampu mengelompokkan masalah yang diungkapkan siswa. Saat melakukan konseling, siswa sering berbicara banyak hal sehingga guru tidak cepat menangkap pokok masalahnya. Karenanya, konseling harus berlangsung secara berkesinambungan.
Supaya konseling cukup efektif, jumlah guru BK di setiap sekolah harus memadai. Menurut Sofyan, satu guru BK sebanding dengan 150 siswa.
Berkaitan dengan peran sekolah, ia mengungkapkan, semua guru — terutama guru BK — harus melakukan pendekatan secara bijak dan personal kepada siswa. Guru pun harus mampu mengajar sambil membimbing para siswa.
Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/07/0702.htm
Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai
Diterbitkan Februari 7, 2008
Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), menulis sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20 dengan judul tulisan “Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”. Isi tulisan kiranya dapat disarikan sebagai berikut :
Bahwa tugas seorang konselor adalah menyelenggarakan layanan kemanusiaan pada kawasan layanan yang bertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengembilan keputusan tentang pendidikan, pilihan dan pemeliharaan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum.melalui pendidikan. Makna melalui pendidikan mengandung penekanan keharusan sinergi antara guru dan konselor.
Seorang konselor sebagai pengampu layanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik, menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman serta mengedepankan kemaslahatan pengguna layanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindakan layanannya itu terhadap pengguna layanan, dan selalu menyadari batas kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya sebagai seorang profesional. Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan berbasis nilai, layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselot tidak boleh memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk menemukan makna nilai kehidupannya.
Dengan karakteristik keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerjanya, seorang konselor dipersyaratkan memiliki kompetensi : (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani; (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling; (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan; (4) mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5) yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
Berkenann dengan komponen Pengembangan Diri dalam KTSP, Sunaryo mengingatkan untuk tidak menyeret layanan bimbingan dan konseling ke arah pembelajaran seperti bidang studi. Menurutnya, bahwa Pengembangan Diri dalam KTSP merupakan wilayah kerja semua pendidik di sekolah dan bukan hanya wilayah kerja konselor. Misalnya, pengembangan bakat dan minat peserta didik lebih banyak merupakan tugas guru bidang studi karena akan menyangkut substansi yang terkait dengan bakat anak. Konselor akan berperan membantu peserta didik untuk memahami bakat dan minat yang ada pada dirinya., misalnya melalui asesmen psikologis, dan memilih alternatif pengembangan yang paling mungkin bagi dirinya, baik terkait dengan pendidikan maupun karier. Selebihnya adalah tugas guru untuk membantu peserta didik mengembangkan bakatnya, baik melalui kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Tidak mungkin seorang konselor mengajarkan subtansi yang yang terkait dengan pengembangan bakat dan minat peserta didik.
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak bisa digantikan dengan komponen pengembangan diri, melainkan tetap sebagai sebuah layanan utuh yang berorientasi kepada upaya memfasilitasi kemandirian peserta didik.
Jika acuan guru bidang studi adalah pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL), acuan konselor adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) yang basisnya adalah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai peserta didik dalam perkembangan moral, akademik, pribadi-sosial, dan karier. SKK ini sesungguhnya yang harus dirumuskan oleh konselor dan setiap satuan pendidikan sebagai dasar pengembangan program layanan bimbingan dan konseling.
Pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling merentang mulai dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada jenjang TK dan SD layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh Roving Counselor (Konselor Kunjung) untuk membantu guru menyusun Program BK yang terpadu dengan proses pembelajaran dan mengatasi perilaku yang mengganggu, melalui direct behavioral consultation.
Pada jenjang SMP dan SMA layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan olehkonselor untuk memfasilitasi peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi peserta didik secara optimal dan salah satunya adalah kemandirian dalam mengambil keputusan perencanaan pendidikan dan karier.
Pada jenjang SMP dan SMA, layanan Bimbingan dan Konseling untuk semakin mengokohkan pilihan dan pengembangan karier sejalan dengan bidang vokasi yang menjadi pilihannya.. Bimbingan Karier (soft skill) dan Bimbingan Vokasional (hard skill) harus dikembangkan secara sinergis, berkolaborasi dengan guru bidang vokasional.
Pada jenjang Perguruan Tinggi layanan Bimbingan dan Konseling dimaksudkan untuk semakin memantapkan karier yang sebisa mungkin yang paling cocok, baik dengan rekam jejak pendidikan mahasiswa maupun kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang produktif, sejahtera, serta berguna untuk manusia lain.
Selain itu, dikemukakan pula tentang layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus dan anak berbakat. layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus layanan Bimbingan dan Konseling lebih ditekankan pada upaya pengembangan kecakapan hidup sehari-hari (daily living activities), merupakan intervensi tidak langsung yang lebih terfokus upaya mengembangkan lingkungan perkembangan yang akan melibatkan banyak pihak, terutama guru pendidikan khusus. Sedangkan layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berbakat, pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya sama dengan pelayanan umum lainnya. Dalam hal ini, konselor berperan dalam asesmen keberbakatan dan memilih alternatif pengembangan keberbakatan, yang tidak hanya dalam pengertian intelektual saja tetapi juga keberbakatan lainnya, seperti dalam olah raga, seni dan sebagainya
Atas semua itu, saat ini Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) dengan dukungan Ditjen Dikti, Ditjen PMPTK, BSNP, Dijen Dikdasmen sedang merumuskan standar kompetensi konselor, pendidikan profesional konselor dan penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk di dalamnya pengembangan Standar Kompetensi Kelulusan (SKK) sebagai rambu-rambu bagi konselor.
Sumber : Sunayo Kartadinata.“Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”.Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20
Penulis dan Bimbingan & Konseling
Diterbitkan Februari 4, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Pertama kali mengenal konseling tatkala penulis masih duduk di bangku SMP, sekitar 32 tahun yang lalu. Sebagai siswa yang sedang memasuki masa remaja awal, pada waktu itu penulis merasakan betul gejolak keremajaan, yang mengakibatkan penulis “terpaksa” harus berurusan dengan guru BP (panggilan untuk konselor pada waktu itu). Pada saat diwawancarai atau mungkin diinterogasi, rasa takut sempat menyelimuti diri penulis, karena kebetulan Guru BP-nya merupakan sosok yang sangat berwibawa dan ditakuti oleh para siswa. Setelah keluar dari ruangan BP, dalam hati saya berjanji tidak akan berusaha untuk melanggar peraturan sekolah lagi, karena takut dan malu jika harus berurusan lagi dengan Guru BP.
Empat tahun kemudian, pada saat akan mengakhiri studi di SMA, lagi-lagi penulis terpaksa harus berurusan dengan Guru BP. Namun jauh berbeda dengan apa yang dialami ketika masih di SMP, sosok guru BP yang penulis hadapi merupakan sosok yang lembut dan penuh perhatian, walaupun pada saat itu penulis merupakan “orang yang bermasalah”. Kesan manis dan simpatik yang ditampilkannya membuat penulis sering melakukan kontak dengan guru BP tersebut bahkan dia pun banyak bercerita tentang apa itu BP dan bagaimana untuk menjadi guru BP.
Setelah menamatkan pendidikan di SMA dan gagal menempuh ujian masuk perguruan tinggi yang tergabung Proyek Perintis I, penulis mengambil alternatif lain untuk mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi melalui Proyek Perintis IV, salah satu perguruan tinggi yang bergabung di dalamnya adalah IKIP Bandung (sekarang berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia).
Pada saat harus mengisi formulir pendaftaran, penulis sempat mengalami kesulitan untuk menentukan jurusan apa yang hendak ditempuh. Ketika membaca buku panduan pengisian formulir, di sana tertera ada satu jurusan yang bernama Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB), kemudian penulis bertanya sambil bercerita tentang guru BP yang pernah penulis alami di SMA kepada kakak penulis yang mengantar penulis,– yang juga kebetulan sebagai mahasiswa pada salah satu jurusan di IKIP Bandung,- singkatnya pertanyaan itu, apakah jurusan PPB itu akan menghasilkan guru seperti guru BP yang pernah saya hadapi ketika di SMA. Jawaban singkatnya, ya seperti itulah ! Maka tidak panjang lebar lagi, penulis langsung mengisi formulir pendaftaran dengan mencantumkan jurusan PPB sebagai satu-satunya yang penulis pilih. Walaupun diberikan kesempatan untuk memilih dua pilihan, penulis hanya memilih satu jurusan saja. Akhirnya, penulis pun lulus testing dan diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan PPB-FIP IKIP Bandung.
Rupanya pertemuan dan komunikasi yang menyenangkan dengan guru BP pada saat di SMA telah mempengaruhi keyakinan dan pola pikir penulis, sehingga akhirnya penulis pun memutuskan untuk menempuh pendidikan pada jurusan yang sama dengan Guru BP penulis pada saat di SMA. (kalau tidak salah guru BP tersebut bernama Bapak Sa’i Dayari, mudah-mudahan beliau sempat membaca tulisan ini dan penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala bimbingannya).
Selanjutnya, penulis menggeluti perkuliahan tentang bimbingan dan penyuluhan dan pada satu kesempatan mengikuti perkuliahan, penulis bertanya kepada salah seorang dosen tentang realita bimbingan dan penyuluhan pada saat itu, pertanyaannya seputar citra dan persepsi bimbingan dan penyuluhan yang dianggap sebagai lembaga yang “mengerikan” dan mungkin sangat dibenci oleh siswa. Beliau memberikan analisis panjang lebar, yang diakhiri dengan amanat beliau bahwa tugas penulislah (dan juga mahasiswa yang lainnya) untuk meluruskan semua itu, jika penulis kelak menjadi guru BP.
Pada akhirnya penulis pun lulus sebagai Sarjana Pendidikan dengan keahlian dalam bidang Bimbingan dan Penyuluhan. Hanya selang satu tahun setelah lulus, penulis lulus testing diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bekasi dan bertugas sebagai Guru BP.
Pada awal menjadi Guru BP, Kurikulum BP yang sedang dikembangkan adalah Kurikulum 1984, yang tampaknya masih berorientasi pada konseling terapeutik (kuratif). Sehingga dalam mengimplementasikan layanan BP pun masih banyak diwarnai oleh pendekatan yang bersifat terapeutik (kuratif). Pada kurikulum 1984 ada upaya untuk menekankan Bimbingan Karier sebagai substansi Bimbingan dan Penyuluhan. Di lapangan ternyata banyak yang keliru dalam menafsirkannya seolah-olah Bimbingan Karier merupakan bidang yang terpisah dari Bimbingan dan Penyuluhan, sehingga orang sering menyebutnya sebagai BP/BK. Lima tahun kemudian penulis pindah tugas ke salah satu SMA Negeri di Kabupaten Kuningan, tempat kelahiran penulis. Semasa bertugas menjadi guru BP di sana, sempat terjadi perubahan kurikulum yaitu Kurikulum 1994. Salah satu perubahan yang terjadi adalah perubahan nama Bimbingan dan Penyuluhan menjadi Bimbingan dan Konseling. Bersamaan itu pula mulai diperkenalkan sebutan Guru Pembimbing (sebutan resmi untuk petugas bimbingan dan konseling), menggantikan sebutan Guru BP, namun ada juga yang menyebutnya Guru BK. Dalam mengimplementasikan Kurikulum 1994, dikembangkan konsep Pola 17 sebagai kerangka kerja Bimbingan dan Konseling. Pada Kurikulum 1994 ini telah meletakkan dasar untuk mengembangkan konseling dengan paradigma pencegahan dan pengembangan. Sehingga dalam mengimplementasikan layanan Bimbingan dan Koseling tidak harus difokuskan untuk selalu “mengejar-ngejar kasus” semata. Suka dan duka menyertai perjalanan penulis selama menjadi Guru BP/Guru Pembimbing. Rasa suka dan bahagia muncul tatkala penulis berhasil membantu para siswa untuk bisa menjalani kehidupannya lebih baik. Terlebih jika ada orang tua yang sengaja datang ke sekolah hanya untuk sekedar menyampaikan rasa terima kasih atas hasil bimbingan yang telah dilakukan terhadap putera-puterinya.. Sebaliknya, rasa sedih dan duka muncul ketika penulis gagal memberikan bantuan kepada siswa yang terpaksa harus tidak naik kelas atau dikeluarkan gara-gara melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Perdebatan dan adu argumentasi dengan rekan-rekan kerja seringkali terjadi tatkala dalam rapat kenaikan kelas atau pelulusan harus mengambil keputusan untuk menentukan nasib siswa yang berada pada jurang “degradasi”. Upaya advokasi yang dilakukan memang seringkali menimbulkan kontraversi dengan rekan-rekan kerja, tapi itulah resiko jabatan yang harus dijalani.Begitu juga, rasa nelangsa dan prihatin muncul ketika guru-guru mata pelajaran menerima tunjangan Kelebihan Jam Mengajar, sedangkan guru pembimbing terpaksa harus gigit jari. Walaupun pada akhirnya penulis bersama dengan rekan-rekan guru pembimbing lainnya berhasil meyakinkan sekolah bahwa guru pembimbing pun berhak atas tunjangan Kelebihan Jam Mengajar.Perjalanan selama lima belas tahun menjadi guru pembimbing telah memberikan pengalaman dan kebanggaan tersendiri bagi penulis, sampai akhirnya pada tahun 2002 penulis beralih tugas menjadi pengawas sekolah dengan basis bimbingan dan konseling. Sambil menjalankan tugas-tugas kepengawasan, penulis semenjak tahun 2003 diberi kepercayaan untuk menjadi Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan untuk mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan (Perkembangan Peserta Didik) – yang di dalamnya memberi kajian akademik tentang bimbingan dan konseling–
Selama menjalani profesi kepengawasan, terjadi lompatan besar dalam upaya mereformasi pendidikan nasional. Pada tahun 2003, dengan hadirnya Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 mulai diperkenalkan isitilah konselor untuk sebutan resmi petugas bimbingan dan konseling. Tahun 2004 muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang kemudian pada tahun 2006 direvisi dengan hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Hanya sangat disesalkan, di tengah-tengah gelegar reformasi pendidikan dan pembelajaran tersebut, ternyata suara tentang bimbingan dan konseling semakin sayup-sayup dan nyaris tak terdengar. Sehingga penulis dan juga rekan-rekan konselor di lapangan seperti kehilangan pegangan dan arah untuk menyikapi berbagai perubahan yang terjadi.
Untuk menyiasati keadaan dan berbagai persoalan yang menghinggapi profesi konseling saat ini, akhirnya sampailah pada satu pemikiran untuk membuat situs ini, dengan harapan dapat dijadikan sebagai media komunikasi secara virtual, khususnya dengan seluruh rekan-rekan konselor dimana pun berada dan juga masyarakat lainnya, untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, sehingga profesi konseling tetap bisa memberikan manfaat bagi kehidupan dan kemajuan pendidikan kita.
Perjalanan Jauh Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi
Diterbitkan Februari 6, 2008
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Kehadiran layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang cukup panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu, bersamaan dengan munculnya kebutuhan akan penjurusan di.SMA pada saat itu. Selama perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian nama, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan sekarang. Akhir-akhir ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski secara formal istilah ini belum digunakan.
Bersamaan dengan perubahan nama tersebut, didalamnya terkandung berbagai usaha perubahan untuk memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi. Kendati demikian harus diakui bahwa untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang dapat memberikan manfaat banyak, hingga saat ini tampaknya masih perlu kerja keras dari semua pihak yang terlibat dengan profesi konseling.
Dalam tataran teoritis, teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya dan bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam pembelajaran untuk mata pelajaran - mata pelajaran di sekolah. Perkembangan teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling, baik yang bersumber dari penelitian maupun hasil pemikiran kritis para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun sepertinya tersimpan rapih dalam gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para konselor di lapangan. Di sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan melalui penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang sepenuhnya sehingga kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi bimbingan dan konseling.
Kendala terbesar yang dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum dirasakan oleh masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan lama, konseling sebagai “polisi sekolah“pun hingga kini masih melekat kuat pada sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut pandangan penulis, setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap laju perkembangan profesi konseling di Indonesia , yaitu :
1. Kelangkaan Tenaga Konselor
Tenaga konselor yang berlatar bimbingan dan konseling memang masih belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Selama ini masih banyak sekolah yang menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling tanpa didukung oleh tenaga konselor profesional dalam jumlah yang memadai. Sehingga, tenaga konseling terpaksa banyak direkrut dari nonkonseling, yang mungkin hanya dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang konseling, yang tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja bimbingan dan konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga.
Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply. Tingkat produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan penghasil tenaga konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya relatif tidak merata. Contoh kasus, di beberapa daerah ketika melakukan rekrutment untuk tenaga konselor dalam testing Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata tidak terisi, bukan dikarenakan tidak ada peminatnya, tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi ini merupakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah mampu menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya kebutuhan tenaga konselor di daerahnya.
Oleh karena itu, ke depannya perlu dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pencetak tenaga konselor untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan memperhitungkan segi kuantitas, kualitas dan distribusinya., sehingga kelangkaan tenaga konselor dapat segera diatasi.
2. Kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap profesi konseling
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri.
Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya. Walaupun dalam hal ini mungkin akan terjadi tawar-menawar yang cukup alot di dalamnya, tetapi keputusan yang terbaik demi kemajuan profesi bimbingan dan konseling tetap harus segeradiambil. !
Dengan teratasinya kelangkaan tenaga konselor dan keberhasilan upaya pemerintah dalam menata profesi bimbingan dan konseling, niscaya pada gilirannya akan memberikan dampak bagi perkembangan konseling ke depannya, sehingga profesi konseling bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah profesi yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan kemajuan negeri ini. Jika tidak, maka profesi bimbingan dan konseling tetap saja dalam posisi termarjinalkan.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. Pengawas Satuan Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU.
Seminar BK di Universitas Kuningan
Diterbitkan Maret 8, 2008
Jika tidak ada aral melintang pada hari Selasa, 11 Maret 2008 Universitas Kuningan (UNIKU) bekerja sama dengan Pengurus Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) Cabang Kabupaten Kuningan hendak menyelenggarakan Seminar Sehari Bimbingan dan Konseling, mengusung tema ” Arah Baru Kebijakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia“, dengan menghadirkan pembicara Dr. Uman Suherman, M.Pd. pakar Bimbingan dan Konseling dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Tujuan seminar ini adalah untuk memberikan pencerahan kepada para guru BK/Konselor di Kabupaten Kuningan tentang “Arah dan Perspektif Bimbingan dan Konseling di Indonesia” yang saat ini sedang digodok oleh ABKIN dan pihak yang berwenang lainnya untuk menjadi kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Indonesia. Seminar ini juga merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat dan kepedulian Universitas Kuningan terhadap profesi Bimbingan dan Konseling. Peserta tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis dan disediakan Seminar Kit oleh panitia
Kepada pihak-pihak yang telah menerima undangan, mari kita hadiri acara langka ini untuk kepentingan penambahan wawasan kita.
Tips Advokasi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 6, 2008
Pekerjaan bimbingan dan konseling kerapkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang justru memiliki kepentingan dengan bimbingan dan konseling itu sendiri, Misalnya, oleh siswa, guru mata pelajaran, kepala sekolah, para pemegang kebijakan lainnya atau masyarakat. Tidak sedikit mereka yang beranggapan bahwa konselor atau guru BK di sekolah hanya makan gaji buta, tidak jelas kerjanya, atau hanya dianggap sebagai pekerjaan embel-embel saja.
Ungkapan-ungkapan miring semacam itu bisa ditepis jika saja konselor atau guru BK yang bersangkutan dapat menunjukkan kinerjanya sekaligus mampu melakukan advokasi di hadapan mitra-mitra kerjanya di sekolah.
Di bawah ini beberapa tips untuk melakukan advokasi sekaligus untuk meyakinkan berbagai pihak yang berkepentingan dengan bimbingan dan konseling di sekolah.
1. Pada saat sedang mengikuti rapat, Anda minta waktu untuk berbicara dan pembicaraan Anda difokuskan pada hasil-hasil siswa bukan memaparkan apa yang telah dilakukan konselor. Yang dimaksud dengan hasil – hasil siswa adalah berbagai kemajuan yang dicapai siswa melalui intervensi bimbingan dan konseling, baik dalam bidang akademik, sosio-personal, maupun bidang karier.
2. Dukung pembicaraan Anda dengan data-data, karena data akan lebih berbunyi keras dari pada kata-kata (data speak louder than words), gunakan chart atau grafik untuk menggambarkan hasil-hasil siswa tersebut.
3. Untuk lebih meyakinkan bisa saja Anda memanfaatkan siswa untuk berbicara dalam forum mewakili kepentingan Bimbingan dan Konseling atau konselor, dengan menceritakan kisah sukses (success story) mereka atas bantuan layanan bimbingan dan konseling yang telah diterimanya.
4. Program bimbingan dan konseling pada dasarnya merupakan investasi siswa di sekolah tersebut, oleh karena itu konselor dituntut dapat menunjukkan pengembalian investasi tersebut dalam bentuk hasil-hasil siswa tersebut
5. Bertindak layaknya seorang ”politisi” yang aktif melakukan berbagai lobby dan berkomunikasi dengan seluruh mitra kerja yang ada sehingga kepentingan bimbingan dan konseling dapat terwakili dalam setiap keputusan atau kebijakan di sekolah.
6. Ciptakan akuntabilitas kerja melalui laporan hasil bimbingan dan konseling, baik laporan harian, bulanan, atau tahunan.
In House Trainning di SMA N 1 Garawangi
Diterbitkan Juli 21, 2008
Hari Sabtu lalu (18-07-2008), saya diundang untuk menjadi pemateri dalam acara In House Trainning yang diselenggarakan SMA Negeri 1 Garawangi Kabupaten Kuningan. Berdasarkan informasi dari Kepala Sekolah setempat, Bapak Drs. H. Rachmat Setiawan, M.M.Pd. bahwa kegiatan pelatihan semacam ini memang telah menjadi agenda rutin setiap akan memasuki tahun pelajaran baru dan diikuti oleh seluruh unsur guru dan staf tata laksana. Tema pelatihan kali ini adalah “ Upaya terrealisasinya Aplikasi Manajemen Pembelajaran bagi Pencapaian Mutu Pendidikan” dan pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaikan materi tentang Layanan Konseling di Sekolah. Untuk itu, saya memilih topik pembicaraan: “Layanan Konseling: Konsep dan Pratik”, dengan harapan para peserta dapat memahami: (1) konsep dasar layanan konseling di sekolah; (2) peran guru dalam layanan konseling di sekolah; dan (3) aplikasi konsep konseling dalam PBM. Materi yang disajikan merupakan kombinasi antara perspektif kebijakan dan keilmuan (teoritis).
Dalam jadwal resmi, sebetulnya saya hanya disediakan waktu 75 menit, namun karena enthusias dan partisipasi peserta yang tinggi, maka atas seijin panitia setempat, penyajian materi diperpanjang hingga hampir 120 menit. Penyajian semakin berkembang dan interaktif tatkala dibuka kesempatan tanya jawab. Beberapa peserta ada yang masih merasa penasaran dan ingin memperoleh penjelasan lebih lanjut terkait dengan materi tentang optimalisasi peran guru dalam layanan Konseling, dan relevansi penggunaan reinforcement negatif (hukuman) dalam rangka pendisiplinan siswa di sekolah.
Tentunya saya berharap, semoga saja apa yang telah disampaikan dalam pelatihan ini dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik di SMA Negeri 1 Garawangi guna kepentingan efektivitas pendidikan di SMA Negeri 1 Garawangi.
Sebagai Pengawas Sekolah bidang Bimbingan dan Konseling maupun sebagai pribadi, maka sudah sepatutnya jika saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tinginya atas komitmen dan kepedulian SMA Negeri 1 Garawangi untuk memajukan peran dan fungsi Konseling di sekolah.
DI bawah ini tautan materi yang disampaikan pada kegiatan IHT di SMA Negeri 1 Garawangi Kabupaten Kuningan
Konseling di Sekolah: Konsep dan Praktik
G. INSTRUMEN BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Alat Ungkap Masalah
Diterbitkan Januari 12, 2008
Salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru bimbingan dan konseling (konselor) adalah memahami konseli secara mendalam, termasuk didalamnya adalah memahami kemungkinan-kemungkinan masalah yang dihadapi konseli. Melalui pemahaman yang adekuat tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli, seorang konselor selanjutnya dapat menentukan program layanan bimbingan dan konseling, baik yang bersifat preventif, pengembangan maupun kuratif, sehingga pada gilirannya diharapkan upaya pemberian layanan dapat berjalan lebih efektifTentunya banyak cara untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh konseli dan salah satunya dapat dilakukan melalui penggunaan Alat Ungkap Masalah atau biasa disebut AUM. Alat Ungkap Masalah adalah sebuah instrumen standar yang dikembangkan oleh Prayitno, dkk. yang dapat digunakan dalam rangka memahami dan memperkirakan (bukan memastikan) masalah-masalah yang dihadapi konseli. Alat Ungkap Masalah ini didesain untuk mengungkap 10 bidang masalah yang mungkin dihadapi konseli, Kesepuluh bidang masalah tersebut mencakup: (1) Jasmani dan Kesehatan (JDK); (2) Diri Pribadi (DPI); (3) Hubungan Sosial (HSO); (4) Ekonomi dan Keuangan (EKD); (5) Karier dan Pekerjaan (KDP); (6) Pendidikan dan Pelajaran (PDP); (7) Agama, Nilai dan Moral (ANM); ( Hubungan Muda Mudi (HMM); (9) Keadaan dan Hubungan dalam Keluarga (KHK); dan (10) Waktu Senggang (WSG). Jumlah keseluruhan item sebanyak 225.
Untuk kepentingan analisis data, telah disediakan software Aplikasi Program Alat Ungkap Masalah dalam bentuk data base. Melalui analisis data berbasis komputer ini, kita dapat mengakses informasi tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli secara individual maupun secara kelompok dengan cepat, mudah dan akurat. Tentunya, setelah dilakukan input data terlebih dahulu.
Sayangnya, Aplikasi Program yang sebagus ini belum bisa dibagikan secara gratis kepada para guru bimbingan dan konseling (konselor) dan jika Anda ingin menggunakannya, Anda harus memesannya kepada penyedia alat tersebut (vendor). Alat ini dilindungi password yang menurut hemat penulis cenderung “over protection”, karena kesempatan yang diberikan untuk menginstall ke komputer Anda hanya tiga kali, selanjutnya software ini tidak bisa digunakan lagi atau Anda harus menghubungi penyedia yang bersangkutan. Kecuali kalau Anda orang yang memang sangat paham tentang seluk beluk Aplikasi Program Komputer mungkin Anda bisa membongkar password dan pembatasan aplikasi tersebut. Kendati demikian, di beberapa sekolah telah berhasil memanfaatkan teknologi yang satu ini guna menunjang kelancaran, efektivitas dan efisiensi layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Tautan di bawah ini berisi tentang contoh Lembar Jawaban dan Daftar Masalah dari Alat Ungkap Masalah (AUM) untuk Siswa SMA. Anda dapat men-download materi tersebut, dan jangan lupa berikan komentar Anda !
Alat Ungkap Masalah Siswa SMA Klik Disini !
Inventori Tugas Perkembangan
Diterbitkan Februari 4, 2008
Manusia sepanjang hidupnya selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut berlangsung dalam beberapa tahap yang saling berkaitan. Gangguan pada salah satu tahap dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan secara keseluruhan.
Untuk mengidentifikasi masalah perkembangan, diperlukan pengukuran kuantitatif tentang tingkat-perkembangan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan peserta didik adalah ITP (Inventori Tugas Perkembangan) yang dikembangkan oleh Sunaryo, dkk. Dengan alat ITP, Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) dapat memahami tingkat perkembangan individu maupun kelompok, mengidentifikasi masalah yang menghambat perkembangan dan membantu peserta didik yang bermasalah dalam menyelesaikan tugas perkembangannya.
Berdasarkan hasil pengukuran ini, dapat disusun program bimbingan yang memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara wajar, utuh dan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
ITP mengukur tujuh tingkat perkembangan dan sebelas aspek perkembangan individu, merentang dari mulai usia tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Usia Perguruan Tinggi, dengan menggunakan kerangka pemikiran dari Loevenger.
Ketujuh tingkat perkembangan individu tersebut adalah :
1. Impulsif, dengan ciri-ciri : (a) identitas diri terpisah dari orang lain; (b) bergantung pada lingkungan; (c) beorientasi hari ini; dan (d) individu tidak menempatkan diri sebagai penyebab perilaku.
2. Perlindungan Diri, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari berhubungan dengan orang lain; (b) mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik; (c) berfikir tidak logis dan stereotip; (d) melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”; dan (e) cenderung menyalahkan dan mencela orang lain.
3. Konformistik, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap penampilan diri; (b) berfikir sterotip dan klise; (c) peduli akan aturan eksternal; (d) bertindak dengan motif dangkal; (e) menyamakan diri dalam ekspresi emosi; (f) kurang introspeksi; (f) perbedaan kelompok didasarkan ciri-ciri eksternal; (g) takut tidak diterima kelompok; (h) tidak sensitif terhadap keindividualan; dan (i) merasa berdosa jika melanggar aturan.
4. Sadar Diri, dengan ciri-ciri: (a) mampu berfikir alternatif; (b) melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi; (c) peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada; (d orientasi pemecahan masalah; (e) memikirkan cara hidup; dan (f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan
5. Seksama, dengan ciri-ciri : (a) bertindak atas dasar nilai internal; (b) Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; (c) mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri; (d) peduli akan hubungan mutualistik; (e) memiliki tujuan jangka panjang; (f) cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial; dan (g) berfikir lebih kompleks dan atas dasar analisis.
6. Individualistik, dengan ciri-ciri : (a) peningkatan kesadaran invidualitas; (b) kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan; (c) menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain; (d) mengenal eksistensi perbedaan individual; (e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan; (f) membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya; (g) mengenal kompleksitas diri; (h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
7. Otonomi; dengan ciri-ciri : (a) memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan; (b) bersikap realistis dan obyektif terhadap diri sendiri maupun orang lain; (c) peduli akan paham abstrak, seperti keadilan sosial.; (d) mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan; (e) peduli akan self fulfillment; (f) ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal; (g) respek terhadap kemandirian orang lain; (h) sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain; dan (i) mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
Sedangkan sebelas aspek perkembangan individu yang diungkap melalui ITP mencakup : (1) landasan hidup religius, (2) landasaan perilaku etis, (3) kematangan emosional, (4) kematangan intelektual, (5) kesadaran tanggung jawab, (6) peran sosial sebagai pria atau wanita, (7) penerimaan diri dan pengembangannya, ( kemandirian perilaku ekonomi, (9) wawasan dan persiapan karir, (10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan (11) persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. ITP untuk SD dan SLTP hanya mengukur 10 aspek, sebab aspek yang ke-11 belum sesuai.
ITP berbentuk angket yang terdiri atas kumpulan pernyataan yang harus dipilih oleh siswa. Setiap soal (kumpulan butir pernyataan) terdiri atas empat butir pernyataan yang mengukur satu sub aspek.
Tingkat perkembangan siswa dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada setiap aspek. Besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat perkembangan siswa (lihat tabel berikut).
Tingkat sekolah dasar (ITP SD):
Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat SLTP (ITP SLTP):
Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan.Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat SLTA (ITP SLTA):
Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat Perguruan Tinggi (ITP PT):
Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Bagaimana cara mengukur konsistensi (keajegan) jawaban siswa?
Pada ITP SD dan ITP SLTP, terdapat 10 butir soal yang diduplikasi, sedang pada ITP SLTA dan ITP PT, terdapat 11 butir soal yang diduplikasi. Hasil duplikasi diletakkan di bagian akhir angket. Setiap soal duplikasi mewakili satu aspek perkembangan. Jawaban siswa dinyatakan konsisten bila jawaban untuk kedua soal itu sama. Semakin tinggi skor konsistensi, semakin tinggi pula tingkat keseriusan siswa menjawab angket.
Proses penyekoran, penghitungan skor konsistensi, dan analisis hasil penyekoran dapat dilakukan secara manual. Namun, untuk jumlah siswa yang besar, cara ini akan memakan waktu, menimbulkan banyak kesalahan dan sangat membosankan.
Analisis Tugas Perkembangan
Analisis Tugas Perkembangan adalah perangkat lunak yang khusus dibuat untuk membantu anda mengolah ITP. Dengan ATP, identifikasi perkembangan siswa dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan menyenangkan.
