Minggu, 13 Juni 2010

RAHASIA PERHITUNGAN WETON JAWA


Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam peradaban "JAWA" banyak kita jumpai aturan-aturan yang bersifat mengikat. Hal ini karena aturan-aturan tersebut merupakan wawasan dari nenek moyang kita yang sudah turun temurun diyakini dan disosialisasikan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dilingkungan masyarakat suku Jawa. Wawasan nenek moyang tersebut dalam kehidupan bermasyarakat disebut dalam istilah " ILMU TITEN". Mengapa disebut demikian ? Hal ini karena aturan-aturan tersebut berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap hal-hal yang terjadi pada perubahan alam yang dikaitkan dengan kejadian yang berlaku dalam kehidupan mereka saat itu.
Salah satunya adalah perhitungan hari dalam menentukan perjodohan, membangun rumah atau neptu/ weton dari kelahiran seseorang. Saya mengajak para generasi muda, khususnya generasi-generasi suku jawa untuk mengingat kembali sekaligus melestarikan budaya Jawa agar pengetahuan terhadap budaya tersebut tidak hilang begitu saja terlindas oleh kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat saat ini. Jangan sampai kita sebagai generasi muda dikatakan tidak pecus atau apatis untuk tidak dapat melestarikan budaya kita sendiri, terlebih kita hidup di pulau Jawa.

Pada kesempatan ini saya mencoba mengulas kembali bagaimana orang tua kita menghitung Neptu/ Weton hari lahir sebagai acuan untuk menentukan baik buruknya suatu rencana yang akan kita laksanakan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa hari lahir ( weton ) adalah merupakan awal dari manusia dalam kehidupannya di dunia ini, sangat diperlukan sekali bagi kita untuk mengetahui "Hari Lahir (Weton) " kita masing-masing. Sebagian besar suku Jawa menyakini bahwa merahasiakan hari lahir ( weton ) itu sangat penting, karena dengan diketahuinya hari lahir/ weton seseorang akan mudah bagi orang lain untuk berbuat hal-hal yang bersifat negatif, salah satunya santet atau teluh. Terlepas dari itu semua, tergantung pada keyakinan kita masing-masing.

Untuk menghitung Neptu hari lahir ( weton ) berikut Pasarannya ada pedoman/ patokan angka yang digunakan oleh masyarakat orang jawa, berikut table hari, pasaran dan neptu seperti dibawah ini :



Dari pedoman/ patokan neptu hari dan pasaran di atas, dapat disusun suatu matrik/ tabel yang mana kita dapat mengetahui jumlah neptu hari lahir kita. Tabel perhitungan hari dan pasaran sebagai berikut :

Cara penggunaan tabel adalah sebagai berikut : Misalnya kita lahir pada hari Minggu Kliwon, untuk mengethui berapa jumlah neptu kita maka kita lihat pada hari Minggu yang neptunya 5, kemudian kita tari ke arah pasaran Kliwon yang neptunya 8. Langkah berikutnya kita jumlahkan kedua neptunya sebagi berikut : 5 + 8 = 13, jadi jumlah neptu untuk Minggu Kliwon adalah 13.

Bagi rekan-rekan yang tidak mengetahui hari lahirnya dapat dicari dengan menggunakan tabel berikut :



Penggunaan kedua tabel diatas adalah sebagai berikut :

  • Misal hari kemerdekaan bangsa Indonesia jatuh pada tanggaal 17 Agustus 1945. Tanggal tersebut jatuh pada hari apa ? Cara mencarinya adalah kita cari angka 45 pada tabel tahun, kita tarik gurus lurus ke kanan sampai bulan Agustus dan kita dapatkan angka 3.
  • Kemudian angka 3 dijumlahkan dengan angka 17 (tanggal) hasilnya adalah 20.
  • Kita cari angka 20 di tabel "Pencarian hari berdasarkan angka ", kita dapatkan angka 20 terletak pada baris "Jum'at".
  • Dari perhitungan tersebut diatas menunjukkan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari JUM'AT.
  • Tentunya kita ingin mengetahui Neptu atau pasaran dari tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jum'at dengan Neptu apa? Berikut tabel untuk mengetahui Neptu/ Pasaran :



    Cara mengetahui Neptu/ Pasaran suatu Tanggal kelahiran dengan menggunakan tabel di atas adalah sebagai berikut :
  • Kita gunakan Contoh diatas yaitu tanggal 17 Agustus 1945 yang mana kita sudah mengetahui bahwa tanggal tersebut jatuh pada hari Jum'at. Disini kita tinggal mencari Neptu/ pasaran dari tanggal tersebut.
  • Kita cari angka 45 pada tabel "Tahun" kemudian kita tarik garis lurus ke kanan sampai pada bulan Agustus yang didapatkan angka "1".
  • Kemudian kita jumlahkan angka "1" dengan 17 (tanggal ) hasilnya adalah "18".

  • Kemudian kita cari angka "18" pada tabel "Pasaran berdasarkan angka" yang mana kita dapatkan angka tersebut terletak pada baris "LEGI".
  • Dari hasil diatas menunjukkan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari "JUM'AT LEGI" dengan jumlah neptunya adalah "11" ( perhitungan Neptu lihat pada Tabel perhitungan Hari dan Pasaran " )

  • Demikian cara-cara mengetahui perhitungan hari lahir yang merupakan moment penting bagi kita. Semoga bermanfaat khususnya bagi generasi muda sebagai wujud peduli kita untuk melestarikan budaya yang ada.