ATP menyediakan berbagai fasilitas untuk memudahkan Anda dalam melakukan analisis terhadap perkembangan peserta didik. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain:
Pengolahan data mentah secara cepat. Pada komputer pentium 400 hanya dibutuhkan waktu satu detik untuk mengolah data 100 orang peserta.Analisis kelompok, yang terdiri atas: profil kelompok, grafik distribusi frekuensi untuk setiap aspek, grafik distribusi frekuensi konsistensi, delapan butir tertinggi dan terendah.Analisis per individu, yang terdiri atas: profil individual, distribusi frekuensi nilai, delapan butir tertinggi dan terendah untuk individu tersebut.
Visualisasi hasil pengolahan skor dalam bentuk grafik akan memudahkan dan mempercepat Anda dalam analisis.
Manajemen data, terdiri atas pengelompokan siswa berdasarkan kriteria tertentu, dan penggabungan kelompok.
Expor hasil pengolahan data ke Microsoft Excel®.
Impor data dari file Microsoft Excel.
Multi window, beberapa window bisa dibuka sekaligus untuk membandingkan hasil pengolahan.
Sumber :
Sunaryo, dkk . Manual Guide ATP Versi 3.5
Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 12, 2008
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
Landasan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 25, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Abstrak :
Agar dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan dan memberikan manfaat bagi kehidupan, maka layanan bimbingan dan konseling perlu dibangun di atas landasan yang kokoh, dengan mencakup: (1) landasan filosofis, (2) landasan psikologis; (3) landasan sosial-budaya, dan (4) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, selain berpijak pada keempat landasan tersebut juga perlu berlandaskan pada aspek pedagogis, religius dan yuridis-formal. Untuk terhidar dari berbagai penyimpangan dalam praktek layanan bimbingan dan konseling, setiap konselor mutlak perlu memahami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai pijakan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
Kata kunci : bimbingan dan konseling, landasan filosofis, landasan psikologis; landasan sosial-budaya, landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
A. Pendahuluan
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien). .
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya..
Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling.
B. Landasan Bimbingan dan Konseling
Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun landasan pendidikan secara umum.
Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
• Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
• Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
• Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
• Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
• Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
• Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
• Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan ( Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
• Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
• Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
• Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
• Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
• Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
• Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas landasan yang kokoh.
Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Sumber Bacaan :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung
.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK SMP, SMA dan SMK
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas
.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta
.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Tujuan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir.
1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:
• Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
• Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
• Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
• Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
• Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
• Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
• Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
• Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :
• Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
• Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
• Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
• Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
• Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
• Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.
3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :
• Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
• Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
• Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
• Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
• Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
• Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
• Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
• Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.
• Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU
Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :
1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
9. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli
Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
Bidang Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
• Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
• Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
• Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
• Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.
Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
Dalam rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:
Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
Layanan Informasi; layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
• Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
• Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan
• Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
• Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
• Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup :
• Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan.
• Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
• Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
• Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien.
• Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.
Konsep Bimbingan Karier
Diterbitkan Februari 7, 2008
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Konsep bimbingan jabatan lahir bersamaan dengan konsep bimbingan di Amerika Serikat pada awal abad keduapuluh, yang dilatari oleh berbagai kondisi obyektif pada waktu itu (1850-1900), diantaranya : (1) keadaan ekonomi; (2) keadaan sosial, seperti urbanisasi; (3) kondisi ideologis, seperti adanya kegelisahan untuk membentuk kembali dan menyebarkan pemikiran tentang kemampuan seseorang dalam rangka meningkatkan kemampuan diri dan statusnya; dan (4) perkembangan ilmu (scientific), khususnya dalam bidang ilmu psiko-fisik dan psikologi eksperimantal yang dipelopori oleh Freechner, Helmotz dan Wundt, psikometrik yang dikembangkan oleh Cattel, Binnet dan yang lainnya Atas desakan kondisi tersebut, maka muncullah gerakan bimbingan jabatan (vocational guidance) yang tersebar ke seluruh negara (Crites, 1981 dalam Bahrul Falah, 1987).
Isitilah vocational guidance pertama kali dipopulerkan oleh Frank Pearson pada tahun 1908 ketika ia berhasil membentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk membantu anak-anak muda dalam memperoleh pekerjaan.
Pada awalnya penggunaan istilah vocational guidance lebih merujuk pada usaha membantu individu dalam memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk didalamnya berupaya mempersiapkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki suatu pekerjaan. Namun sejak tahun 1951, para ahli mengadakan perubahan pendekatan dari model okupasional (occupational) ke model karier (career). Kedua model ini memliki perbedaan yang cukup mendasar, terutama dalam landasan individu untuk memilih jabatan. Pada model okupasional lebih menekankan pada kesesuaian antara bakat dengan tuntutan dan persyaratan pekerjaan. Sedangkan pada model karier, tidak hanya sekedar memberikan penekanan tentang pilihan pekerjaan, namun mencoba pula menghubungkannya dengan konsep perkembangan dan tujuan-tujuan yang lebih jauh sehingga nilai-nilai pribadi, konsep diri, rencana-rencana pribadi dan semacamnya mulai turut dipertimbangkan.
Bimbingan karier tidak hanya sekedar memberikan respon kepada masalah-masalah yang muncul, akan tetapi juga membantu memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaan.
Penggunaan istilah karier didalamnya terkandung makna pekerjaan dan sebatan sekaligus rangkaian kegiatan dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Hattari (1983) menyebutkan bahwa istilah bimbingan karier mengandung konsep yang lebih luas. Bimbingan jabatan menekankan pada keputusan yang menentukan pekerjaan tertentu sedangkan bimbingan karier menitikberatkan pada perencanaan kehidupan seseorang dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dengan lingkungannya agar ia memperoleh pandangan yang lebih luas tentang pengaruh dari segala peranan positif yang layak dilaksanakannya dalam masyarakat.
Perubahan isitilah dari bimbingan jabatan (vocational guidance) ke bimbingan karier mengandung konsekuensi terhadap peran dan tugas konselor dalam memberikan layanan bimbingan terhadap para siswanya. Peran dan tugas konselor tidak hanya sekedar membimbing siswa dalam menentukan pilihan-pilihan kariernya, tetapi dituntut pula untuk membimbing siswa agar dapat memahami diri dan lingkungannya dalam rangka perencanaan karier dan penetapan karier pada kehidupan masa mendatang.
Dalam perkembangannya, sejalan dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dewasa ini, bimbingan karier merupakan salah satu bidang bimbingan yang telah berhasil mempelopori pemanfaatan teknologi informasi, dalam bentuk cyber counseling.
Sementara itu, dalam perspektif pendidikan nasional, pentingnya bimbingan karier sudah mulai dirasakan bersamaan dengan lahirnya gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, berawal dari kebutuhan penjurusan siswa di SMA pada waktu itu. Selanjutnya, pada tahun 1984 bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 1984, bimbingan karier cukup terasa mendominasi dalam layanan bimbingan dan penyuluhan dan pada tahun 1994, bersamaan dengan perubahan nama bimbingan penyuluhan menjadi bimbingan dan konseling dalam Kurikulum 1994, bimbingan karier ditempatkan sebagai salah bidang bimbingan.
Sampai dengan sekarang ini bimbingan karier tetap masih merupakan salah satu bidang bimbingan. Dalam konsteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, dengan diintegrasikannya Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dalam kurikulum sekolah, maka peranan bimbingan karier sungguh menjadi amat penting, khususnya dalam upaya membantu siswa dalam memperoleh kecakapan vokasional (vocational skill), yang merupakan salah jenis kecakapan dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education).
Terkait dengan penjabaran kompetensi dan materi layanan bimbingan dan konseling di SMTA, bidang bimbingan karier diarahkan untuk :
1. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karier yang hendak dikembangkan.
2. Pemantapan orientasi dan informasi karier pada umumnya dan karier yang hendak dikembangkan pada khususnya.
3. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SMTA.
5. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karier yang hendak dikembangkan.
6. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan; pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (instansi, perusahaan, industri) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan. (Muslihudin, dkk, 2004)
Sumber :
Bahrul Falah. 1987. Konstribusi Orientasi Nilai Pekerjaan dan Informasi Karier terhadap Kematangan Karier (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.
Hattari. 1983. Ke Arah Pengertian Bimbingan Karier dengan Pendekatan Developmental. Jakarta : BP3K.
Muslihudin, dkk. 2004. Bimbingan dan Konseling (Makalah). Bandung : LPMP Jawa Barat.
Informasi Karier
Diterbitkan Februari 4, 2008
Oleh : AKHMAD SUDRAJAT, M.Pd.
Layanan informasi marupakan salah satu jenis layanan dalam bimbingan konseling di sekolah yang amat penting guna membantu siswa agar dapat terhindar dari berbagai masalah yang dapat mengganggu terhadap pencapaian perkembangan siswa, baik yang berhubungan dengan diri pribadi, sosial, belajar ataupun kariernya., Melalui layanan informasi diharapkan para siswa dapat menerima dan memahami berbagai informasi, yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan siswa itu sendiri.
Seorang siswa dalam kehidupannya akan dihadapkan dengan sejumlah alternatif, baik yang berhubungan kehidupan pribadi, sosial, belajar maupun kariernya. Namun, adakalanya siswa mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dalam menentukan alternatif mana yang seyogyanya dipilih. Salah satunya adalah kesulitan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan rencana-rencana karier yang akan dipilihnya kelak. Mereka dihadapkan dengan sejumlah pilihan dan permasalahan tentang rencana kariernya. Diantaranya, mereka mempertanyakan, dari sejumlah jenis pekerjaan yang ada, pekerjaan apa yang paling cocok untuk saya kelak setelah menamatkan pendidikan ?
Kesulitan-kesulitan untuk mengambil keputusan karier akan dapat dihindari manakala siswa memiliki sejumlah informasi yang memadai tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia kariernya. Untuk itulah, mereka seyogyanya dapat dibimbing guna memperoleh pemahaman yang memadai tentang berbagai kondisi dan karakteristik dirinya, baik tentang bakat, minat, cita-cita, berbagai kekuatan serta kelemahan yang ada dalam dirinya. Dalam hal ini, tentunya tidak cukup hanya sekedar memahami diri. Namun juga harus disertai dengan pemahaman akan kondisi yang ada dilingkungannya, seperti kondisi sosio-kultural, pasar kerja, persyaratan, jenis dan prospek pekerjaan, serta hal-hal lainnya yang bertautan dengan dunia kerja. Sehingga pada gilirannya siswa dapat mengambil keputusan yang terbaik tentang kepastian rencana karier yang akan ditempuhnya kelak.
Dalam memberikan layanan informasi karier setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu tentang : (1) materi informasi dan (2) teknik layanan informasi.
Materi Informasi.
Dalam era informasi dewasa ini sesungguhnya kemudahan untuk memperoleh informasi sangat terbuka, baik melalui media cetak atau eleltronik. Terutama setelah adanya kemajuan yang menakjubkan dalam bidang teknologi komputer multi media, maka dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat kita dapat mengakses ribuan bahkan jutaan jenis informasi melalui internet. Namun, karena begitu banyak dan beragamnya jenis informasi yang dapat diakses, sehingga tidak mustahil dapat menimbulkan kekacauan informasi. Untuk itulah, dalam upaya pemberian layanan informasi seyogyanya dibutuhkan sikap arif dan selektif dari konselor dalam memilih berbagai materi informasi, yang sekiranya benar-benar dapat memberikan manfaat besar bagi siswa.
Materi informasi yang diberikan kepada siswa hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan siswa, sehingga benar-benar dapat dirasakan lebih bermanfaat dan memiliki makna (meaningful). Pemilihan dan penetuan jenis materi informasi yang tidak didasarkan kepada kebutuhan dan masalah siswa akan cenderung tidak memiliki daya tarik, sehingga siswa akan menjadi kurang partisipatif dan kooperatif dalam mengikuti kegiatan layanan. Materi informasi yang lengkap dan akurat akan sangat membantu siswa untuk lebih tepat dalam mempertimbangkan dan memutuskan pilihan kariernya.
Beberapa jenis materi informasi tentang karier yang mungkin dibutuhkan siswa, diantaranya:
• Tugas perkembangan masa remaja tentang kemampuan dan perkembangan karier.
• Perkembangan dan prospek karier di masyarakat.
• Kursus-kursus dalam rangka pengembangan karier.
• Langkah-langkah dalam memasuki pekerjaan, jenis pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan.
• Syarat-syarat pekerjaan yang dapat dimasuki setelah tamat SMA.
• Kemungkinan permasalahan dalam pilihan pekerjaan, karier, dan tuntutan pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Di samping itu, materi informasi yang bersifat personal, seperti bakat, ciri-ciri kepribadian atau minat pekerjaan perlu dikuasai oleh siswa.
Hanya perlu dipertimbangkan jika memang sekolah sudah dapat menyelenggarakan pemeriksaan psikologis/tes psikologis, maka penyampaian materi hasil-hasil pemeriksaan psikologis harus benar-benar dilaksanakan secara cermat dan di bawah pengawasan konselor. Karena, biasanya data hasil pemeriksaan psikologis dideskripsikan dalam bahasa/terminologis tertentu, yang tentunya tidak semua siswa dapat memaknainya sendiri. Data-data personal ini memang perlu dipahami dan dimaknai oleh siswa, karena dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri, seperti kecerdasan, bakat, ciri-ciri kepribadian, atau minat pekerjaannya, siswa akan dapat lebih akurat lagi dalam mengambil keputusan kariernya, sesuai dengan karakterisitik diri yang dimikinya.
Teknik Layanan Informasi
Disamping konselor dituntut untuk banyak memahami berbagai informasi yang akan dibutuhkansiswa, juga seyogyanya dapat menguasai berbagai teknik penyampaiannya secara variatif dan menyenangkan. Tanpa didukung kekayaan informasi dan keterampilan penyampaian, layanan informasi dikhawatirkan menjadi tidak memiliki daya tarik di hadapan siswa.
Penyampaian informasi bisa dilakukan oleh konselor itu sendiri melalui teknik ekspositorik. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara meminta bantuan dari pihak lain sebagai nara sumber, misalkan dengan mengundang “tokoh karier”. Upaya pemanfatan nara sumber memiliki keunggulan tersendiri, yakni informasi yang diberikan cenderung bersifat nyata, berdasarkan hasil pengalamannya.
Selain itu, dapat dilakukan pula melalui media “papan bimbingan”, yakni dengan menyediakan papan informasi untuk menempelkan berbagai bentuk tulisan yang mengandung nilai informasi. Untuk itu, konselor dituntut secara kreatif untuk dapat mengoleksi berbagai tulisan, keterangan, artikel, atau klipping yang berhubungan dengan karier.
Jika mengacu pada teori kontruktivisme yang saat ini sedang dikembangkan. Penggunaan teknik layanan informasi seyogyanya lebih mengedepankan aktivitas dan partisipasi siswa dalam menentukan kebutuhan, menggali dan mengolah serta menarik kesimpulan dari informasi yang diperolehnya. Misalkan, untuk memahami tentang kondisi nyata kehidupan di suatu perusahaan, dapat dilakukan dengan cara siswa diajak langsung untuk berkunjung dan melakukan pengamatan ke perusahaan tertentu. Dari hasil kunjungan, siswa akan memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan, dalam rangka menambah wawasan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan kariernya, sekaligus dapat membangun dan mengembangkan sikap-sikap positif dan konstruktif terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja dibutuhkan sosiabilitas yang tinggi dari konselor untuk dapat menjalin hubungan secara luas dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk memfasilitasi siswa dalam proses penggalian informasi.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sumber informasi saat ini dapat dengan mudah diakses melalui teknologi komputer multi media, maka dalam hal ini tidak salahnya konselor untuk belajar menguasai teknologi internet untuk menjelajah situs-situs yang menyediakan informasi yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier.
Dengan mengenal situs-situs yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier, maka di samping konselor dapat memperoleh berbagai tambahan informasi untuk dirinya, juga dapat menunjukkannya kepada siswa, agar siswa dapat belajar secara langsung menjelajah dan menggali berbagai informasi karier yang tersedia dalam internet.
Sumber bacaan :
Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK
Depdikbud (1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV;
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Jakarta : IPBI
Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Guru Pembimbing SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
15 Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Diterbitkan April 11, 2008
Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.
5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.
Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.
Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli.
11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.
Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.
13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.
Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.
Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Diterbitkan April 20, 2008
Beberapa bulan yang lalu saya pernah menulis tentang layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang merujuk pada Pola 17+ sebagai panduan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Setelah saya mengikuti pelatihan Bimbingan dan Konseling di Bandung yang diselenggarakan oleh ABKIN, dan saya memperoleh informasi tentang rencana perubahan kebijakan baru layanan Bimbingan dan Konseling yang disebut-sebut sebagai layanan Bimbingan dan Konseling Komprehensif, akhirnya saya memutuskan untuk men-delete postingan saya tersebut, dengan harapan akan segera muncul kebijakan baru tersebut.