    JELANG SATU ABAD MUHAMMADIYAH



    Menarik dicermati ungkapan Ustadz Suprapto Ibnu Juraimi (almarhum) dalam Pengajian di PDM Temanggung, Jawa Tengah. Tulisan ini dimuat dalam situs Muhammadiyah www.muhammadiyah.or.id tanggal 24 April 2009.
    Point pertama: “Dari pengamatan, saya menjumpai di beberapa Daerah/PDM, ada Pimpinan Daerah yang diangkat menjadi pimpinan langsung dari Pimpinan Ranting, bahkan menduduki jabatan sebagai Ketua PDM. Padahal dia tidak tahu seluk beluk Muhammadiyah, tidak kenal apa itu Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, tidak tahu apa itu MKCH, apalagi Kepribadian Muhammadiyah. Hanya karena kebetulan dia pinter bicara, ketika diselenggarakan Musyawarah Daerah, ia kelihatan menonjol, lalu terpilih menjadi ketua PDM.”
    Point kedua, “Di sisi lain, bisa kita saksikan juga bahwa banyak orang tertarik dengan Muhammadiyah. Rupanya dengan aktif di Muhammadiyah itu bisa menjadi jembatan untuk, misalnya, menjadi anggota Dewan (wakil rakyat).”
    Dan ketiga, “Konon, saya tidak tahu pasti, di Jawa Tengah, kini sedang ramai-ramainya orang Muhammadiyah berupaya untuk bisa menjadi calon anggota Dewan. Padahal tidak semua dari mereka itu bisa terangkat menjadi anggota Dewan, sehingga kemudian terjadi masalah. Di antara mereka sendiri saling padu, konflik antar sesama teman sendiri. Memperhatikan hal yang demikian, maka kita perlu faham bagaimana sebenarnya bermuhammadiyah itu.”
    Ustadz Prapto kemudian menyebutkan lima makna ber-Muhammadiyah. Pertama, ber-Muhammadiyah adalah berislam. Kedua, ber-Muhammadiyah adalah berdakwah. Ketiga, ber-Muhammadiyah adalah berorganisasi. Keempat, ber-Muhammadiyah itu berjuang dan berjihad. Dan kelima, ber-Muhammadiyah adalah berkorban.
    Sedangkan Haedar Nashir, Ketua SC Muktamar 1 Abad, mengatakan bahwa Muhammadiyah telah melewati dinamika zaman yang penuh perjuangan suka maupun duka dalam rentang tiga zaman: era perjuangan kemerdekaan di masa kolonial, setelah kemerdekaan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan era reformasi sekarang ini yang masih akan berlangsung penuh pertaruhan.
    Muhammadiyah dalam pergantian abad dari kelahirannya akan memasuki abad baru. Dari titik tersebut persyarikatan ini akan melintasi zaman dengan segala tantangan, masalah, dan harapan baru, ketika dunia berada dalam fase post-modern dan era globalisasi dengan seribu satu dinamikanya.
    Dalam menghadapi pergantian abad menuju fase baru itu, kata Haedar, Muhammadiyah dituntut merumuskan ulang orientasi dan aktualisasi dakwah dan tajdid yang menjadi fokus gerakannya. Dengan demikian diharapkan mampu melampaui/melintasi zaman yang dilalui dan dihadapinya dengan penuh kesiapan untuk menghadirkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin.
    Tema Muktamar tahun depan adalah ”Gerak Melintas Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” sesuai Keputusan PP Muhammadiyah melalui SK Nomor 107/Kep/I.0/B/2008 tertanggal 16 Juli 2008.
    Menurut Haedar, kata ”Gerak Melintas Zaman” mengandung dua makna. Pertama, melewati masa sejak kelahirannya hingga usia ke-100 tahun. Kedua, menyeberangi, yakni memasuki fase baru setelah usia satu abad ke peralihan abad berikutnya.
    Dalam melintasi zaman tersebut, Muhammadiyah hadir sebagai gerakan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid sebagaimana spirit awal kelahirannya yaitu “menyebarluaskan” (dakwah) dan “memajukan” (tajdid) hal ihwal ajaran Islam di seluruh tanah air.
    Dakwah dan tajdid Muhammadiyah tidak lain untuk mewujudkan “peradaban khaira ummah” peradaban masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di Indonesia.

    Kamis, 10 Juni 2010

    VIDEO MESUM ARIEL DAN CUT TARI MENGHEBOHKAN PUBLIK INDONESIA SAMPAI MANCA

    VIDEO MESUM ARIEL DAN LUNA MAYA

    Video Mesum dengan aktor artis ternama antara Ariel dan Luna Maya sedang hangat dibicarakan di masyarakat. entah seberapa besar prosentase kebenaran akan pemeran dalam video tersebut, apakah benar mereka atau ada pihak yang hanya iseng untuk menjatuhkan citra mereka.

    yang pasti! Masyarakat diuji dengan ramainya pemberitaan tentang video tersebut. jika benar pemeran dalam video itu adalah Ariel dan Luna Maya maka sungguh sangat disayangkan, mengapa? karena mereka merupakan publik figur yang seharusnya memberikan contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat. bukan sebaliknya meracuni generasi muda dengan sengaja atau tidak sengaja mempublikasikan video yang tak layak konsumsi itu.

    yang terpenting adalah bagaimana kita menuntun anak-anak kita selaku penerus bangsa, agarjangan sampai budaya barat yang melegalkan segalanya tanpa terikat adat masuk ke dalam budaya kita, semisal free seks dan lain sebagainya.

    ini adalah pelajaran yang perlu kita ambil hikmahnya, bagaimana pendidikan anak-anak kita perlu kita perhatikan. mari kita bekali mereka dengan pendidikan agama yang mampu membentengi mereka dari perbuatan yang jelas-jelas melarang hal-hal semacam itu.

    Senin, 07 Juni 2010

    MAKNA MODERNITAS DAN TANTANGAN PONDOK PESANTREN TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

    MAKNA MODERNITAS DAN TANTANGAN PONDOK PESANTREN TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

    BAB I
    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang
    Salah satu di antara salah paham yang masih berkembang sampai saat ini adalah reduksi nilai yang diwakili oleh penyederhanaan cara untuk memandang pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan agama saja. Hal ini, mungkin disebabkan oleh gambaran tentang wajah pesantren masa lalu yang dapat dijumpai pada beberapa tulisan mengenai definisi pesantren.
    Zamakhsyari Dhofir, misalnya, mendefinisikan pesantren melalui pilar utamanya, yakni kyai (master/ulama/guru), santri (student/fellow/ murid), pondok (accommodation/asrama), pengajaran kitab-kitab Islam klassik dan mesjid. Pada mulanya,pesantren diartikan sebagai tempat para santri belajar atau menuntut ilmu kepada kyai (religious master), meskipun kelak definisi ini berubah seiring perkembangan pesantren-pesantren itu sendiri. Tentang kapan mula pertama berdirinya pesantren, memang, ada perbedaan di antara para peneliti. Tetapi, memperhatikan sejarah masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, asal muasal pesantren tidak bisa dipisahkan dari peran para Walisongo abad XV-XVI. Dalam masyarakat santri Jawa, Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 di Gresik, Jawa Timur), sesepuh Walisongo, diangap sebagai master of masters di lingkungan pesantren-pesantren di Jawa.
    Bahkan, kalau ditelusuri sejarah lahirnya pesantren ternyata cikal bakalnya telah ada sebelum Islam datang di Nusantra, yaitu pada mulanya sebagai padepokan Hindu-Budha, di mana di dalamnya dikenal ada shastri dan cantrik, dan padepokan itu merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan asli Indonesia telah memberikan andil besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa-masa lalu, pesantren merupakan Bank SDM yang sangat handal. Dari pesantren lahir tokoh-tokoh masyarakat, ulama-ulama, cerdik pandai, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Ini merupakan pakta sejarah yang tak dapat dibantah. Sebagai institusi pendidikan , pesantren memiliki tempat yang khusuus di hati masyarakat. Hal ini boleh jadi karena tiga hal: (1) karena pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di tanah air, (2) pesantren mewakili, bahkan identik dengan makna Islam itu sendiri, (3) pesantren, seperti sering dikemukakan oleh pengamat, bersifat indigenous, yakni asli (hkas) Nusantara yang tidak ditemukan padanannya di tempat-tempat lain, termasuk di Timur Tengah.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang dimaksud Moderintas Pendidikan Islam ?
    2. Bagaimanan Tantangan Pendidikan Islam ?