Tunggu punya tunggu ternyata kebijakan baru itu tidak segera muncul juga. Dari pada menunggu kebijakan yang tidak pasti akhirnya saya posting ulang tulisan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah beserta contoh pengadmintrasiannya.
Silahkan klik saja tautan di bawah ini:
1. Bimbingan dan Konseling di Sekolah
2. Pengadministrasian Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Rekonseptualisasi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 21, 2008
Selama empat hari (11-14 Desember 2007) penulis mengikuti pelatihan ‘Keterampilan Manajemen Bimbingan dan Konseling“, bertempat di Cikole Lembang Bandung, yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB-ABKIN) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas.Selama mengikuti pelatihan, penulis menerima berbagai materi dan penjelasan dari para nara sumber seputar penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah yang tampaknya akan menjadi cikal bakal untuk lahirnya kebijakan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Dalam tulisan sebelumnya di situs ini, penulis pernah menyampaikan keprihatinan atas ketidakpastian dalam penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling selama ini, seperti : ketidakjelasan dalam sertifikasi guru bimbingan dan konseling, standar kompetensi konselor, Standar Kompetensi Lulusan atau sekarang dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), dan hal-hal lainnya tentang praktik Bimbingan dan Konseling.(lihat 1, 2 3)
Beberapa pertanyaan yang berkecamuk dalam benak penulis dan mungkin juga para guru Bimbingan dan Konseling di lapangan tentang bagaimana seharusnya Bimbingan dan Konseling di sekolah, melalui kegiatan pelatihan ini sebagian besar terjawab sudah. Hanya mungkin ada beberapa persoalan teknis yang belum bisa terjawab dan perlu ada tindaklanjut tertentu.
Ketika membuka kegiatan pelatihan, Prof. Dr. Sunaryo, M.Pd. selaku ketua PB- ABKIN, dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam satu tahun terakhir ini, ABKIN telah bekerja secara intensif untuk mencari formulasi terbaik tentang bagaimana seharusnya penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum terakomodir dengan baik.
Hasil kerja keras ABKIN dalam satu tahun terakhir ini telah menghasilkan draft Naskah Akademik berupa “Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal“, yang sekarang sedang dikaji oleh pihak yang kompeten untuk dijadikan sebagai kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Hal yang cukup mengagetkan penulis, bahwa ke depannya Bimbingan dan Konseling di Indonesia tidak lagi bersandar pada Konsep Pola 17 yang selama ini digunakan dalam praktik bimbingan dan konseling di sekolah, tetapi justru akan lebih mengembangkan model bimbingan dan konseling yang komprehensif dan berorientasi pada perkembangan, yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling, yaitu :
1. Layanan Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Tujuan layanan ini adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, memperoleh keterampilan hidup, yang dapat dilakukan melalui strategi layanan klasikal dan strategi layanan kelompok.
2. Layanan Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera”. Tujuan layanan ini adalah membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya yang dapat dilakukan melalui strategi layanan konsultasi, konseling individual, konseling kelompok, referal dan bimbingan teman sebaya.
3. Layanan Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, merencanakan, atau mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi penilaian individual, penasihatan individual atau kelompok.
4. Layanan dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan masyarakat dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan.
Jika kita perhatikan komponen-komponen program di atas, tampaknya ada upaya dari ABKIN untuk mengelaborasi konsep bimbingan dan konseling sebelumnya, baik dalam Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, mau pun Kurikulum 1994. Selain itu, keempat komponen program bimbingan dan konseling di atas tampaknya menggunakan rujukan model penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini sedang dikembangkan di Amerika Serikat. Perbedaannya, untuk komponen layanan dasar di Amerika cenderung menggunakan istilah guidance curriculum.
Untuk lebih jelasnya, dalam tautan-tautan di bawah ini disajikan sebagian materi yang disampaikan oleh para nara sumber dalam bentuk tayangan slide dan pdf file :
Sertifikasi Guru Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)
Program Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)
Supervisi Bimbingan dan Konseling (dari: Drs. Agus Taufiq, M.Pd.)
Draft Standar Kompetensi Konselor (dari: ABKIN)
Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Bimbingan dan Konseling
Arah dan Perspektif Baru Bimbingan dan Konseling (dari: Prof. Dr. Syamsu Yusuf L.N., M.Pd. dan Dr. A. Juntika Nurihsan)
Rubrik Sertifikasi Guru BK
Diterbitkan Februari 6, 2008
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :
1. Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.
2. Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling
Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-aspek penilaian meliputi :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
• Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)
• Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
• Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)
7. Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.
Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.
Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
Rubrik Penilaian Portofolio Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)
B. PROSEDUR, PROSES DAN TEKNIK BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Prosedur Umum Layanan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Mei 31, 2008
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut
A. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
B. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; ( hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
C. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
D. Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus - kasus yang dihadapi.
E. Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
F. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
3. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:
1. Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
7. Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
8. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
9. Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
10. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
11. Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
12. Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
Sumber:
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
Proses Layanan Konseling Individual
Diterbitkan Januari 26, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus
Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan).
A. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
• Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
• Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.
• Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.
• Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi : (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
B. Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja.
Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
• Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya.
• Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.
• Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.
Hal ini bisa terjadi jika :
• Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
• Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.
• Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.
C. Akhir (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
• Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.
• Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
• Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
• Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien; (2) perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3) pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.
Pendekatan dan Teknik Konseling
Diterbitkan Januari 12, 2008
Pekerjaan konseling pada dasarnya merupakan pekerjaan profesional dan dalam melaksanakan tugas - tugas profesionalnya, seorang konselor perlu memiliki pemahaman dan keterampilan yang memadai dalam menggunakan berbagai pendekatan dan teknik dalam konseling.Tanpa didukung oleh penguasaan penguasaan teknik-teknik konseling yang memadai, niscaya bantuan yang diberikan kepada siswa (klien) tidak akan berjalan efektif. Dalam bentuk tayangan slide, Dr. DYP Sugiharto, M.Pd mengupas tentang berbagai pendekatan dan teknik konseling, diantaranya : pendekatan dan teknik konseling behaviorisme, gestalt, psikoanaliss, rational emotive therapy (RET), dan trait and factor.Anda ingin memahami lebih jauh tentang materi ini dengan cara meng-klik tautan di bawah ini dan tentunya komentar Anda sangat dinantikan.
Pendekatan dan Teknik Konseling Klik Disini !
Pendekatan Konseling Behavioral
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Konselor aktif :
1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak
2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Deskripsi langkah-langkah konseling :
1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
• Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
• Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
• Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
Teknik-teknik Konseling Behavioral
Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Gestalt
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Pendekatan konseling ini berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu koordinasi semua bagian tersebut.
Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan dan integrasi pemikiran, pera-saan, dan tingkah lakunya
Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi, memiliki dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini adalah : (1) tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya, (2) merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya itu, (3) aktor bukan reaktor, (4) berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya, (5) dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab, (6) mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.
Dalam hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan ini memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa sekarang.
Dalam pendekatan ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang dan kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan.
Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan. Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan di bawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Individu bermasalah kaena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi.
Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self).
Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis
Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan datang
Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi
Spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi :
Kepribadian kaku (rigid)
Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin tetap tergantung
Menolak berhubungan dengan lingkungan
Memeliharan unfinished bussiness
Menolak kebutuhan diri sendiri
Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih” .
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan hidupnya.
Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.
Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut.
Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya
Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself)
Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.
D. Deskripsi Proses Konseling
Fokus utama konseling gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan klien sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong klien untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar klien mau belajar menggunakan perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua alternatif, ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.
Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak, keinginan-keinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat.
Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri sendiri. Dalam hal ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi dari ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri. Usaha ini dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan klien.
Pada saat klien mengalami gejala kesesatan dan klien menyatakan kekalahannya terhadap lingkungan dengan cara mengungkapkan kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau gila, maka tugas konselor adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau menghadapi ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.
Deskripsi fase-fase proses konseling :
Fase pertama, konselor mengembangkan pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang diciptakan untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang harus dipecahkan.
Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan klien untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada dua hal yang dilakukan konselor dalam fase ini, yaitu :
Membangkitkan motivasi klien, dalam hal ini klien diberi kesempatan untuk menyadari ketidaksenangannya atau ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap ketidakpuasannya semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.
Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien dan menekankan kepada klien bahwa klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara bertanggung jawab.
Fase ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat ini, klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang klien diperbolahkan memproyeksikan dirinya kepada konselor.
Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek kepribadian yang hilang, dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.
Fase keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling.
Pada fase ini klien menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.
Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya dan tingkah lakunya.
Dalam situasi ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan” diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.
Teknik Konseling
Hubungan personal antara konselor dengan klien merupakan inti yang perlu diciptakan dan dikembangkan dalam proses konseling. Dalam kaitan itu, teknik-teknik yang dilaksanakan selama proses konseling berlangsung adalah merupakan alat yang penting untuk membantu klien memperoleh kesadaran secara penuh.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Gestal
Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya.
Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi masa lalu atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini bukan berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan keadaan sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya “mengapa”.
Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali dirinya: (a) klien mempergunakan kata ganti personal
klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan; (b)klien mengambil peran dan tanggung jawab; (c) klien menyadari bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada diri atau tingkah lakunya
Teknik-teknik Konseling Gestalt
Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya : (a) kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak; (b) kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh; (c) kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”
kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung; (d) kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
Latihan Saya Bertanggung Jawab
Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Misalnya :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”.
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.
Bermain Proyeksi
Proyeksi artinya memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain.Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya.
Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.
Teknik Pembalikan
Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.
Tetap dengan Perasaan
Teknik dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Rasional Emotif
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
C. Tujuan Konseling
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, ( penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
D. Deskripsi Proses Konseling
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.
Tugas konselor menunjukkan bahwa
• masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak rasional
• usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :
1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
E. Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.
Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Psikoanalisis
Diterbitkan Juli 8, 2008
A. Konsep Dasar
1. Hakikat manusia, Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:
• Anti rasionalisme
• Mendasari tindakannya dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.
• Manusia secara esensial bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan instingtif, sehingga perilaku merupakan fungsi yang di dalam ke arah dorongan tadi. Libido atau eros mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan, sebagai lawan lawan dari Thanatos
• Semua kejadian psikis ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.
• Kesadaran merupakan suatu hal yang tidak biasa dan tidak merupakan proses mental yang berciri biasa.
• Pendekatan ini didasari oleh teori Freud, bahwa kepribadian seseorang mempunyai tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego
C. Tujuan Konseling
• Menolong individu mendapatkan pengertian yang terus menerus dari pada mekanisme penyesuaian diri mereka sendiri
• Membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan jalan mengembalikan hal-hal yang tak disadari menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada pemahaman dan pengenalan pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama usia 2-5 tahun, untuk ditata, disikusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga kepribadian klien bisa direkonstruksi lagi.
D. Deskripsi Proses Konseling
1. Fungsi konselor
• Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis
• Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga klien dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan analisis.
2. Langkah-langkah yang ditempuh :
• Menciptakan hubungan kerja dengan klien
• Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi.
• Tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya
• Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri
• Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.
• Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.
• Menutup wawancara konseling
E. Teknik Konseling
• Asosiasi bebas, yaitu mengupayakan klien untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga klien mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Klien diminta mengutarakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah agar klien mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga katarsis.
• Analisis mimpi, klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesak pun muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
• Interpretasi, yaitu mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
• Analisis resistensi; resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi). Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi
• Analisis transferensi. Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.
Konseling Humanistik
Diterbitkan Juli 14, 2008
A. Konsep Dasar:
1. Memandang manusia sebagai individu yang unik. Manusia merupakan seseorang yang ada, sadar dan waspada akan keberadaannya sendiri. Setiap orang menciptakan tujuannnya sendiri dengan segala kreatifitasnya, menyempurnakan esensi dan fakta eksistensinya.
2. Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
3. Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri
4. Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
B. Asumsi Perilaku Bermasalah
Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan.
C. Tujuan Konseling
1. Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya
2. Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
3. Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
4. Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.
D. Deskripsi Proses Konseling
1. Adanya hubungan yang akrab antara konselor dan konseli.
2. Adanya kebebasan secara penuh bagi individu untuk mengemukakan problem dan apa yang diinginkannya.
3. Konselor berusaha sebaik mungkin menerima sikap dan keluhan serta perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
4. Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri individu dan keyakinan akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang paling menentukan dalam hubungan konseling.
5. Pengenalan tentang keadaan individu sebelumnya beserta lingkungannya sangat diperlukan oleh konselor.
E. Teknik-Teknik Konseling
Teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5) encouragement (memberi dorongan); (5) limited questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan).
Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan menerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarahkan diri; (4) mewujudkan dirinya.
Sumber:
Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Terapi Realitas
Diterbitkan Juli 14, 2008
A. Konsep Dasar
Terapi Realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan.
Terapi Realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun.
Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Adalah William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini. Menurutnya, bahwa tentang hakikat manusia adalah:
1. Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya.
2. Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang individu yang sukses.
3. Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri
B. Ciri-Ciri Terapi Realitas
1. Menolak adanya konsep sakit mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.
2. Berfokus pada perilaku nyata guna mencapai tujuan yang akan datang penuh optimisme.
3. Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman yang berharga.
4. Tidak menegaskan transfer dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor dalam memberikan pertolongan mencarikan alternatif-alternatif yang dapat diwujudkan dalam perilaku nyata dari berbagai problema yang dihadapi oleh konseli .
5. Menekankan aspek kesadaran dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku tentang apa yang harus dikerjakan dan diinginkan oleh konseli . Tanggung jawab dan perilaku nyata yang harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai dan bermakna dan disadarinya.
6. Menghapuskan adanya hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami kegagalan., tetapi yang ada sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang disadari maknanya dan dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.
7. Menekankan konsep tanggung jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain melalui perwujudan perilaku nyata.
C. Tujuan Terapi
1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D. Proses Konseling (Terapi)
Konselor berperan sebagai:
1. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.
2. Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
3. Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
4. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
5. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
Teknik-Teknik dalam Konseling
1. Menggunakan role playing dengan konseli
2. Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks
3. Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
4. Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
5. Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
6. Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya
7. Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.
8. Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.
Sumber:
Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.
Teknik Umum Konseling (1)
Diterbitkan Januari 15, 2008
Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum, diantaranya :
A. Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :
1. Meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik :
• Kepala : melakukan anggukan jika setuju
• Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
• Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
• Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
• Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
• Kepala : kaku
• Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot.
• Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
• Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
• Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
B. Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :
1. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan terbuka.Contoh ungkapan empati primer :” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”. ” Saya dapat memahami pikiran Anda”.” Saya mengerti keinginan Anda”.
2. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi : Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.
C. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :
1. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”
2. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan…”
3. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan suatu…”
D. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
1. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang tersimpan. Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan ….”
2. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien. Contoh : ” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang sekolah sambil bekerja”.
3. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman klien. Contoh :” Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan Anda”
E. Menangkap Pesan (Paraphrasing)
Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau initi ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa demikian ? ”
Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”
F. Pertanyaan Terbuka (Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh : ” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan ? ”
G. Pertanyaan Tertutup (Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3) menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Klien : ”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang selama ini belum pernah saya lakukan”.
Konselor: ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien : ” Empat ”
Konselor: ” Sekarang berapa ? ”
Klien : ” Sebelas ”
H. Dorongan minimal (Minimal Encouragement)
Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan ungkapan : oh…, ya…., lalu…, terus….dan…
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya putus asa… dan saya nyaris… ” (klien menghentikan pembicaraan)
Konselor: ” ya…”
Klien : ” nekad bunuh diri”
Konselor: ” lalu…”
I. Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan biaya.”
Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan meninggalkan SMA”.
J. Mengarahkan (Directing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.
Klien : ” Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan diri. Akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor : ” Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
K. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2) menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu : sikap orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.”
Sumber :
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Teknik Umum Konseling (2)
Diterbitkan Januari 15, 2008
A. Memimpin (leading)
Yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan dalam wawancara konseling sehingga tujuan konseling .
Contoh dialog :
Klien :” Saya mungkin berfikir juga tentang masalah hubungan dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”
Konselor : ” Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka kepedulian Anda juga ?”
B. Fokus
Yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat menentukan apa yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :
” Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis ”.
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
1. Fokus pada diri klien. Contoh : ” Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.
2. Fokus pada orang lain. Contoh : ” Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa yang telah dilakukannya ?”
3. Fokus pada topik. Contoh : ” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ? Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.
4. Fokus mengenai budaya. Contoh: ” Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatas sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi obyek laki-laki.”
C. Konfrontasi
Yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya adalah : (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat; (2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan perilaku attending dan empati.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya baik-baik saja”.(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).”
Konselor :” Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres”. ”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri ”.
D. Menjernihkan (Clarifying)
Yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan agak meragukan. Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis, (2) agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.
Contoh dialog :
Klien : ” Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.”
Konselor : ”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau saudara-saudara Anda.”
E. Memudahkan (facilitating)
Yaitu teknik untuk membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas. Contoh :
” Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”
F. Diam
Teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5 – 10 detik, komunikasi yang terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang berfikir; (2) sevagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; (3) menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien babas bicara.
Contoh dialog :
Klien :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu”
Konselor :”…………..” (diam)
Klien :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor :”…………..” (diam)
G. Mengambil Inisiatif
Teknik ini dilakukan manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang parisipatif. Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika klien lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah pembicaraan.
Contoh:
” Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun masih belum keluar. Coba Anda renungkan kembali”.
G. Memberi Nasehat
Pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam memberi nasehat tetap dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.
Contoh respons konselor terhadap permintaan klien : ” Apakah hal seperti ini pantas saya untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih mengetahuinya dari pada saya.”
H. Pemberian informasi
Sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap diupayakan agar klien mengusahakannya.
Contoh :
” Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com di internet”.
I. Merencanakan
Teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan (action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien.
Contoh :
” Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman hasil pembicaraan kita sejak tadi ”
J. Menyimpulkan
Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3) pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Teknik Khusus Konseling
Diterbitkan Januari 15, 2008
Dalam konseling, di samping menggunakan teknik-teknik umum, dalam hal-hal tertentu dapat menggunakan teknik-teknik khusus. Teknik-teknik khusus ini dikembangkan dari berbagai pendekatan konseling, seperti pendekatan Behaviorisme, Rational Emotive Theraphy, Gestalt dan sebagainya
Di bawah disampaikan beberapa teknik – teknik khusus konseling, yaitu :
1. Latihan Asertif
Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
2. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakekatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
3. Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
4. Pembentukan Perilaku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk Perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
5. Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :
Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak.
Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh.
Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”.
Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung.
Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
6. Latihan Saya Bertanggung Jawab
Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Misalnya :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab atas ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.
7. Bermain Proyeksi
Proyeksi yaitu memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain. Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.
8. Teknik Pembalikan
Gejala-gejala dan perilaku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.
9. Bertahan dengan Perasaan
Teknik ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
10. Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
11. Adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
12. Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
13. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Sumber :
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Studi Kasus dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 31, 2008
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.
Nama & E-mail: Slameto
Saya Dosen di UKSW salatiga
Tanggal: 8 Mei 2002
Judul Artikel: Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD
Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling.
Artikel:
DESKRIPSI KASUS
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli.
2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
3. Kesegaran hasil yang dicapai.
4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.
SUMBER
Aryatmi, S., 1991, Perspektif BK dan Penerapannya di Berbagai Institusi, Satya Wacana Semarang.
Corey G., 1991/1995, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi (terjemahan Mulyarto), IKIP Semarang Pres.
Prayitno, 1998, Konseling Pancawashita, progdi BK PPB, FIP, IKIP Padang
Rosjidan, 1998, Pengantar Teori-teori Konseling, Depdikbud Dirjen PT Proyek P2LPTK, Jakarta
Surya, M., 1988, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta.
Konseling Pecandu Narkoba
Diterbitkan Januari 25, 2008
Konseling Terpadu Pemulihan Pecandu Narkoba
Oleh: Sofyan S. Willis*)
Abstrak : Pemulihan pecandu narkoba pasca pengobatan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dapat ditangani dengan Konseling Terpadu yang terdiri dari Konseling Individual, Konseling Agama, Konseling Keluarga, Konseling Kelompok, Pendidikan dan Pelatihan, Kunjungan, dan Partisipasi Sosial. Semua itu bertujuan agar klien terbebas dari dorongan kecanduan akibat mengkonsumsi narkoba. Pemulihan pecandu narkoba dengan menggunakan Konseling Terpadu itu memungkinkan hasil-hasil sebagai berikut. Tumbuh pada diri klien perasaan percaya diri, tidak menyalahkan pihak luar, mengambil tanggung jawab atas perbuatan sendiri dengan sadar atas resikonya, mendapat penghargaan dari lingkungan sehingga tumbuh motivasi untuk hidup baik, merasa sebagai anggota masyarakat yang beragama, dan akhirnya tumbuh sifat kepemimpinan terhadap diri, keluarga, dan masyarakat dengan moral-religius yang baik. Studi kasus aplikasi Konseling Terpadu terhadap seorang klien pasca RSKO, membuktikan bahwa dengan menjalani konseling selama 3 bulan (April-Juni 2001), klien telah menjadi anggota masyarakat dan bekerja normal pada toko suku cadang mobil di Jakarta.
Kata Kunci: Konseling Terpadu, pecandu narkoba, Pasca RSKO, Pemulihan.
*) Sofyan S. Willis adalah Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP-UPI Bandung
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan narkoba berawal sejak tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen Nung menulis naskah farmasi yang bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great Herbal). Salah satu ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan, malaria, rematik, dan analgesik (Martin, 1977).
Pada tahun 800 SM di India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki, dan segitiga emas (Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun kemudian ditemukan antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis obat (drug) yang saat ini amat populer yaitu marijuana yang berasal dari tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku primitif seperti Aztec dan suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin) menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic seperti marijuana dan sejenisnya untuk upacara-upacara ritual kepercayaannya mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik (Kisker, 1977; Martin, 1977).
Saat ini narkoba telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada abad ke 21.
Bagaimana di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia sudah terkena wabah narkoba yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di Indonesia sudah ada empat juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan, suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800 miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu (curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4) ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995), (2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan S.Willis, 2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah bebas, konsumtif, dan haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK pun menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak berfungsi, sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).
1.2 Tujuan Studi Kasus
Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk melalui kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan bahaya narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan diri kepada Tuhan.
1.3 Kajian Literatur
Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis, Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan pecandu secara berarti setiap tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979). Mengenai hal itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.
“There are still many places in our society where the typical approach to the disease of chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification; institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to destructive drinking”.
Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total (total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2.Metode Penanganan Kasus
Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan program detoxification dari RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
2.1 Konseling Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2.2 Bimbingan Kelompok (BKL)
Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.
2.3 Konseling Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.
2. Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne & Ohlsen, 1982).
3. Selanjutnya, konselor memberi kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi hatinya berupa kata-kata pengakuan jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta penyesalan terhadap masa lalu. Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup masa depan dan diberi kesempatan untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat.
4. Selanjutnya, konselor mengemukakan kepada keluarga tentang program pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya supaya keluarga klien menaruh kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama klien. Selanjutnya, keluarga akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan kasih sayang,.
5. Konselor meminta tanggapan keluarga tentang program tersebut. Di samping itu, diminta juga tanggapan mereka terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga, tanggapan klien terhadap program yang telah disusun konselor, dan juga tanggapan terhadap keluarganya. Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap program yang disusun konselor amat penting supaya semua pihak terutama klien sungguh-sungguh didalam menjalani program pemulihan dirinya.
Secara berturut-turut telah dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan konseling individual, bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam konteks bimbingan dan konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan, serta program partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.
Sumber : http://depdiknas.go.id, Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36.
Perilaku Konselor yang Efektif dan Tidak Efektif
Diterbitkan Juli 10, 2008
Dalam proses konseling, seorang konselor dituntut untuk dapat menunjukkan perilakunya secara efektif, baik perilaku verbal maupun non verbal. Barbara F. Okun (Sofyan S. Willis, 2004) telah mengidentifikasi beberapa perilaku verbal non verbal konselor yang efektif dan tidak efektif sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
1. Perilaku Verbal:
Efektif Tidak efektif
Menggunakan kata-kata yang dapat dipahami klien Memberi nasihat
Memberikan refleksi dan penjelasan terhadap pernyataan klien Terus menerus menggali dan bertanya terutama bertanya “mengapa”
Penafsiran yang baik/sesuai Bersifat menentramkan klien
Membuat kesimpulan-kesimpulan Menyalahkan klien
Merespon pesan utama klien Menilai klien
Memberi dorongan minimal Membujuk klien
Memanggil klien dengan nama panggilan atau “Anda” Menceramahi
Memberi informasi sesuai keadaan Mendesak klien
Menjawab pertanyaan tentang diri konselor Terlalu banyak berbicara mengenai diri sendiri
Menggunakan humor secara tepat tentang pernyataan klien Menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti
Penafsiran yang sesuai dengan situasi Penafsiran yang berlebihan
Sikap merendahkan klien
Sering menuntut/meminta klien
Menyimpang dari topik
Sok intelektual
Analisis yang berlebihan
Selalu mengarahkan klien
2. Perilaku Non Verbal:
Efektif Tidak efektif
Nada suara disesuaikan dengan klien (tenang, sedang) Berbicara terlalu cepat atau terlalu pelan
Memelihara kontak mata yang baik Duduk menjauh dari klien
Sesekali menganggukkan kepala Senyum menyeringai /senyum sinis
Wajah yang bersemangat Menggerakan dahi
Kadang-kadang memberi isyarat tangan Cemberut
Jarak dengan klin relatif dekat Marapatkan mulut
Ucapan tidak terlalu cepa/lambat Menggoyang-goyangkan jari
Duduk agak condong ke arah klien Menguap
Sentuhan (touch) disesuaikan dengan usia klien dan budaya lokal Gerak-gerak isyarat yang mengacaukan
Air muka ramah dan senyum Menutup mata atau mengantuk
Nada suara tidak menyenangkan
Membuang pandangan
Sumber:
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah
Diterbitkan Juli 8, 2008
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :
1. Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
2. Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
3. Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Secara visual, penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.
C. STANDAR KOMPETENSI BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Kompetensi Konselor/Guru BK
Diterbitkan Februari 17, 2008
A. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani
1. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi; (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap permsalahan konseli, dan (f) ersikap demokratis
B. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.
1. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsipprinsip pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan
2. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling pada satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
3. Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan konseling: (a) memahami berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan penelitian bimbingan
dan konseling; (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
4. Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a) mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b) mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja; (e) mengaplikasikan pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.
C. Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan
1. Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan konseli; (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan; (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling; dan (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling.
2. Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a) Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
3. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait; (d) menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan
mengembangkan program bimbingan dan konseling.
4. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami dasar, tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan
sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga administrasi)
5. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a) Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi
bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi.
6. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b) memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai keperluan.
Sumber : ABKIN. 2007. Naskah Akademik Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal
Tulisan yang sama dalam bentuk file Pdf :
Draft Standar Kompetensi Konselor
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SD
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu: (1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Dasar
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH DASAR
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mengenal bentuk-bentuk dan tata cara ibadah sehari-hari Tertarik pada kegiatan ibadah sehari Melakukan bentuk-bentuk ibadah sehari-hari
2 Landasan perilaku etis Mengenal patokan baik-buruk atau benar salah dalam berperilaku Menghargai aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari Mengikuti aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari
3 Kematangan emosi Mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain Memahami perasaan diri sendiri dan orang lain Mengekspresikan perasaan secara wajar
4 Kematangan intelektual Mengenal konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan dan perilaku belajar Menyenangi berbagai aktifitas perilaku belajar Melibatkan diri dalam berbagai aktifitas perilaku belajar
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mengenal hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam lingkungan kehidupan sehari-hari Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam lingkungan kehidupan sehari-hari Berinteraksi dengan orang lain dalam suasana persahabatan
6 Kesadaran gender Mengenal diri sebagai laki-laki atau perempuan Menerima atau menghargai diri sebagai laki-laki atau perempuan Berperilaku sesuai dengan peran sebagai laki-laki atau perempuan
7 Pengembangan diri Mengenal keadaan diri dalam lingkungan dekatnya Menerima keadaan diri sebagai bagian dari lingkungan Menampilkan perilaku sesuai dengan keberadaan diri dalam lingkungannya
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mengenal perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dekatnya Memahami perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dekatnya Menampilkan perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya
9 Wawasan dan kesiapan karier Mengenal ragam pekerjaan dan aktivitas orang dalam kehidupan Menghargai ragam pekerjaan dan aktivitas sebagai hal yang saling bergantung Mengekspresikan ragam pekerjaan dan aktivitas orang dalam lingkungan kehidupan
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mengenal norma-norma dalam berinteraksi dengan teman sebaya Menghargai norma-norma yang dijunjung tinggi dalam menjalin persahabatan dengan teman sebaya Menjalin persahabatan dengan teman sebaya atas dasar norma yang dijunjung tinggi bersama
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTP
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; (8 ) Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu:(1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mengenal arti dan tujuan ibadah Berminat mempelajari arti dan tujuan ibadah Melakukan berbagai kegiatan ibadah dengan kemauan sendiri
2 Landasan perilaku etis Mengenal alasan perlunya mentaati aturan/norma berperilaku Memahami keragaman aturan/patokan dalam berperilaku dalam konteks budaya Bertindak atas pertimbangan diri terhadap norma yang berlaku
3 Kematangan emosi Mengenal cara-cara mengekspresikan perasaan secara wajar Memahami keragaman ekspresi perasaan diri dan perasaan orasaan orang lain Mengekspresikan perasaan atas dasar pertimbangan kontekstual
4 Kematangan intelektual Mempelajari cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah Menyadari adanya resiko dari pengambilan keputusan Mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan resiko yang mungkin terjadi.
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mempelajari cara-cara memperoleh hak dan memenuhi kewajiban dalam lingkungan kehidupan sehari-hari Menghargai nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari Berinteraksi dengan orang lain atas dasar nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan hidup.
6 Kesadaran gender Mengenal peran-peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan Menghargai peranan diri dan orang lain sebagai laki-laki atau perempuan dalam kehidupan sehari-hari Berinteraksi dengan lain jenis secara kolaboratif dalam memerankan peran jenis
7 Pengembangan diri Mengenal kemampuan dan keinginan diri Menerima keadaan diri secara positif Meyakini keunikan diri sebagai aset yang harus dikembangkan secara harmonis dalam kehidupan
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mengenal nilai-nilai perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari manfaat perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari. Membiasakan diri hidup hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari.