    BAB II
    PEMBAHASAN

    A. Modernisasi Pesantren
    Modernisasi pesantren bermula ketika terbitnya SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri P&K, dan Menteri Dalam Negeri) No. 6 tahun 1975 yang menekankan agar madrasah –yang tentu saja terdapat di pesantren umumnya– pada semua jenjang sama psisinya dengan sekolah umum; dan untuk itu, kurikulum madrasah haruslah 70 persen pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama.
    SKB Tiga Menteri tersebut merupakan salah satu tonggak terpenting dalam integrasi pendidikan Islam ke dalam mainstream pendidikan nasional, dan sekaligus peningkatan kualitas SDM yang belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Hal ini merupakan langkah awal bagi integrasi ilmu-lmu agama dan ilmu-ilmu umum.
    Pada mulanya, SKB Tiga Menteri ini mendapat tantangan keras dari kalangan pengelola pendidikan Islam –khususnya pesantren dan madrasah– tetapi gelindingan modernisasi madrasah dan pesantren sudah tidak bisa dimundurkan lagi. Dengan adanya modernisasi ini, pesantren dan madrasah berhadapan dengan “krisis identitas” yang memang sejak awal dikhawatirkan mereka yang tidak menyetujui kebijakan tersebut, dengan asumsi bahwa, muatan pelajaran umum yang begitu besar (70 %), pada gilirannya dapat menghilangkan misi, substansi, dan cirri khas pendidikan Islam itu sendiri.
    Pergulatan identitas ini, menurut Azyumardi Azra, masih terus berlanjut sampai kini. Sistem pendidikan Islam sering masih bergulat di antara “academic expectation”, harapan untuk keunggulan akademis dan mutu pendidikan sebagai lembaga pendidikan, dengan “social expectation”, harapan sosial umat Islam bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam memikul tugas pembinaan anak-anak umat sebagai lembaga dakwah.

    Yang menjadi masalah, proses medernisasi pendidikan Islam masih sementara berjalan, tantangan-tantangan baru yang bersifat global telah hadir pula. Tantangan-tantangan dalam bentuk globalisasi dan globalisme tidak hanya menyangkut bidang ekonomi, politik dan informasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan, misalnya bermunculannya sekolah-sekolah internasional. Pendidikan Islam, khususnya pesantren juga tidak luput dari tantangan globalisasi itu.
    Menghadapi abad ke 21, pembenahan madrasah harus diawali dengan tekad untuk mewujudkannya sekolah unggulan yang mampu memadukan kekuatan IPTEK. Salah satu ciri Umat Islam Indonesia yang dikumandangkan pemimpin umat menjelang kemerdekaan, adalah adanya lembaga pendidikan yang mampu menyiapkan 'calon ulama yang cendekia dan cendekia yang ulama’. Dengan kata lain, menyiapkan anak didik yang dapat memadukan IPTEK dan IMTAK. Nilai plus madrasah terletak pada pendidikan keimanan yang menekankan kepekaan hati dan ketajaman akal. Dengan nilai plus ini diharapkan madrasah tampil sebagai pioner proyek reintegrasi ilmu Islam.
    UU No 20/2003 memberi peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskriminasikan. Kesempatan ini akan membuka peluang kebhinekaan lembaga pendidikan keagamaan, namun dalam status diakui sebagai bagian dari Sisdiknas. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktivitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurikulum sekolah.
    Kenyataan kurang diminatinya madrasah ini secara tidak langsung menuntut para pengelola pendidikan Islam untuk lebih bersikap rasional dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat luas. Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga tersebut kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap tuntutan atau permintaan saat ini maupun mendatang. Padahal, paling tidak ada tiga yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu: (nilai) agama, status sosial dan cita-cita sosial.
    Oleh karena itu, tegas Malik Fajar, kalau kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam yang mampu memainkan peran strategis dan diperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh, seperti yang terkait dengan hal-hal berikut ini. Pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya. Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya. Ketiga, perbaikan, pembaruan, dan pengembangan sistem pengelolaan dan manajemen. Keempat, peningkatan SDM yang diperlukan.
    Dengan langkah-langkah tersebut pendidikan Islam diharapkan dapat lebih artikulatif di masa depan. Sesungguhnya harus disadari, secara kualitatif lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sekarang ini muncul serta dinilai "terkemuka" (outstanding), ternyata masih jauh dari tuntutan ideal. Prof. Dr. Mastuhu menekankan bahwa guru juga menempati posisi yang amat penting dalam pengembangan madrasah. Menurutnya, keberadaan pendidikan madrasah sebagai subsistem pendidikan nasional perlu dipertahankan dan dikembangkan. Namun, pendidikan ini akan mampu memberikan sumbangsih yang berarti jika disertai dengan metodologi modem dan islami. Untuk itu diperlukan guru yang mampu mendidik dan mengajar dengan metodologi yang sesuai dengan tantangan zaman peserta didik.
    Sebelum mengakhiri uraian ini, di tengah-tengah berbagai problem dan dilema yang masih melingkupi pendidikan Islam Indonesia, ada baiknya kami lansir pernyataan-pernyataan Mastuhu yang sifatnya menantang para pengelola pendidikan Islam. Pernyataan-pernyataan ini merupakan tantangan yang harus dijawab oleh semua pihak untuk mewujudkan sistem pendidikan Islam yang dinamis dan maju. Menurut Mastuhu, sistem pendidikan Islam Indonesia menghadapi beberapa tantangan yang mendasar, antara lain:
    Modernisasi tidak harus ditunjukkan dengan cara meniru pemikiran dan budaya Barat serta sikap mengagung-agungkan mereka. Kita perlu belajar pengetahuan dan teknologi mereka, tetapi harus tetap dalam koridor nilai-nilai dan ajaran Islam. Intinya, kita haus jujur dan bijaksana dalam menerima kebenaran-kebenaran dan menyikapi kemajuan dari mana pun datangnya. Al-Qur’an telah menegaskan : فأينما تولوا فثم وجه الله (Kemanapun kau hadapkan dirimu, di situlah wajah Allah).
    Kini, saatnya pesantren perlu melakukan pembaharuan dan harus selalu siap menerima perubahan-perubahan secara lebih sungguh-sungguh, khususnya dalam aspek kurikulum, metodologi pembelajaran dan pengembangan keilmuan tanpa harus menghilangkan jati diri (cirri khas) yang memang merupakan kekuatannya. Dalam kaitan ini, pesantren perlu mengadopsi ilmu-ilmu lain di luar ilmu-ilmu Islam tradisional yang sudah mapan, yaitu ilmu-ilmu yang disebut sebagai sains modern. Namun, perlu diingat, kajian terhadap ilm-ilmu itu harus dilakukan dalam paradigma Islam, bukan paradigma tambal-sulam seperti selama ini terjadi. Sistem tambal-sulam (memasukkan sains modern ke lembaga-lembaga Islam dan sebaliknya memasukkan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum) apa adanya, tanpa rekonstruksi dan reformasi paradigma keilmuan Islam, terbukti tidak mampu membawa kemajuan apa-apa, karena tidak sanggup menghilangkan peyakit dikotomi yang membuat umat Islam mandul dan terbelakang dalam penguasaan sains.
    Pada saatnyalah sekarang pihak pesantren dan juga perguruan tinggi Islam untuk mengembangkan pola keilmuan baru yang bersifat integralistik, yaitu keterpaduan antara ilmu dan agama. Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa integralisme ini harus dibangun di atas landasan paradigma Islam, yaitu suatu konstruksi keilmuan dengan filosofi dan efistimologi Islam. Peran dan fungsi pesantren harus tetap sejalan dengan khittah pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-din. Lembaga yang berkonsentrasi pada pembinaan dan penggemblengan kader-kader ulama pemimpin umat. Ini artinya bahwa proses pendidikan di pesantren harus menekankan pada pembentukan santri yang memiliki kedalaman ilmu, keluhuran moral-mental, dan kematangan spiritual, serta mempunyai bekal ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kecakapan atau keterampilan hidup dalam masyarakat yang akan memungkinkan si santri itu mengamalkan ilmnya dengan baik dan dapat membina masyarakat dengan sukses.