9 Wawasan dan kesiapan karier Mengekspresikan ragam pekerjaan, pendidikan dan aktivitas dalam dengan kemampuan diri Menyadari keragaman nilai dan persyaratan dan aktivitas yang menuntut pemenuhan kemampuan tertentu Mengidentifikasi ragam alternatif pekerjaan, pendidikan dan aktifitas yang mengandung relevansi dengn kemampuan diri
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mempelajari norma-norma pergaulan dengan teman sebaya yang beragam latar belakangnya Menyadari keragaman latar belakang teman sebaya yang mendasari pergaulan Bekerja sama dengan teman sebaya yang beragam latar belakangnya
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTA
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu: (1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mempelajari hal ihwal ibadah Mengembangkan pemikiran tentang kehidupan beragama Melaksanakan ibadah atas keyakinan sendiri disertai sikap toleransi
2 Landasan perilaku etis Mengenal keragaman sumber norma yang berlaku di masyaraakat Menghargai Keragaman sumber norma sebagai rujukan pengambilan keputusan Berperilaku atas dasar keputusan yang mempertimbangkan aspek-aspek etis
3 Kematangan emosi Mempelajari cara-cara menghindari konflik dengan orang lain Bersikap toleran terhadap ragam ekspresi perasaan diri sendiri dan orang lain Mengekspresikan perasaan dalam cara-cara yang bebas,terbuka dan tidak menimbulkan konflik
4 Kematangan intelektual Mempelajari cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah secara objektif Menyadari akan keragaman alternatif keputusan dan konsekuensi yang dihadapinya Mengambil keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data secara obyektif
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mempelajari keragaman interaksi sosial Menyadari nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam konteks keragaman interaksi sosial Berinteraksi dengan orang lain atas dasar kesamaan
6 Kesadaran gender Mempelajari perilaku kolaborasi antar jenis dalam ragam kehidupan Menghargai keragaman peraan laki-laki atau perempuan sebagai aset kolaborasi dan keharmonisan hidup Berkolaborasi secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran
7 Pengembangan diri Mempelajari keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial Menerima keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya Menampilkan keunikan diri secara harmonis dalam keragaman
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mempelajari strategi dan peluang untuk berperilaku hemat,ulet, sengguh-sungguh dan kompetitif dalam keragaman kehidupan Menerima nilai-nilai hidup hemat,ulet sungguh-sungguh dan kompetitif sebagai aset untuk mencapai hidup mandiri Menampilkan hidup hemat, ulet, sungguh-sungguh dan kompetitif atas dasar kesadaran sendiri
9 Wawasan dan kesiapan karier Mempelajari kemampuan diri, peluang dan ragam pekerjaan, pendidikan, dan aktifitas yang terfokus pada pengembangan alternatif karir yang lebih terarah Internalisasi nilai-niolai yang melandasi pertimbangan pemilihan alternatif karir Mengembangkan alternatif perencanaan karir dengan mempertimbangkan kemampuan, peluang dan ragam karir
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mempelajari cara-cara membina dan kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman sebaya Menghargai nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai dasar untuk menjalin persahabatan dengan teman sebaya Mempererat jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan norma yang berlaku
11 Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga Mengenal norma-norma pernikahan dan berkeluarga Mengharagai norma-norma pernikahan dan berkeluarga sebagai landasan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis Mengekspresikan keinginannya untuk mempelajari lebih intensif tentang norma pernikahan dan berkeluarga
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi BK di Perguruan Tinggi
Diterbitkan Juni 13, 2008
Meski penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling tidak terkait langsung dengan Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Namun Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) telah menyiapkan pula rumusan Standar Kompetensi Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Perguruan Tinggi
No Aspek Perkembangan Tataran/Internalisasi Tujuan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
1 Landasan hidup religius Mempelajari hal ihwal ibadah Mengembangkan pemikiran tentang kehidupan beragama Melaksanakan ibadah atas keyakinan sendiri disertai sikap toleransi
2 Landasan perilaku etis Mengenal keragaman sumber norma yang berlaku di masyaraakat Menghargai Keragaman sumber norma sebagai rujukan pengambilan keputusan Berperilaku atas dasar keputusan yang mempertimbangkan aspek-aspek etis
3 Kematangan emosi Mempelajari cara-cara menghindari konflik dengan orang lain Bersikap toleran terhadap ragam ekspresi perasaan diri sendiri dan orang lain Mengekspresikan perasaan dalam cara-cara yang bebas,terbuka dan tidak menimbulkan konflik
4 Kematangan intelektual Mempelajari cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah secara objektif Menyadari akan keragaman alternatif keputusan dan konsekuensi yang dihadapinya Mengambil keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data secara obyektif
5 Kesadaran tanggung jawab sosial Mempelajari keragaman interaksi sosial Menyadari nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam konteks keragaman interaksi sosial Berinteraksi dengan orang lain atas dasar kesamaan
6 Kesadaran gender Mempelajari perilaku kolaborasi antar jenis dalam ragam kehidupan Menghargai keragaman peraan laki-laki atau perempuan sebagai aset kolaborasi dan keharmonisan hidup Berkolaborasi secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran
7 Pengembangan diri Mempelajari keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial Menerima keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya Menampilkan keunikan diri secara harmonis dalam keragaman
8 Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis) Mempelajari strategi dan peluang untuk berperilaku hemat,ulet, sengguh-sungguh dan kompetitif dalam keragaman kehidupan Menerima nilai-nilai hidup hemat,ulet sungguh-sungguh dan kompetitif sebagai aset untuk mencapai hidup mandiri Menampilkan hidup hemat, ulet, sungguh-sungguh dan kompetitif atas dasar kesadaran sendiri
9 Wawasan dan kesiapan karier Mempelajari kemampuan diri, peluang dan ragam pekerjaan, pendidikan, dan aktifitas yang terfokus pada pengembangan alternatif karir yang lebih terarah Internalisasi nilai-niolai yang melandasi pertimbangan pemilihan alternatif karir Mengembangkan alternatif perencanaan karir dengan mempertimbangkan kemampuan, peluang dan ragam karir
10 Kematangan hubungan dengan teman sebaya Mempelajari cara-cara membina dan kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman sebaya Menghargai nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai dasar untuk menjalin persahabatan dengan teman sebaya Mempererat jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan norma yang berlaku
11 Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga Mengenal norma-norma pernikahan dan berkeluarga Mengharagai norma-norma pernikahan dan berkeluarga sebagai landasan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis Mengekspresikan keinginannya untuk mempelajari lebih intensif tentang norma pernikahan dan berkeluarga
Simber:
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
D. MANAJEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Program Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
A. Program Bimbingan dan Konseling
Program pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi, dengan substansi program pelayanan mencakup: (1) empat bidang, (2) jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3) format kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan (5) volume/beban tugas konselor.
Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.
Dilihat dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5 (lima) jenis program, yaitu:
1. Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.
2. Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
3. Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
4. Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
5. Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) Bimbingan dan Konseling.
B. Manajemen Bimbingan dan Konseling
Secara keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling mencakup tiga kegiatan utama, yaitu : (1) perencanaan; (2) pelaksanaan, dan (3)penilaian
1. Perencanaan
Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan. Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang merupakan penjabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang masing-masing memuat:: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b) substansi layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan;(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang terlibat; dan (e) waktu dan tempat. Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah.
B. Pelaksanaan Kegiatan
Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan keteladanan.Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.
Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan di dalam dan di luar jam pelajaran, yang diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah.
Pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk: (1) kegiatan tatap muka secara klasikal; dan (2) kegiatan non tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Sedangkan kegiatan non tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.
Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk kegiatan tatap muka maupun non tatap muka dengan peserta didik, untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah. Setiap kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG)..
C. Penilaian Kegiatan
Penilaian kegiatan bimbingan dan konseling terdiri dua jenis yaitu: (1) penilaian hasil; dan (2) penilaian proses. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan melalui:
1. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.
2. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.
3. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didik.
Sedangkan penilaian proses dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.
Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan dalam LAPELPROG Hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.
Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Pengembangan diri sebagaimana dimaksud dalam KTSP merupakan wilayah komplementer antara guru dan konselor. Penjelasan tentang pengembangan diri yang tertulis dalam struktur kurikulum dijelaskan bahwa :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap konseli sesuai dengan kondisi Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir konseli.
Dari penjelasan yang disebutkan itu ada beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, sehingga dapat menghindari kerancuan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
1. Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
2. Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
3. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor (periksa gambar 2).
Telaahan di atas menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan (khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum. Sebagian dari pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebgian dari aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Jika dilakukan telaahan anatomis terhadap posisi bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dapat terlukiskan sebagai berikut (lihat gambar 1).
Gambar 1.
Posisi Bimbingan dan Konseling dan Kurikulum (KTSP)
dalam Jalur Pendidikan Formal
Dapat ditegaskan di sini bahwa KTSP adalah salah satu subsistem pendidikan formal yang harus bersinergi dengan komponen/subsitem lain yaitu manajemen dan bimbingan dan konseling dalam upaya memfasilitasi konseli mencapai perkembangan optimum yang diwujudkan dalam ukuran pencapaian standar kompetensi. Dengan demikian pengembangan diri tidak menggantikan fungsi bimbingan dan konseling melainkan sebagai wilayah komplementer dimana guru dan konselor memberikan kontribusi dalam pengembangan diri konseli.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
BK dan MPMBS
Diterbitkan Februari 10, 2008
Oleh : Drs. Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Salah satu issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling
Bahwa berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.
Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi
1. Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan inovatif.
Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.
Dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional.
Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional.
Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.
Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling.
Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.
Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang mantap dan memadai.
Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada praktek konseling sebelumnya.
Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.
2. Akuntabilitas Kerja Konselor
Pada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas konselor.
Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.
Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.
Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan.
Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik
3. Konselor Sebagai Agen Informasi
Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif, konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.
Hal yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun, konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang berkenaan dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.
Dalam mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin sangat kurang.
Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team work tersebut.
Demikianlah, uraian sederhana yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat adanya, khususnya bagi kemajuan dan peningkatan mutu layanan konseling di sekolah.
Sumber bacaan :
Dedi Suriyadi, Prof. Dr., (2001), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Konselor, Makalah , Jurusan PPB-FIP UPI Bandung-ABKIN Pengda Jawa Barat : Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional (2001) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan, Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,(1994), Kurikulum Sekolah Menengah Umum (SMU), Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Konselor SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Diterbitkan Februari 17, 2008
Bagaimana mengevaluasi program Bimbingan dan Konseling Komprehensif? Norman C. Gysbers and Patricia Henderson dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Comprehensive Guidance and Counseling Program Evaluation: Program + Personnel = Results” mengetengahkan tentang tiga jenis evaluasi kaitannya dengan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Komprehensif. Ketiga jenis evaluasi tersebut adalah : (1) evaluasi personil; (2) evaluasi program; dan (3) evaluasi hasil.
Sementara itu, Victoria Merrill dari University of Phoenix Washington mengetengahkan tentang perubahan peran konselor terkait dengan keberagaman masyarakat atau multikultural. Konselor harus memiliki pengetahuan tentang perbedaan kultural yang individu (konseli) yang dilayaninya.
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut silahkan klik tautan di bawah ini. Tulisan disajikan dalam Bahasa Inggris, yang penulis peroleh dari hasil searching di internet.
1. Comprehensive Guidance and Counseling Program Evaluation
2. Counselors Role in a Changing
Pergeseran Pola Manajemen dan Proses Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Februari 27, 2008
Pola Lama Pola Baru
Manajemen Bimbingan dan Konseling
Menitikberatkan pada siswa yang beresiko/bermasalah Melayani seluruh siswa (guidance for all)
Dilaksanakan karena adanya krisis/masalah Dilaksanakan berdasarkan kurikulum
Pendekatan panggilan (on call) Terjadwal (kalender)
Disampaikan dan dilaksanakan hanya oleh konselor Kolaboratif antara konselor, guru, orang tua dan masyarakat
Dimiliki hanya oleh staf konseling (konselor) Didukung dan dimiliki oleh seluruh komunitas
Mengukur jumlah usaha yang dilakukan Mengukur dampak yang dikaitkan dengan tujuan
Berurusan dengan proses melaksanakan pekerjaan Berurusan dengan pencapain tujuan, sasaran dan hasil
Memfokuskan pada tujuan dan yang dianggap baik Memfokuskan pada pencapaian (accomplisment)
Bekerja untuk memelihara sistem yang ada Responsif dan beradaptasi dengan perubahan
Membicarakan tentang bagaimana bekerja keras Membicarakan tentang efektivitas kerja
Proses Konseling
Bersifat klinis Bersifat pedagogis
Melihat kelemahan klien Melihat potensi klien (siswa)
Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa) Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
Konselor serius Menggembirakan klien (siswa)
Dialog menekan perasaan klien dan klien (siswa) sering tertutup Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
Klien sebagai obyek Klien (siswa) sebagai subyek
Konselor dominan dan bertindak sebagai problem solver Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
Sumber :
Gary L. Spear (tt) Comprehensive School Counseling on line http://www.dpi.wisconsin.gov/sspw/counsl1.html
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
Rubrik Sertifikasi Guru BK
Diterbitkan Februari 6, 2008
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :
1. Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.
2. Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling
Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-aspek penilaian meliputi :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
• Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)
• Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
• Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)
7. Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.
Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.
Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
Rubrik Penilaian Portofolio Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)
Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor
Diterbitkan Februari 3, 2008
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksnakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan antara konselor dengan guru, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal)
Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru pada saat pembelajaran dirujuk kepada konselor untuk penanganannya. Demikian pula, masalah-masalah peserta didik yang ditangani konselor terkait dengan proses pembelajaran bidang studi dirujuk kepada guru untuk menindaklanjutinya.
Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini berarti dalam pengembangan dan proses pembelajaran fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru. Sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian konselor.
Selengkapnya, keunikan dan keterkaitan pelayanan pembelajaran oleh guru dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh konselor dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Dimensi Guru Konselor
1. Wilayah Gerak Khususnya Sistem Pendidikan Formal Khususnya Sistem Pendidikan Formal
2. Tujuan Umum Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
3. Konteks Tugas Pembelajaran yang mendidik melalui mata pelajaran dengan skenario guru-murid Pelayanan yang memandirikan dengan skenario konseli-konselor
Fokus Kegiatan Pengembangan kemampuan penguasaan bidang studi dan masalah-masalahnya Pengembangan potensi diri bidang pribadi, sosial, belajar, karier, dan masalah-masalahnya
Hubungan Kerja Alih tangan (referal) Alih tangan (referal)
4. Target Intervensi
Individual Minim Utama
Kelompok Pilihan Strategis Pilihan Strategis
Klasikal Utama Minim
5. Ekspektasi Kinerja
Ukuran Keberhasilan Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan
Lebih Bersifat Kuantitaif Kemandirian dalam kehidupan
Lebih bersifat kualitatif yang unsur-unsurnya saling terkait
Pendekatan Umum Pemanfaatan Instructional Effects & Nurturant Effects melalui pembelajaran yang mendidik Pengenalan diri dan lingkungan oleh konseli dalam rangka pengentasan masalah pribadi, sosial, belajar dan karier. Skenario tindakan merupakan hasil transaksi yang merupakan keputusan konseli
Perencanaan tindak intervensi Kebutuhan belajar ditetapkan terlebih dahulu untuk ditawarkan kepada peserta didik Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional oleh konseli, difasilitasi oleh konselor
Pelaksanaan tindak intervensi Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkretik peserta didik yang lebih terstruktur Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkretik konseli dalam transaksi makna yang lebih lentur dan terbuka
Sumber : Dirjen PMPTK, 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akdemik). Jakarta
F. OPINI TENTANG BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Guru BK tak Perlu Beri Solusi
Diterbitkan Februari 17, 2008
Guru bimbingan dan konseling (BK) harus mampu membantu siswa memecahkan masalahnya sendiri. Guru BK tidak perlu memberikan solusi atas masalah para siswa tapi menjadi pendengar yang baik dan memberikan arahan-arahan.
Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis, M.Pd., mengatakan hal itu kepada ”PR” di sela-sela lokakarya “Konselor Sekolah” di SMAN 5 Bandung, Jl. Belitung, Menurut dia, solusi yang diberikan guru malah belum tentu menjadi yang terbaik untuk para siswa. “Tidak ada yang dipecahkan pembimbing. Siswa harus memecahkannya sendiri atas bantuan guru,” ujarnya.
Staf pengajar pada program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia itu mengatakan, guru BK bisa saja memberikan usulan tapi tidak dalam bentuk nasihat. “Alternatif bisa diusulkan guru, tapi siswa tetap yang harus memikirkan. Yang baik, alternatif juga dari dia (siswa-red),” ungkapnya.
Selain terlalu sering memberikan nasihat, katanya, ada beberapa hambatan lain yang membuat guru BK tidak berfungsi dengan baik di sekolah. Terutama, citra yang telanjur melekat pada guru BK sebagai polisi sekolah.
Menurut dia, kantor BK di sekolah bahkan telah dianggap sebagai tempat pesakitan. Padahal, guru BK harus memberikan konseling kepada seluruh siswa, bukan yang memiliki masalah saja. Karenanya, hubungan konseling harus dijaga supaya selalu baik sehingga siswa bisa percaya pada guru BK secara personal.
Hambatan lain adalah banyaknya guru BK yang tidak mampu mengelompokkan masalah yang diungkapkan siswa. Saat melakukan konseling, siswa sering berbicara banyak hal sehingga guru tidak cepat menangkap pokok masalahnya. Karenanya, konseling harus berlangsung secara berkesinambungan.
Supaya konseling cukup efektif, jumlah guru BK di setiap sekolah harus memadai. Menurut Sofyan, satu guru BK sebanding dengan 150 siswa.
Berkaitan dengan peran sekolah, ia mengungkapkan, semua guru — terutama guru BK — harus melakukan pendekatan secara bijak dan personal kepada siswa. Guru pun harus mampu mengajar sambil membimbing para siswa.
Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/07/0702.htm
Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai
Diterbitkan Februari 7, 2008
Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), menulis sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20 dengan judul tulisan “Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”. Isi tulisan kiranya dapat disarikan sebagai berikut :
Bahwa tugas seorang konselor adalah menyelenggarakan layanan kemanusiaan pada kawasan layanan yang bertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengembilan keputusan tentang pendidikan, pilihan dan pemeliharaan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum.melalui pendidikan. Makna melalui pendidikan mengandung penekanan keharusan sinergi antara guru dan konselor.