    B. Tantangan dan peluang bagi Pesantren
    Berkat paradigma reformasi, demokratisasi dan keadilan dalam dunia pendidikan serta perjuangan para ulama, tokoh agama, pakar pendidikan Islam dan dukungan umat Islam, akhirnya secara konstitusional dan legal formal,pondok pesantren mendapat pengakuan secara nasional yakni dengan dimasukkannya “pesantren” sebagai bentuk pendidikan keagamaan (UU-RI No.20 tahun 2003, pasal 30 ayat 4).
    Dengan dimasukkannya pondok pesantren dalam sistem pendidikan nasional itu, secara legal formal pondok pesantren memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka operasionalisasi program pencerdasan kehidupan bangsa dan peningkatan kualitas SDM melalui proses pendidikan.
    Dewasa ini, tantangan pesantren jauh lebih kompleks daripada tatangan-tantangan yang pernah dihadapi pesantren-pesantren di masa lalu. Kompleksitas tantangan itu menjadi lebih rumit lagi, ketika kita harus mengakui bahwa secara internal,pesantren masih menghadapi berbagai masalah yang masih belum terselesaikan sampai sekarang, khususnya sejak pesantren mengalami modernisasi pada tahun tahun 1970an.
    Tantangan-tantangan dan masalah-masalah internal pesantren pasca modernisasi dan tantangan globalisasi pada hari ini dan masa depan, secara umum adalah sebagai berikut: Pertama, jenis pendidikan yang dipilih dan dilaksanakan.. Dengan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan dan politik pendidikan sejak tahun 1970an dan peluang-peluang baru seperti diisyaratkan dalam paradigma baru pendidikan nasional, kini pesanren memiliki peluang dan sekaligus tantangan berkenaan dengan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan diselenggarakan, yang setidak-tidaknya kini menyediakan empat pilihan:
    Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din, seperti tradisi pesantren pada masa pra-modernisasi (pesantren salafiyah), dengan kurikulum yang hampir sepenuhnya ilmu agama. Di tengah arus modernisasi pesantren belakangan terdapat kecenderungan sejumlah pesantren untuk mempertahankan atau bahkan kembali kepada karakter salafiyahnya.
    Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas dan Depag. Madrasah semula merupakan “pendidikan agama plus umum”, tetapi dengan ekuivalensi seperti digariskan UUSPN 1989 “adalah sekolah umum berciri agama”.
    Sekolah Islam yang mengikuti kurikulum Diknas, yang pada dasarnya adalah “pendidikan umum plus agama”.
    Pendidikan ketrampilan (vocational training), apakah mengikuti model STM atau MA/SMA ketrampilan. Keempat jenis pilihan ini dapat dilaksanakan dalam satu pesantren tertentu. Keempat pilihan ini secara implisit mengakomodasi hampir keseluruhan harapan masyarakat secara sekaligus kepada pesantren. Harapan pertama dan utama adalah agar pesantren tetap menjalankan peran kursialnya dalam tiga hal pokok: Pertama, transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowlge). Kedua, pemeliharaan tradisi Islam ( maintenance of Islamic taradition). Ketiga, reproduksi calon-calon ulama . Harapan kedua adalah agar para santri tidak hanya mengetahui ilmu agama, tetapi uga ilmu umum dan, dengan demikian, dapat melakukan mobilitas pendidikan. Dan harapan ketiga, agar para santri memiliki ketrampilan, keahlian atau lifeskills –khususnya dalam bidang-bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan cirri masa globalisasi–yang pada gilirannya membuat mereka memiliki dasar-dasar “competitive advantage” dalam lapangan kerja sebagaimana dituntut di alam globalisasi.
    Pengembangan “competitive advantage” atau “competitive edge” di dunia pesantren jelas bukanlah hal yang mudah. Pengembangan itu bukan hanya memerlukan penyediaan SDM guru yang kualified, laboratorium/bengkel dan hadware lain, tetapi juga perubahan sikap teologis dan budaya. Bukan rahasia lagi, bahwa paham teologis yang dominan di kalangan pesanten masih cenderung meminggirkan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan sains dan teknologi, karena secara epistimologis dianggap tidak atau kurang syah, karena sains dan teknologi merupakan produk rasio dan pengujian empiris. Leih jauh, budaya sains dan teknologi masih kurang mendapat tempat dalam masyarakat kita umumnya; tingkat melek –apalagi budaya– komputer, bisa diduga, masih sangat rendah dalam mayarakat kita umumnya, terlebih lagi di kalangan pesantren.
    Tetapi, sekali lagi, mengambil keseluruhan pilihan pendidikan ini jelas mengandung berbagai kesulitan dan dilemma tertentu bagi pesantren. Kesulitan itu terletak bukan hanya pada keterbatasan kapasitas kelembagaan, teapi juga karena masih lemahnya SDM yang kualified dalam proses pembelajaran, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Karena itu, langkah yang paling realistis adalah mengambil satu atau dua pilihan itu, sementara sedikit banyak berusaha mengakomodasi pilihan-pilihan lainnya.
    Kedua, berkaitan dengan masalaha pertama di atas adalah persoalan jati diri pondok pesantren. Pada satu segi, pengakuan atas dan penyetaraan pendidikan yang berlangsung di pesantren telah membuka berbagai peluang bagi penyelenggaraan berbagai jenis pendidikan di pesantren. Tetapi pengambilan pilihan-pilihan tadi sangat bisa jadi dapat mengorbankan identitas pesantren sebagaimana telah terpatri di dalam masyarakat.
    Di sini terjadi pembenturan antara “social expectation” dengan ”academic expectation” yang disinggung di atas. Tidak hanya itu, keterlibatan pesantren dalam program-program non-kependidikan seperti pengembangan pesantren sebagai pusat koperasi, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi pedesaan, pusat pengembangan pertanian dan peternakan, pusat penyelamatan lingkungan hidup, pusat pengembangan HAM dan demokrasi, dan sebagainya juga dapat mengaburkan identitas pesantren.
    Lebih jauh, paradigma baru pendidikan nasional juga sangat menekankan kenyataan pesantren sebagai “pendidikan berbasiskan masyarakat” (Community-based education) selama berabad-abad. Pada satu segi, pengakuan ini merupakan perkembangan yang positif, khususnya menyangkut eksistensi pendidikan pesantren itu sendiri. Tetapi, pada segi lain, pengakuan itu secara implisit menuntut peran lebih besar masyarakat dalam pendidikan pesantren.
    Dalam kerangka itu, masyarakat kini dituntut tidak hanya mendirikan bangunan fisik dan perangkat-perangkat pokok pesantren, tetapi lebih-lebih lagi dalam mengembangkannya menjadi pendidikan yang berkualitas untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki keunggulan keompetitif tersebut. Di sini masyarakat pendukung pesantren diharapkan dapat menyediakan berbagai prasarana dan sarana pendukung yang lebih memadai bagi terselenggaranya pendidikan yang mampu mendorong penanaman dasar-dasar keunggulan kompetitif tersebut.
    Ketiga, penguatan kelembagaan dan manajemen. Perubahan-perubahan kebijakan pendidika nasional –misalnya yang menekankan pada peran pesantren sebagai “community-based education” dan tantangan-tantangan global mengharuskan pesantren untuk memperkuat dan memberdayakan kelembagaannya. UU Yayasan yang baru juga menghendaki pesantren untuk meninjau dan merumuskan kembali kelembagaan pesantren dan hubungannya dengan para pelaksana kependidikan; madrasah dan atau sekolah. Kelembagaan pesantren haruslah bertitik tolak pada prinsip-prinsip kemandirian (otonom), akuntabilitas dan kredibilitas.
    Dalam mewujudkan quality education pesantren seyogianya memberikan ruang gerak lebih besar kepada para pelaksana kependidikan, khususnya kepala madrasah atau kepala sekolah agar: Pertama, dapat mengorganisasi dan memberdayakan sumber daya yang ada untuk memberikan dukungan yang memadai bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang maksimal, bahan pengajaran yang cukup, dan pemeliharaan fasilitas yang baik; kedua, dapat berkomunikasi secara teratur dengan kepemimpinan pesantren (dan/atau yayasan), guru, staf, orangtua, siswa, masyarakat, dan pemerintah setempat. Selanjunya, pesantren sudah saatnya dikelola dengan manajemen moderen sehingga pendidikan yang diselenggarakannya dapat lebih efisien dan efektif. Prinsip-prinsip manajemen modern sudah saatnya diterapkan di pesantren agar dapat menyesuaikan diri di era globalisasi ini.

    C. Tantangan Masa Depan
    Dengan segala bentuk dan aneka model pembelajaran keagamaan yang masih dapat dirunut keberadaanya, pondok pesantren di masa depan jelas mampu memberi nuansa dan pencerahan baru bagi dunia pendidikan terutama di Indonesia. Tentu saja jika dibarengi dengan kesungguhan pada pengembangan ilmu-ilmu modern dengan metodologi yang lebih komprehensif. Sehingga khazanah intelektual pesantren yang begitu kaya dengan berbagai disiplin ilmu agama dapat bersinergi dengan ilmu modern yang akhirnya mampu melahirkan paradigma pembelajaran yang integratif dan tidak dikotomis. Hal demikian dapat dilaksanakan antara lain dengan memperkenalkan beberapa aspek pengetahuan modern yang aplikatif (applied sciences) dan mengkomparasikannya dengan berbagai disiplin ilmu islam yang menjadi keahlian pesantren.
    Integrasi semacam ini tidak semata-mata menguntungkan dunia santri. Tetapi juga akan berdampak pada pengembangan masyarakat yang lebih dinamis karena integrasi pengetahuan yang terjadi. Sehingga keseimbangan pemikiran islam yang bersifat samawi dan pengayaan ilmu pengetahuan modern yang lebih humanis dapat tersinergi dengan optimal. Terlebih di zaman yang semakin kompleks ini, di mana sisi-sisi religiusitas manusia yang dulu digerus oleh pengetahuan yang dibiarkan bebas nilai (free value), tampak mulai kembali menampakkan diri. Yang jika tidak disikapi secara arif oleh dunia pendidikan islam macam pondok pesantren, maka kembalinya manusia pada spirit agama akan berdampak negatif, semisal radikalisme dan fundmentalisme. Karena itulah perencanaan ke depan bagi pengembangan kelembagaan pesantren di dunia pendidikan menjadi perlu untuk diperhatikan semua pihak. Apalagi dalam kerangka membangun masyarakat madani (civil society) yang mumpuni dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas kemasyarakatan bagi masa depan bangsa.
    Membangun budaya pendidikan integratif pada sebuah lembaga pendidikan semacam pondok pesantren jelas tidak mudah. Banyak aspek dan sisi yang harus dikuasai dengan baik, terutama yang terkait dengan pola pengembangan kemasyarakatan sebagai betuk aplikasi ilmu dan nilai pembelajaran podok pesantren. Meningkatkan kualitas pemahaman kegamaan di satu sisi diiringi dengan peningkatan apresiasi pada problem sosial di masyarakat jelas membutuhkan keseriusan dan ketekunan tersendiri. Apalagi jika dilihat dari aspek kompleksitas masalah pada masyarakat modern saat ini. Dan jangan lupa membangun sebuah pola pendidikan pesantren semacam ini merupakan sebuah human capital yang berdimensi jangka panjang, tidak dapat dinikmati hasilnya dalam waktu dekat.
    Bak menanam buah kelapa, berinvestasi pada pengembangan pendidikan akan membutuhkan kesabaran dan keteguhan hati. Karena pada dasarnya para santri memang tidak dididik untuk menjadi para sales ataupum marketer yang mampu mendatangkan keuntungan (profit) dalam waktu yang singkat bagi institusi pendidikan yang mengampunya. Bukan pula menjadi robot berteknologi tinggi yang mampu mengerjakan sekian banyak tugas dalam waktu relatif singkat. Karena bagaimana pun sumber daya manusia pada pendidikan pesantren adalah manusia biasa juga, sehingga dibutuhkan ruang yang cukup lama antara pencapaian intelektual santri yang dididik dan implementasi ilmu di dalam masyarakat secara komprehensif. Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka peran aktif dari para santri demi pembangunan pendidikan islam di masa depan akan mudah diimplementasikan dengan hasil yang lebih baik.
    BAB III
    KESIMPULAN

    Meski pesantren menghadapi berbagai tantangan, seperti dikemukakan di atas, peluang bagi pendidikn pesantren jelas masih tetap besar. Situasi sosiolgis umat Islam Indonesia, yang setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir menemukan “new attachmen” kepada Islam merupakan modal yang sangat berharga bagi pesantren. Fenomena kemunculan “pesantren urban”, “sekolah Islam unggulan” dan sebagainya merefleksikan, bahwa pendidikan pesanren atau yang bermodel pesantren tetap mendapat tempat yang semakin kuat. Kini tinggal bagi pesantren itu sendiri untuk memberdayakan dirinya untuk mampu benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” dalam menghadapi arus perubahan.
    Minimal ada tiga tanggung jawab utama yang harus dipikul oleh lembaga pendidikan Islam ,utamanya pesantren. Pertama, menciptakan ahli agama (religious scholars) yang nantinya akan mengawal pertumbuhan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia dan yang dianut oleh seperempat penduduk dunia. Kedua, menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi atau berkompetisi aktif dalam modernisasi dan globalisasi. Ketiga, menghilangkan ketidakpercayaan yang berkembang baik dari kalangan muslim sendiri maupun non muslim dan masyarakat internasional.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alawiyah, Tuti AS, 2006, Pengembangan Kurikulum Pesantren (Menjawab Problem Dikotomi dan Tuntutan Modernisasi),Makalah
    Azra, Azyumardi, 2005, Pendidikan Pesantren dan Tantangan Perubahan, Makalah
    H.S. Baharuddin, 2006, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Islam, Makalah
    Mahfudz, Sahal, 2005, Meneguhkan Kembali Peran Sosial Pesantren (Petikan Pengalaman Pengembangan Masyarakat), Makalah
    Mubarak, Ahmad, 2006, Peranan Pesantren dalam Pencegahan Disintegrasi Bangsa, Makalah
    Santono, Kaswad, 2006, Kebijakan Pemerintah (Ditjen Pekapontren) dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Pesantren (Respon Terhadap Tuntutan Reformasi), Makalah.
    Sholeh, Badrul (editor), 2007, Budaya Damai Komunitas Peantren, LP3ES, Jakarta
    Yunanto, et.al, 2005, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, The Ridep Institut-Prederich Ebert Stiftung.
    Zarkasyi, Abdullah Syukri, 2006, Sains dan Teknologi Dalam Kurikulum Pesantren: Karakter Kuriklum di Pesantren Modern (Makalah)

    MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA: ALA PESANTREN

    MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA:
    ALA PESANTREN

    BAB I
    PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang
    Pendidikan merupakan salah satu wilayah perhatian (area of concern) para pemikir dan aktivis Muslimin di seluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh pemikir dan aktivis gerakan, seperti Muh. Abduh di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan di Anak Benua India menjadikan pendidikan sebagai agenda utama gerakan keislaman yang mereka canangkan. Para pemikir dan aktivis itu tidak hanya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, lebih dari itu juga berusaha mentransformasikan lembaga-lembaga pendidikan tradisional menjadi lembaga pendidikan yang bercorak modern. Di Anak Benua India, Sayyid Ahmad Khan mendirikan Universitas Alighar yang sepenuhnya mengadopsi sistem pendidikan Universitas Oxford. Sedangkan di Mesir, Muhammad Abduh berusaha mentransformasikan ilmu-ilmu modern ke dalam Universitas Azhar. Dapat dikatakan bahwa sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20 hampir seluruh dunia Islam menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan bercorak modern.
    B. Rumusan Masalah
    1. Bagaimana Pendidikan Islam ala Pesantren ?
    2. Apa yang dimaksud Pendidikan Islam Modern ?
    C. Tujuan Penulisan
    1. Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Indonesia.
    2. Mengetahui apa yang dimaksud pendidikan islam yang modern.
    3. Mengetahui pendidikan Islam ala Pesantren.



    BAB II
    PEMBAHASAN
    A. Pendidikan Islam Ala Pesantren
    Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan asli Indonesia telah memberikan andil besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. Pada masa-masa lalu pesantren merupakan Bank SDM yang sangat handal. Dari Pesantren lahir tokoh-tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Sebagai institusi pendidikan, pesantren memiliki tempat yang khusus di hati masyarakat. Hal ini boleh jadi karena tiga hal: 1) karena pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di tanah air. Usia pesantren hampir sama dengan usia datangnya Is;am itu sendiri ke Indonesia, 2) pesantren mewakili, bahkan identik dengan makna Islam itu sendiri, 3) pesantren, seperti sering dikemukakan para pengamat, bersifat indigenous yakni asli (khas) Nusantra yang tidak ditemukan padanannya di tempat-tempat lain, termasuk di Timur Tengah.
    Bahkan kalau ditelusuri sejarah lahirnya pesantren ternyata cikal bakalnya telah ada seblelum Islam datang di Nusantra, yaitu pada mulanya sebagai padepokan Hindu-Budha di mana di dalamnya dikenal ada shastri dan cantrik dan padepokan itu
    merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha. Konsep padepokan/pesantren ini bertemu dengan konsep penginapan (funduq=Arab padokheyon=Yunani) penuntut ilmu atau hikmah yang di dunia Islam dikenal dengan nama zawiyah, ribath dan khaniqah.
    Nah, padepokan Islam diberi nama pesantren, dilengkapi dengan nama funduq, jadilah nama Pondok Pesantren (asalnya: Pesantrian) dengan unsur kiyahi (dari konsep shastri) dan santri (dari konsep cantrik). Pada masa kerajaan Islam di Jawa, Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan bagi calon pemimpin (keluarga raja) dan cedekiawan (ulama), sebagaimana sebelumnya pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha.
    Memasuki masa Islam, tepatnya sejak abad ke-13 dan mencapai perkembangan penting pada abad ke-16, pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan tidak hanya memperoleh pengukuhan, tetapi juga terus dipertahankan. Sejalan dengan konpersi keagamaan masyarakat Nusantara menjadi Muslim, pesantren mengalami perubahan fungsi. Bila sebelumnya merupakan bagian dari tradisi pendidikan keagamaan Hindu-Budha, pada masa Islam pesantren berkembang menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman bagi masyarakat Indonesia. Di lembaga pesantren itulah kaum Muslim Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktik kehidupan keagamaan yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh masyarakat yang baru beralih menjadi Muslim. Pada perkembangan selanjutnya, pesantren menjadi agen pencetak elit agama dan pemelihara tradisi Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
    Sejak awal abad ke-20, sejalan dengan modernisasi yang ditampilkan kolonialisme melalui “politik etis”nya, lembaga pendidikan Islam mengalami perubahan penting. Didukung kalangan pemikir dan aktivis Muslim, khususnya yang datang dari Timur Tengah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren ditranspformasikan menjadi bentuk madrasah yang terus berkembang hingga dewasa ini.
    Memang diakui, pada mulanya, pesantren dan madrasah lebih dikenal sebatas lembaga pendidikan Islam dengan konsentrasi pada pendalaman ajaran agama (tafaqquh fiddin), kemudian beberapa di antranya mulai melakukan berbagai pengembangan dalam kurikulum dan metode pembelajaran dengan memasukkan pelajaran umum ke dalam kurikulum pengajarannya. Bahkan ada juga yang memberikan pelatihan keterampilan (vocational) dan kecakapan hidup (life skill) bagi para santrinya sebagai kurikulum tambahan.
    Guna mendukung peningkatan kualitas pendidikan, berbagai bantuan dan pembinaan telah dilakukan Depag RI secara berkesinambungan. Tetapi hal itu belum mampu membawa pesantren dan madrasah terlepas dari berbagai persoalan yang hampir seragam menyelimutinya yaitu: kualitas lulusan sulit bersaing, SDM guru rendah, kondisi sarana dan prasarana pendidikan kurang mendukung, kurikulum tidak up-to-date,kemampuan pembiayaan rendah dan manejemen bermasalah.
    Diakui. pesantren menghadapi tantangan berat sejak mesuknya ide pembaharuan (modernisme) dan berlangsungnya modernisasi pendidikan di Indonesia sejak awal abad ke 20 hingga sekarang ini. Dengan suka rela atau terpaksa (thau’an wa karhan), agar tetap eksis dan survive, pihak pesantren merasa perlu atau harus melakukan adjustment, penyesuaian di sana sini, baik menyangkkut kurikulum, metode, dan sistem pembelajaran. Dewasa ini, hampir setiap pesantren mengembangkan pndidikan Madrasah, SMU, bahkan sekolah-sekolah kejuruan. Sudah jarang atau bahkan tidak dapat ditemukan lagi pesantren yang dapat bertahan dalam pengertian dan bentuknya yang semula.
    Menghadapi tuntutan modernisasi dan reformasi pendidikan, pesantren telah melakukan perubahan-perubahan namun masih dirasa belum memadai. Ada yang mengatakan bahwa penyesuaian dan perubahan yang dilakukan pesantren bersifat setengah hati, alias kurang signifikan. Ada pula yang mengatakan bahwa pesantren kini sedang kebingungan mencari bentuk antara mempertahankan jati diri (ciri khas) dan kebutuhan untuk merespon tantangan modernisasi. Bahkan Karel A. Steenbrink memprediksikan bahwa secara pelan-pelan namun pasti, kedudukan pesantren akan tergantikan oleh institusi pendidikan modern. Karena, menurutnya, dunia pesantren telah melakukan sejumlah penyesuaian yang dipandang tidak akan hanya mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi santri sendiri.
    Terlepas dari prediksi-prediksi tersebut, pesantren perlu melakukan pembaharuan secara lebih sungguh-sungguh, khususnya dalam aspek kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan keilmuan, tanpa harus menghilangkan jati diri (ciri khas) yang memang merupakan kekuatannya. Dalam kaitan ini, pesantren perlu mengadopsi ilmu-ilmu lain di luar ilmu-ilmu Islam tradisional yang sudah mapan, yaitu ilmu-ilmu yang disebut sebagai sains modern. Namun, perlu diingat, kajian terhadap ilmu-ilmu itu harus dilakukan dalam paradigma Islam, bukan paradigma tambal-sulam seperti selama ini terjadi. Sistem tambal sulam (memasukkan sains modern ke lembaga-lembaga Islam dan sebaliknya memasukkan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum) apa adanya, tanpa rekonstruksi dan reformasi paradigma keilmuan Islam, terbukti tidak mampu membawa kemajuan apa-apa, karena tidak sanggup menghilangkan penyakit dikotomi yang membuat umat Islam mandul dan terkebelakang dalam penguasaan sains. Pada saatnyalah sekarang pihak pesantren dan juga perguruan tinggi Islam untuk mengembangkan pola keilmuan baru yang bersifat integralistik, yaitu keterpaduan antara ilmu dan agama. Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa integralisme ini harus dibangun di atas landasan paradigma Islam, yaitu suatu konstruksi keilmuan dengan filosofi dan epistimologi Islam. Dalam kerangka ini, Ismail Raji al-Faruqi pernah menggagas tentang islamisasi ilmu. Sayangnya, sepeninggal al-Faruqi, gagasan ini madeg dan tidak berkembang, karena terlalu bersifat ideologis ketimbang akademis.
    Dengan memperhatikan perkembangan sistem pendidikan di pesantren akhir-akhir ini, klasifikasi pesantren menjadi tradisional (al-ma’had al-salafy) dan modern (al-ma’had al-hadits) kiranya tidak dapat diikuti secara ketat lagi. Sebab jika dilihat dari jalur pendidikan yang diselenggarakannya saat ini, sebagian besar ¬al-ma’had al-salafy, selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga telah menyelenggarakan jalur pendidikan formal modern, baik berupa sekolah umum (SD,SMP, SMA, dan SMK) mauaupun sekolah berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA, atau MAK). Demikian pula jika dilihat dari beberapa aspek lainnya, misalnya kurikulum, manejemen, dan bahkan perangkat teknologi yang digunakannya, maka pesantren-pesantren tradisional jenis ini sebenarnya juga pesantren modern, meski tak menggunkan predikat modern.
    Ciri kemodernan psantren dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: Petrama, aspek kelembagaan, manejemen dan organisasi pesantren. Peantren modern merupakan lembaga pendidikan yang diwakafkan. Melalui pewakafan ini kepemilikan pesantren telah beralih dari milik pribadi atau keluarga menjadi milik umat (public).