Seorang konselor sebagai pengampu layanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik, menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman serta mengedepankan kemaslahatan pengguna layanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindakan layanannya itu terhadap pengguna layanan, dan selalu menyadari batas kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya sebagai seorang profesional. Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan berbasis nilai, layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselot tidak boleh memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk menemukan makna nilai kehidupannya.
Dengan karakteristik keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerjanya, seorang konselor dipersyaratkan memiliki kompetensi : (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani; (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling; (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan; (4) mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5) yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
Berkenann dengan komponen Pengembangan Diri dalam KTSP, Sunaryo mengingatkan untuk tidak menyeret layanan bimbingan dan konseling ke arah pembelajaran seperti bidang studi. Menurutnya, bahwa Pengembangan Diri dalam KTSP merupakan wilayah kerja semua pendidik di sekolah dan bukan hanya wilayah kerja konselor. Misalnya, pengembangan bakat dan minat peserta didik lebih banyak merupakan tugas guru bidang studi karena akan menyangkut substansi yang terkait dengan bakat anak. Konselor akan berperan membantu peserta didik untuk memahami bakat dan minat yang ada pada dirinya., misalnya melalui asesmen psikologis, dan memilih alternatif pengembangan yang paling mungkin bagi dirinya, baik terkait dengan pendidikan maupun karier. Selebihnya adalah tugas guru untuk membantu peserta didik mengembangkan bakatnya, baik melalui kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Tidak mungkin seorang konselor mengajarkan subtansi yang yang terkait dengan pengembangan bakat dan minat peserta didik.
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak bisa digantikan dengan komponen pengembangan diri, melainkan tetap sebagai sebuah layanan utuh yang berorientasi kepada upaya memfasilitasi kemandirian peserta didik.
Jika acuan guru bidang studi adalah pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL), acuan konselor adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) yang basisnya adalah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai peserta didik dalam perkembangan moral, akademik, pribadi-sosial, dan karier. SKK ini sesungguhnya yang harus dirumuskan oleh konselor dan setiap satuan pendidikan sebagai dasar pengembangan program layanan bimbingan dan konseling.
Pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling merentang mulai dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada jenjang TK dan SD layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh Roving Counselor (Konselor Kunjung) untuk membantu guru menyusun Program BK yang terpadu dengan proses pembelajaran dan mengatasi perilaku yang mengganggu, melalui direct behavioral consultation.
Pada jenjang SMP dan SMA layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan olehkonselor untuk memfasilitasi peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi peserta didik secara optimal dan salah satunya adalah kemandirian dalam mengambil keputusan perencanaan pendidikan dan karier.
Pada jenjang SMP dan SMA, layanan Bimbingan dan Konseling untuk semakin mengokohkan pilihan dan pengembangan karier sejalan dengan bidang vokasi yang menjadi pilihannya.. Bimbingan Karier (soft skill) dan Bimbingan Vokasional (hard skill) harus dikembangkan secara sinergis, berkolaborasi dengan guru bidang vokasional.
Pada jenjang Perguruan Tinggi layanan Bimbingan dan Konseling dimaksudkan untuk semakin memantapkan karier yang sebisa mungkin yang paling cocok, baik dengan rekam jejak pendidikan mahasiswa maupun kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang produktif, sejahtera, serta berguna untuk manusia lain.
Selain itu, dikemukakan pula tentang layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus dan anak berbakat. layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus layanan Bimbingan dan Konseling lebih ditekankan pada upaya pengembangan kecakapan hidup sehari-hari (daily living activities), merupakan intervensi tidak langsung yang lebih terfokus upaya mengembangkan lingkungan perkembangan yang akan melibatkan banyak pihak, terutama guru pendidikan khusus. Sedangkan layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berbakat, pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya sama dengan pelayanan umum lainnya. Dalam hal ini, konselor berperan dalam asesmen keberbakatan dan memilih alternatif pengembangan keberbakatan, yang tidak hanya dalam pengertian intelektual saja tetapi juga keberbakatan lainnya, seperti dalam olah raga, seni dan sebagainya
Atas semua itu, saat ini Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) dengan dukungan Ditjen Dikti, Ditjen PMPTK, BSNP, Dijen Dikdasmen sedang merumuskan standar kompetensi konselor, pendidikan profesional konselor dan penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk di dalamnya pengembangan Standar Kompetensi Kelulusan (SKK) sebagai rambu-rambu bagi konselor.
Sumber : Sunayo Kartadinata.“Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”.Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20
Penulis dan Bimbingan & Konseling
Diterbitkan Februari 4, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Pertama kali mengenal konseling tatkala penulis masih duduk di bangku SMP, sekitar 32 tahun yang lalu. Sebagai siswa yang sedang memasuki masa remaja awal, pada waktu itu penulis merasakan betul gejolak keremajaan, yang mengakibatkan penulis “terpaksa” harus berurusan dengan guru BP (panggilan untuk konselor pada waktu itu). Pada saat diwawancarai atau mungkin diinterogasi, rasa takut sempat menyelimuti diri penulis, karena kebetulan Guru BP-nya merupakan sosok yang sangat berwibawa dan ditakuti oleh para siswa. Setelah keluar dari ruangan BP, dalam hati saya berjanji tidak akan berusaha untuk melanggar peraturan sekolah lagi, karena takut dan malu jika harus berurusan lagi dengan Guru BP.
Empat tahun kemudian, pada saat akan mengakhiri studi di SMA, lagi-lagi penulis terpaksa harus berurusan dengan Guru BP. Namun jauh berbeda dengan apa yang dialami ketika masih di SMP, sosok guru BP yang penulis hadapi merupakan sosok yang lembut dan penuh perhatian, walaupun pada saat itu penulis merupakan “orang yang bermasalah”. Kesan manis dan simpatik yang ditampilkannya membuat penulis sering melakukan kontak dengan guru BP tersebut bahkan dia pun banyak bercerita tentang apa itu BP dan bagaimana untuk menjadi guru BP.
Setelah menamatkan pendidikan di SMA dan gagal menempuh ujian masuk perguruan tinggi yang tergabung Proyek Perintis I, penulis mengambil alternatif lain untuk mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi melalui Proyek Perintis IV, salah satu perguruan tinggi yang bergabung di dalamnya adalah IKIP Bandung (sekarang berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia).
Pada saat harus mengisi formulir pendaftaran, penulis sempat mengalami kesulitan untuk menentukan jurusan apa yang hendak ditempuh. Ketika membaca buku panduan pengisian formulir, di sana tertera ada satu jurusan yang bernama Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB), kemudian penulis bertanya sambil bercerita tentang guru BP yang pernah penulis alami di SMA kepada kakak penulis yang mengantar penulis,– yang juga kebetulan sebagai mahasiswa pada salah satu jurusan di IKIP Bandung,- singkatnya pertanyaan itu, apakah jurusan PPB itu akan menghasilkan guru seperti guru BP yang pernah saya hadapi ketika di SMA. Jawaban singkatnya, ya seperti itulah ! Maka tidak panjang lebar lagi, penulis langsung mengisi formulir pendaftaran dengan mencantumkan jurusan PPB sebagai satu-satunya yang penulis pilih. Walaupun diberikan kesempatan untuk memilih dua pilihan, penulis hanya memilih satu jurusan saja. Akhirnya, penulis pun lulus testing dan diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan PPB-FIP IKIP Bandung.
Rupanya pertemuan dan komunikasi yang menyenangkan dengan guru BP pada saat di SMA telah mempengaruhi keyakinan dan pola pikir penulis, sehingga akhirnya penulis pun memutuskan untuk menempuh pendidikan pada jurusan yang sama dengan Guru BP penulis pada saat di SMA. (kalau tidak salah guru BP tersebut bernama Bapak Sa’i Dayari, mudah-mudahan beliau sempat membaca tulisan ini dan penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala bimbingannya).
Selanjutnya, penulis menggeluti perkuliahan tentang bimbingan dan penyuluhan dan pada satu kesempatan mengikuti perkuliahan, penulis bertanya kepada salah seorang dosen tentang realita bimbingan dan penyuluhan pada saat itu, pertanyaannya seputar citra dan persepsi bimbingan dan penyuluhan yang dianggap sebagai lembaga yang “mengerikan” dan mungkin sangat dibenci oleh siswa. Beliau memberikan analisis panjang lebar, yang diakhiri dengan amanat beliau bahwa tugas penulislah (dan juga mahasiswa yang lainnya) untuk meluruskan semua itu, jika penulis kelak menjadi guru BP.
Pada akhirnya penulis pun lulus sebagai Sarjana Pendidikan dengan keahlian dalam bidang Bimbingan dan Penyuluhan. Hanya selang satu tahun setelah lulus, penulis lulus testing diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bekasi dan bertugas sebagai Guru BP.
Pada awal menjadi Guru BP, Kurikulum BP yang sedang dikembangkan adalah Kurikulum 1984, yang tampaknya masih berorientasi pada konseling terapeutik (kuratif). Sehingga dalam mengimplementasikan layanan BP pun masih banyak diwarnai oleh pendekatan yang bersifat terapeutik (kuratif). Pada kurikulum 1984 ada upaya untuk menekankan Bimbingan Karier sebagai substansi Bimbingan dan Penyuluhan. Di lapangan ternyata banyak yang keliru dalam menafsirkannya seolah-olah Bimbingan Karier merupakan bidang yang terpisah dari Bimbingan dan Penyuluhan, sehingga orang sering menyebutnya sebagai BP/BK. Lima tahun kemudian penulis pindah tugas ke salah satu SMA Negeri di Kabupaten Kuningan, tempat kelahiran penulis. Semasa bertugas menjadi guru BP di sana, sempat terjadi perubahan kurikulum yaitu Kurikulum 1994. Salah satu perubahan yang terjadi adalah perubahan nama Bimbingan dan Penyuluhan menjadi Bimbingan dan Konseling. Bersamaan itu pula mulai diperkenalkan sebutan Guru Pembimbing (sebutan resmi untuk petugas bimbingan dan konseling), menggantikan sebutan Guru BP, namun ada juga yang menyebutnya Guru BK. Dalam mengimplementasikan Kurikulum 1994, dikembangkan konsep Pola 17 sebagai kerangka kerja Bimbingan dan Konseling. Pada Kurikulum 1994 ini telah meletakkan dasar untuk mengembangkan konseling dengan paradigma pencegahan dan pengembangan. Sehingga dalam mengimplementasikan layanan Bimbingan dan Koseling tidak harus difokuskan untuk selalu “mengejar-ngejar kasus” semata. Suka dan duka menyertai perjalanan penulis selama menjadi Guru BP/Guru Pembimbing. Rasa suka dan bahagia muncul tatkala penulis berhasil membantu para siswa untuk bisa menjalani kehidupannya lebih baik. Terlebih jika ada orang tua yang sengaja datang ke sekolah hanya untuk sekedar menyampaikan rasa terima kasih atas hasil bimbingan yang telah dilakukan terhadap putera-puterinya.. Sebaliknya, rasa sedih dan duka muncul ketika penulis gagal memberikan bantuan kepada siswa yang terpaksa harus tidak naik kelas atau dikeluarkan gara-gara melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Perdebatan dan adu argumentasi dengan rekan-rekan kerja seringkali terjadi tatkala dalam rapat kenaikan kelas atau pelulusan harus mengambil keputusan untuk menentukan nasib siswa yang berada pada jurang “degradasi”. Upaya advokasi yang dilakukan memang seringkali menimbulkan kontraversi dengan rekan-rekan kerja, tapi itulah resiko jabatan yang harus dijalani.Begitu juga, rasa nelangsa dan prihatin muncul ketika guru-guru mata pelajaran menerima tunjangan Kelebihan Jam Mengajar, sedangkan guru pembimbing terpaksa harus gigit jari. Walaupun pada akhirnya penulis bersama dengan rekan-rekan guru pembimbing lainnya berhasil meyakinkan sekolah bahwa guru pembimbing pun berhak atas tunjangan Kelebihan Jam Mengajar.Perjalanan selama lima belas tahun menjadi guru pembimbing telah memberikan pengalaman dan kebanggaan tersendiri bagi penulis, sampai akhirnya pada tahun 2002 penulis beralih tugas menjadi pengawas sekolah dengan basis bimbingan dan konseling. Sambil menjalankan tugas-tugas kepengawasan, penulis semenjak tahun 2003 diberi kepercayaan untuk menjadi Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan untuk mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan (Perkembangan Peserta Didik) – yang di dalamnya memberi kajian akademik tentang bimbingan dan konseling–
Selama menjalani profesi kepengawasan, terjadi lompatan besar dalam upaya mereformasi pendidikan nasional. Pada tahun 2003, dengan hadirnya Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 mulai diperkenalkan isitilah konselor untuk sebutan resmi petugas bimbingan dan konseling. Tahun 2004 muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang kemudian pada tahun 2006 direvisi dengan hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Hanya sangat disesalkan, di tengah-tengah gelegar reformasi pendidikan dan pembelajaran tersebut, ternyata suara tentang bimbingan dan konseling semakin sayup-sayup dan nyaris tak terdengar. Sehingga penulis dan juga rekan-rekan konselor di lapangan seperti kehilangan pegangan dan arah untuk menyikapi berbagai perubahan yang terjadi.
Untuk menyiasati keadaan dan berbagai persoalan yang menghinggapi profesi konseling saat ini, akhirnya sampailah pada satu pemikiran untuk membuat situs ini, dengan harapan dapat dijadikan sebagai media komunikasi secara virtual, khususnya dengan seluruh rekan-rekan konselor dimana pun berada dan juga masyarakat lainnya, untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, sehingga profesi konseling tetap bisa memberikan manfaat bagi kehidupan dan kemajuan pendidikan kita.
Perjalanan Jauh Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi
Diterbitkan Februari 6, 2008
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Kehadiran layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang cukup panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu, bersamaan dengan munculnya kebutuhan akan penjurusan di.SMA pada saat itu. Selama perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian nama, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan sekarang. Akhir-akhir ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski secara formal istilah ini belum digunakan.
Bersamaan dengan perubahan nama tersebut, didalamnya terkandung berbagai usaha perubahan untuk memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi. Kendati demikian harus diakui bahwa untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang dapat memberikan manfaat banyak, hingga saat ini tampaknya masih perlu kerja keras dari semua pihak yang terlibat dengan profesi konseling.
Dalam tataran teoritis, teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya dan bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam pembelajaran untuk mata pelajaran - mata pelajaran di sekolah. Perkembangan teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling, baik yang bersumber dari penelitian maupun hasil pemikiran kritis para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun sepertinya tersimpan rapih dalam gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para konselor di lapangan. Di sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan melalui penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang sepenuhnya sehingga kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi bimbingan dan konseling.
Kendala terbesar yang dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum dirasakan oleh masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan lama, konseling sebagai “polisi sekolah“pun hingga kini masih melekat kuat pada sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut pandangan penulis, setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap laju perkembangan profesi konseling di Indonesia , yaitu :
1. Kelangkaan Tenaga Konselor
Tenaga konselor yang berlatar bimbingan dan konseling memang masih belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Selama ini masih banyak sekolah yang menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling tanpa didukung oleh tenaga konselor profesional dalam jumlah yang memadai. Sehingga, tenaga konseling terpaksa banyak direkrut dari nonkonseling, yang mungkin hanya dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang konseling, yang tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja bimbingan dan konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga.
Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply. Tingkat produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan penghasil tenaga konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya relatif tidak merata. Contoh kasus, di beberapa daerah ketika melakukan rekrutment untuk tenaga konselor dalam testing Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata tidak terisi, bukan dikarenakan tidak ada peminatnya, tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi ini merupakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah mampu menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya kebutuhan tenaga konselor di daerahnya.
Oleh karena itu, ke depannya perlu dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pencetak tenaga konselor untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan memperhitungkan segi kuantitas, kualitas dan distribusinya., sehingga kelangkaan tenaga konselor dapat segera diatasi.
2. Kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap profesi konseling
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri.
Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya. Walaupun dalam hal ini mungkin akan terjadi tawar-menawar yang cukup alot di dalamnya, tetapi keputusan yang terbaik demi kemajuan profesi bimbingan dan konseling tetap harus segeradiambil. !