    Kedua, aspek sistem pendidikan. Pesantren modern memadukan antara sistem pesntren yang memiliki keunggulan sistem asrama dan pola penanaman nilai-nilai keagamaan serta pembentukan mental attitude yang kuat dengan sistem madrasah/sekolah yang memiliki keunggulan di bidang metodologi dan pengelolaan pembelajaran.
    Ketiga, aspek kurikulum. Kurikulum pesantren modern tidak mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua bidang keilmuan ini diintegrasikan dalam satu kesatuan bangunan epistimologi keilmuan yang utuh yang semuanya bernilai keagamaan. Demikian pula dalam kurikulum pesantren modern tidak dipisahkan antara bidang kegiatan intrakurikuler dengan yang ektrakurikuler, keduanya diintegrasikan dalam seluruh total kegiatan pesantren sehingga keduanya memperoleh perhatian yang sama. Keduanya membentuk suatu lingkungan dengan berbagai kegiatan di dalamnya yang semuanya dimaksudkan untuk tujuan pendidikan.
    Keempat, aspek sistem pembelajaran. Pesantren modern menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan sistem klasikal. Kegiatan pembelajaran untuk semua materi pelajaran seluruhnya dilaksanakan secara klasikal dengan sistem administrasi, supervisi, dan evaluasi yang terencana dan terukur.
    Kelima, aspek metode pembelajaran. Metode pembelajaran formal yang digunakan adalah yang memungkinkan seorang santri atau peserta didik bisa belajar dengan lebih efektif dan efisien dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang bertumpu pada dialog, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, latihan, penugasan, dan yang sejenisnya menjadi penting dalam upaya menciptakan suasana belajar yang kondusif.
    Keenam, aspek infrastruktur. Pendidikan pesantren modern dilengkapi dengan infrastruktur yang menunjang keberhasilannya yang setidaknya meliputi masjid, asrama, perpustakaan, ruang belajar, laboratorium, perumahan guru, perkantoran, auditorium, dan sarana olahraga.
    Kurikulum pendidikan di pesantren harus mempunyai visi dan misi yang mengarah kepada upaya pencapaian sosok santri yang hendak dilahirkan oleh pesantren. Karena itu karakter kulrikulum pesantren hendaknya meliputi dan memadukan seluruh unsur kecakapan santri baik intelektual, emosional, maupun spiritual. Ini juga berarti bahwa kurikulum pesantren itu tidak hanya bersifat kognitif saja, tetapi memadukan seluruh ranah pengembangan diri peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Karena pendidikan yang didominasi oleh pemusatan kognitif saja akan menghasilkan manusia pragmatis. Anak hanya akan berorientasi pada untung rugi tanpa pertimbangan nilai dan etika, terlebih lagi ketika evaluasi pendidikan hanya mementingkan penguasaan kognitif (ingat hasil UN yang baru lalu). Sebab kondisi yang demikian hanya menghabiskan konsentrasi anak, guru, serta sekolah demi mengejar target penilaian.
    Dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi, kurikulum pesantren modern harus berpegang kepadaq al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih was l-akhz bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan melakukan inovasi baru yang lebih baik). Dengan berpegang pada prinsip ini berarti kurikulum yang dimaksud itu bersifat luwes dan fleksibel, terutama terhadap perubahan yang menyangkut materi-materi yang bersifat umum. Pesantren harus mampu membangun sistem yang kokoh, sistem pendidikan yang integratif, yang mampu mengubah pola pikir dan membentuk sikap. Konsep tarbiyah (transformasi ilmu dan nilai) harus dikedepankan, bukan sekedar ta’lim. Kalau pendidikan mampu membentuk sikap, maka produknya akam menjadi teladan yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi umat. Banyak yang bisa dilakukan oleh pesantren dalam zaman yang serba cepat berubah seperti dewasa ini asalkan pesantren mau membuka diri dengan dunia luar. Idealnya, pesantren memiliki akses terhadap informasi-informasi penting yang terkait dengan pembangunan. Oleh karena itu saatnya pesantren memiliki perpustakaan yang memadai, dilengkapi dengan literatur-literatur keagamaan klasik dan modern, serta buku-buku bacaan dan informasi lainnya sehingga dapat membuka wawasan santri. Selain itu pesantren harus meningkatkan mutu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) agar dapat bersaing dalam arus pendidikan global. Dengan demikian, santri tidak lagi ketinggalan dengan dinamika keilmuan yang berkembang di luar tembok pesantren. Jika tidak, pesantren dipastikan akan tergilas dalam gempuran arus global
    Dalam suatu kesempatan, Direktur Pengkajianan Islam dan Masyarakat (PPIM) Jamhari mengatakan, “Ada peluang penting yang hampir luput dari kalangan pesantren dewasa ini menyangkut iptek. Hal itu menyusul sejumlah lembaga pendidikan tinggi berbasis Islam dewasa ini telah banyak membuka fakultas atau jurusan yang berbasis ilmu eksak, seperti kedokteran dan teknik. Namun di dalam fakultas-fakultas itu masih jarang diisi oleh para alumni pesantren. Karena itu, perlu mengakrabkan pesantren dengan iptek. Jadi, dengan menguasai teknologi menjadi tuntutan bagi siapapun, termasuk pondok pesantren”. Di sisi lain, kata cendekiawan Kamaruddin Hidayat: pesantren perlu mempertahankan spirit kemandiriannya. Namun, pesantren juga harus mengembangkan kesadaran berbangsanya. Dengan demikian, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berjumlah besar, dapat diandalkan menjadi tongkat bagi kebangkitan investasi di Indonesia. Para investor asing butuh rasa aman dalam menananmkan investasinya. Salah satu sumbu ketidakamanan, menurut mereka, adalah persoalan radikalisme agama. Nah, pesantren dalam hal ini bisa ikut andil menjelaskan ajaran agama Islam yang benar kepada masyarakat luas.
    Namun demikian, perlu diingat peran dan fungsi pesantren harus tetap sejalan dengan khittah pesantren sebagai lembaga tafqquh fiddin. Lembaga yang berkonsentrasi pada pembinaan dan penggemblengan kader-kader ulama pemimpin umat. Ini artinya bahwa proses pendidikan di pesantren harus menekankan pada pembentukan santri yang memiliki kedalaman ilmu, keluhuran moral-mental, dan kematangan spiritual, serta mempunyai bekal ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kecakapan atau keterampilan hidup dalam masyarakat yang akan memungkinkan si santri itu mangamalkan ilmunya dengan baik dan dapat membina masyarakat dengan sukses. Kedepan diharapkan alumni pesantrenlah yang mengendalikan perjalanan Negara kita tercinta ini sebagaimana pada masa-masa lalu, tentunya dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
    M Dawam Rahardjo (1995) berpandangan bahwa pesantren adalah lembaga yang dapat mewujudkan proses perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.
    Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).
    Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren memiliki kekuatan yang dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya (founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek” keuntungan ekonomis semata. Melainkan menjalankan amanat pendidikan profetik yang digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap manusia di era modern ini.