Dengan teratasinya kelangkaan tenaga konselor dan keberhasilan upaya pemerintah dalam menata profesi bimbingan dan konseling, niscaya pada gilirannya akan memberikan dampak bagi perkembangan konseling ke depannya, sehingga profesi konseling bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah profesi yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan kemajuan negeri ini. Jika tidak, maka profesi bimbingan dan konseling tetap saja dalam posisi termarjinalkan.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. Pengawas Satuan Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU.
Seminar BK di Universitas Kuningan
Diterbitkan Maret 8, 2008
Jika tidak ada aral melintang pada hari Selasa, 11 Maret 2008 Universitas Kuningan (UNIKU) bekerja sama dengan Pengurus Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) Cabang Kabupaten Kuningan hendak menyelenggarakan Seminar Sehari Bimbingan dan Konseling, mengusung tema ” Arah Baru Kebijakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia“, dengan menghadirkan pembicara Dr. Uman Suherman, M.Pd. pakar Bimbingan dan Konseling dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Tujuan seminar ini adalah untuk memberikan pencerahan kepada para guru BK/Konselor di Kabupaten Kuningan tentang “Arah dan Perspektif Bimbingan dan Konseling di Indonesia” yang saat ini sedang digodok oleh ABKIN dan pihak yang berwenang lainnya untuk menjadi kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Indonesia. Seminar ini juga merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat dan kepedulian Universitas Kuningan terhadap profesi Bimbingan dan Konseling. Peserta tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis dan disediakan Seminar Kit oleh panitia
Kepada pihak-pihak yang telah menerima undangan, mari kita hadiri acara langka ini untuk kepentingan penambahan wawasan kita.
Tips Advokasi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 6, 2008
Pekerjaan bimbingan dan konseling kerapkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang justru memiliki kepentingan dengan bimbingan dan konseling itu sendiri, Misalnya, oleh siswa, guru mata pelajaran, kepala sekolah, para pemegang kebijakan lainnya atau masyarakat. Tidak sedikit mereka yang beranggapan bahwa konselor atau guru BK di sekolah hanya makan gaji buta, tidak jelas kerjanya, atau hanya dianggap sebagai pekerjaan embel-embel saja.
Ungkapan-ungkapan miring semacam itu bisa ditepis jika saja konselor atau guru BK yang bersangkutan dapat menunjukkan kinerjanya sekaligus mampu melakukan advokasi di hadapan mitra-mitra kerjanya di sekolah.
Di bawah ini beberapa tips untuk melakukan advokasi sekaligus untuk meyakinkan berbagai pihak yang berkepentingan dengan bimbingan dan konseling di sekolah.
1. Pada saat sedang mengikuti rapat, Anda minta waktu untuk berbicara dan pembicaraan Anda difokuskan pada hasil-hasil siswa bukan memaparkan apa yang telah dilakukan konselor. Yang dimaksud dengan hasil – hasil siswa adalah berbagai kemajuan yang dicapai siswa melalui intervensi bimbingan dan konseling, baik dalam bidang akademik, sosio-personal, maupun bidang karier.
2. Dukung pembicaraan Anda dengan data-data, karena data akan lebih berbunyi keras dari pada kata-kata (data speak louder than words), gunakan chart atau grafik untuk menggambarkan hasil-hasil siswa tersebut.
3. Untuk lebih meyakinkan bisa saja Anda memanfaatkan siswa untuk berbicara dalam forum mewakili kepentingan Bimbingan dan Konseling atau konselor, dengan menceritakan kisah sukses (success story) mereka atas bantuan layanan bimbingan dan konseling yang telah diterimanya.
4. Program bimbingan dan konseling pada dasarnya merupakan investasi siswa di sekolah tersebut, oleh karena itu konselor dituntut dapat menunjukkan pengembalian investasi tersebut dalam bentuk hasil-hasil siswa tersebut
5. Bertindak layaknya seorang ”politisi” yang aktif melakukan berbagai lobby dan berkomunikasi dengan seluruh mitra kerja yang ada sehingga kepentingan bimbingan dan konseling dapat terwakili dalam setiap keputusan atau kebijakan di sekolah.
6. Ciptakan akuntabilitas kerja melalui laporan hasil bimbingan dan konseling, baik laporan harian, bulanan, atau tahunan.
In House Trainning di SMA N 1 Garawangi
Diterbitkan Juli 21, 2008
Hari Sabtu lalu (18-07-2008), saya diundang untuk menjadi pemateri dalam acara In House Trainning yang diselenggarakan SMA Negeri 1 Garawangi Kabupaten Kuningan. Berdasarkan informasi dari Kepala Sekolah setempat, Bapak Drs. H. Rachmat Setiawan, M.M.Pd. bahwa kegiatan pelatihan semacam ini memang telah menjadi agenda rutin setiap akan memasuki tahun pelajaran baru dan diikuti oleh seluruh unsur guru dan staf tata laksana. Tema pelatihan kali ini adalah “ Upaya terrealisasinya Aplikasi Manajemen Pembelajaran bagi Pencapaian Mutu Pendidikan” dan pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaikan materi tentang Layanan Konseling di Sekolah. Untuk itu, saya memilih topik pembicaraan: “Layanan Konseling: Konsep dan Pratik”, dengan harapan para peserta dapat memahami: (1) konsep dasar layanan konseling di sekolah; (2) peran guru dalam layanan konseling di sekolah; dan (3) aplikasi konsep konseling dalam PBM. Materi yang disajikan merupakan kombinasi antara perspektif kebijakan dan keilmuan (teoritis).
Dalam jadwal resmi, sebetulnya saya hanya disediakan waktu 75 menit, namun karena enthusias dan partisipasi peserta yang tinggi, maka atas seijin panitia setempat, penyajian materi diperpanjang hingga hampir 120 menit. Penyajian semakin berkembang dan interaktif tatkala dibuka kesempatan tanya jawab. Beberapa peserta ada yang masih merasa penasaran dan ingin memperoleh penjelasan lebih lanjut terkait dengan materi tentang optimalisasi peran guru dalam layanan Konseling, dan relevansi penggunaan reinforcement negatif (hukuman) dalam rangka pendisiplinan siswa di sekolah.
Tentunya saya berharap, semoga saja apa yang telah disampaikan dalam pelatihan ini dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik di SMA Negeri 1 Garawangi guna kepentingan efektivitas pendidikan di SMA Negeri 1 Garawangi.
Sebagai Pengawas Sekolah bidang Bimbingan dan Konseling maupun sebagai pribadi, maka sudah sepatutnya jika saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tinginya atas komitmen dan kepedulian SMA Negeri 1 Garawangi untuk memajukan peran dan fungsi Konseling di sekolah.
DI bawah ini tautan materi yang disampaikan pada kegiatan IHT di SMA Negeri 1 Garawangi Kabupaten Kuningan
Konseling di Sekolah: Konsep dan Praktik
G. INSTRUMEN BIMBINGAN DAN KONSELING
________________________________________
Alat Ungkap Masalah
Diterbitkan Januari 12, 2008
Salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru bimbingan dan konseling (konselor) adalah memahami konseli secara mendalam, termasuk didalamnya adalah memahami kemungkinan-kemungkinan masalah yang dihadapi konseli. Melalui pemahaman yang adekuat tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli, seorang konselor selanjutnya dapat menentukan program layanan bimbingan dan konseling, baik yang bersifat preventif, pengembangan maupun kuratif, sehingga pada gilirannya diharapkan upaya pemberian layanan dapat berjalan lebih efektifTentunya banyak cara untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh konseli dan salah satunya dapat dilakukan melalui penggunaan Alat Ungkap Masalah atau biasa disebut AUM. Alat Ungkap Masalah adalah sebuah instrumen standar yang dikembangkan oleh Prayitno, dkk. yang dapat digunakan dalam rangka memahami dan memperkirakan (bukan memastikan) masalah-masalah yang dihadapi konseli. Alat Ungkap Masalah ini didesain untuk mengungkap 10 bidang masalah yang mungkin dihadapi konseli, Kesepuluh bidang masalah tersebut mencakup: (1) Jasmani dan Kesehatan (JDK); (2) Diri Pribadi (DPI); (3) Hubungan Sosial (HSO); (4) Ekonomi dan Keuangan (EKD); (5) Karier dan Pekerjaan (KDP); (6) Pendidikan dan Pelajaran (PDP); (7) Agama, Nilai dan Moral (ANM); ( Hubungan Muda Mudi (HMM); (9) Keadaan dan Hubungan dalam Keluarga (KHK); dan (10) Waktu Senggang (WSG). Jumlah keseluruhan item sebanyak 225.
Untuk kepentingan analisis data, telah disediakan software Aplikasi Program Alat Ungkap Masalah dalam bentuk data base. Melalui analisis data berbasis komputer ini, kita dapat mengakses informasi tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli secara individual maupun secara kelompok dengan cepat, mudah dan akurat. Tentunya, setelah dilakukan input data terlebih dahulu.
Sayangnya, Aplikasi Program yang sebagus ini belum bisa dibagikan secara gratis kepada para guru bimbingan dan konseling (konselor) dan jika Anda ingin menggunakannya, Anda harus memesannya kepada penyedia alat tersebut (vendor). Alat ini dilindungi password yang menurut hemat penulis cenderung “over protection”, karena kesempatan yang diberikan untuk menginstall ke komputer Anda hanya tiga kali, selanjutnya software ini tidak bisa digunakan lagi atau Anda harus menghubungi penyedia yang bersangkutan. Kecuali kalau Anda orang yang memang sangat paham tentang seluk beluk Aplikasi Program Komputer mungkin Anda bisa membongkar password dan pembatasan aplikasi tersebut. Kendati demikian, di beberapa sekolah telah berhasil memanfaatkan teknologi yang satu ini guna menunjang kelancaran, efektivitas dan efisiensi layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Tautan di bawah ini berisi tentang contoh Lembar Jawaban dan Daftar Masalah dari Alat Ungkap Masalah (AUM) untuk Siswa SMA. Anda dapat men-download materi tersebut, dan jangan lupa berikan komentar Anda !
Alat Ungkap Masalah Siswa SMA Klik Disini !
Inventori Tugas Perkembangan
Diterbitkan Februari 4, 2008
Manusia sepanjang hidupnya selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut berlangsung dalam beberapa tahap yang saling berkaitan. Gangguan pada salah satu tahap dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan secara keseluruhan.
Untuk mengidentifikasi masalah perkembangan, diperlukan pengukuran kuantitatif tentang tingkat-perkembangan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan peserta didik adalah ITP (Inventori Tugas Perkembangan) yang dikembangkan oleh Sunaryo, dkk. Dengan alat ITP, Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) dapat memahami tingkat perkembangan individu maupun kelompok, mengidentifikasi masalah yang menghambat perkembangan dan membantu peserta didik yang bermasalah dalam menyelesaikan tugas perkembangannya.
Berdasarkan hasil pengukuran ini, dapat disusun program bimbingan yang memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara wajar, utuh dan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
ITP mengukur tujuh tingkat perkembangan dan sebelas aspek perkembangan individu, merentang dari mulai usia tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Usia Perguruan Tinggi, dengan menggunakan kerangka pemikiran dari Loevenger.
Ketujuh tingkat perkembangan individu tersebut adalah :
1. Impulsif, dengan ciri-ciri : (a) identitas diri terpisah dari orang lain; (b) bergantung pada lingkungan; (c) beorientasi hari ini; dan (d) individu tidak menempatkan diri sebagai penyebab perilaku.
2. Perlindungan Diri, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari berhubungan dengan orang lain; (b) mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik; (c) berfikir tidak logis dan stereotip; (d) melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”; dan (e) cenderung menyalahkan dan mencela orang lain.
3. Konformistik, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap penampilan diri; (b) berfikir sterotip dan klise; (c) peduli akan aturan eksternal; (d) bertindak dengan motif dangkal; (e) menyamakan diri dalam ekspresi emosi; (f) kurang introspeksi; (f) perbedaan kelompok didasarkan ciri-ciri eksternal; (g) takut tidak diterima kelompok; (h) tidak sensitif terhadap keindividualan; dan (i) merasa berdosa jika melanggar aturan.
4. Sadar Diri, dengan ciri-ciri: (a) mampu berfikir alternatif; (b) melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi; (c) peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada; (d orientasi pemecahan masalah; (e) memikirkan cara hidup; dan (f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan
5. Seksama, dengan ciri-ciri : (a) bertindak atas dasar nilai internal; (b) Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; (c) mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri; (d) peduli akan hubungan mutualistik; (e) memiliki tujuan jangka panjang; (f) cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial; dan (g) berfikir lebih kompleks dan atas dasar analisis.
6. Individualistik, dengan ciri-ciri : (a) peningkatan kesadaran invidualitas; (b) kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan; (c) menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain; (d) mengenal eksistensi perbedaan individual; (e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan; (f) membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya; (g) mengenal kompleksitas diri; (h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
7. Otonomi; dengan ciri-ciri : (a) memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan; (b) bersikap realistis dan obyektif terhadap diri sendiri maupun orang lain; (c) peduli akan paham abstrak, seperti keadilan sosial.; (d) mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan; (e) peduli akan self fulfillment; (f) ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal; (g) respek terhadap kemandirian orang lain; (h) sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain; dan (i) mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
Sedangkan sebelas aspek perkembangan individu yang diungkap melalui ITP mencakup : (1) landasan hidup religius, (2) landasaan perilaku etis, (3) kematangan emosional, (4) kematangan intelektual, (5) kesadaran tanggung jawab, (6) peran sosial sebagai pria atau wanita, (7) penerimaan diri dan pengembangannya, ( kemandirian perilaku ekonomi, (9) wawasan dan persiapan karir, (10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan (11) persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. ITP untuk SD dan SLTP hanya mengukur 10 aspek, sebab aspek yang ke-11 belum sesuai.
ITP berbentuk angket yang terdiri atas kumpulan pernyataan yang harus dipilih oleh siswa. Setiap soal (kumpulan butir pernyataan) terdiri atas empat butir pernyataan yang mengukur satu sub aspek.
Tingkat perkembangan siswa dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada setiap aspek. Besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat perkembangan siswa (lihat tabel berikut).
Tingkat sekolah dasar (ITP SD):
Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat SLTP (ITP SLTP):
Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan.Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat SLTA (ITP SLTA):
Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat Perguruan Tinggi (ITP PT):
Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Bagaimana cara mengukur konsistensi (keajegan) jawaban siswa?
Pada ITP SD dan ITP SLTP, terdapat 10 butir soal yang diduplikasi, sedang pada ITP SLTA dan ITP PT, terdapat 11 butir soal yang diduplikasi. Hasil duplikasi diletakkan di bagian akhir angket. Setiap soal duplikasi mewakili satu aspek perkembangan. Jawaban siswa dinyatakan konsisten bila jawaban untuk kedua soal itu sama. Semakin tinggi skor konsistensi, semakin tinggi pula tingkat keseriusan siswa menjawab angket.
Proses penyekoran, penghitungan skor konsistensi, dan analisis hasil penyekoran dapat dilakukan secara manual. Namun, untuk jumlah siswa yang besar, cara ini akan memakan waktu, menimbulkan banyak kesalahan dan sangat membosankan.
Analisis Tugas Perkembangan
Analisis Tugas Perkembangan adalah perangkat lunak yang khusus dibuat untuk membantu anda mengolah ITP. Dengan ATP, identifikasi perkembangan siswa dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan menyenangkan.
ATP menyediakan berbagai fasilitas untuk memudahkan Anda dalam melakukan analisis terhadap perkembangan peserta didik. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain:
Pengolahan data mentah secara cepat. Pada komputer pentium 400 hanya dibutuhkan waktu satu detik untuk mengolah data 100 orang peserta.Analisis kelompok, yang terdiri atas: profil kelompok, grafik distribusi frekuensi untuk setiap aspek, grafik distribusi frekuensi konsistensi, delapan butir tertinggi dan terendah.Analisis per individu, yang terdiri atas: profil individual, distribusi frekuensi nilai, delapan butir tertinggi dan terendah untuk individu tersebut.
Visualisasi hasil pengolahan skor dalam bentuk grafik akan memudahkan dan mempercepat Anda dalam analisis.
Manajemen data, terdiri atas pengelompokan siswa berdasarkan kriteria tertentu, dan penggabungan kelompok.
Expor hasil pengolahan data ke Microsoft Excel®.
Impor data dari file Microsoft Excel.
Multi window, beberapa window bisa dibuka sekaligus untuk membandingkan hasil pengolahan.
Sumber :
Sunaryo, dkk . Manual Guide ATP Versi 3.5
Langganan:
Postingan (Atom)