    B. Modernisasi Pendidikan Islam Ala Pesantren
    Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun, ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan derasnya arus modernisasi. Sebab, modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam semesta, tradisi, dan agama.
    Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Maka, modernitas sebagai periode sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas akan menciptakan sikap optimisme dan berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan yang menjadi tema sentral dalam peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20).
    Dalam khazanah tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan hal ini mengindikasikan bahwa pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa.
    Jika tradisi besar Islam direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Maka, ketika pesantren tampil dengan wajah baru akan menciptakan apa yang disebut Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru). Untuk itu, tidak arif rasanya jika para pengelola pondok pesantren mengabaikan arus modernisasi sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada sebagian yang buruk – apabila pesantren ingin progresif mengimbangi perubahan zaman.
    Dengan tidak meninggalkan ciri khas keislaman, pesntren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk amoral yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat sasaran oleh lembaga pendidikan bernama pesantren






    BAB III
    PENUTUP
    A. Kesimpulan

    Dari Uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sudah ada sejak dulu dan merupakan lembaga pendidikan yang Islam yang mampu memenuhi tuntutan zaman dengan bukti sampai sekarang pendidikan pesantren masih terus eksis dan mampu mencetak generasi penerus yang mampu bersaing dan tetap tidak mengesampingkan pendidikan agama islam itu sendiri
    Modernintas pendidikan islam harus mampu dijawab oleh pendidikan islam yang dikembangkan oleh tuntutan zaman, sebab pendidikan di Indonesia yang saat ini sudah maju dan juga pesantren harus dikembangkan untuk lebih mengikuti arus modernitas.

    B. Saran dan Kritik
    Kami sadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik dari Bapak Dosen pengampu dan kepada rekan semua untuk memeberikan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.











    DAFTAR PUSTAKA

    Dr. Ahmad Mubarak, MA Nasionalis Religius Jati Diri Bangsa Indonesia, ,2005
    Dr. Hj. Tuti Alawiyah AS, Pengembangan Kurikulum Pesantren (Menjawab Problem Dikotomi dan Tuntutan Modernisasi), Makalah, 2006
    Dr. K.H. Abdullah Syukri Zakariya, MA, Sains dan Teknologi Kurikulum Pesantren:Karakteristik Kurikulum di Pesantren Modenr, Makalah, 2006
    Madrasah, Jurnal Komunikasi Dunia Pergurua, Vol. 3, No 2, 1999 dan Vol 5, No.1, 2001.
    SALAM, Buletin Persahabatan Indonesia-Jepang, 2006
    SANTRI, Majalah Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia, Desember 2005
    Aksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
    Noer, Deliar A., Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1983.
    Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1994.
    Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : DEPAG RI, 1986
    Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
    Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1968.






    M Dawam Rahardjo (1995) berpandangan bahwa pesantren adalah lembaga yang dapat mewujudkan proses perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.
    Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).
    Lantas, pertanyaan yang patut diajukan dalam tulisan ini adalah: bagaimana peta tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan warisan dari perpaduan budaya asli Indonesia dan khazanah keislaman dalam menjawab tantangan modernitas? Apakah mesti menyesuaikan (ngigeulan) zaman ataukah sampai pada mengelola (ngigeulkeun) tantangan era modern yang cenderung menggusur manusia pada pemahaman yang positivistik?
    Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren memiliki kekuatan yang dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya (founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek” keuntungan ekonomis semata. Melainkan menjalankan amanat pendidikan profetik yang digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap manusia di era modern ini.
    Pesantren dan Santri
    Menurut catatan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang diwariskan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim sekitar abad 16-17 M, seorang guru “walisongo” yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Sedangkan secara kebahahasaan, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti guru mengaji (bahasa tamil) dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal (mondok moe) para santri. Dengan demikian, pesantren merupakan mesin copy-an yang bertugas mem-print out manusia pintar agama (tafaquh fi al-din) serta mampu menyampaikan keluhungan ajaran Islam (syi’aru al-islam) kepada masyarakat.
    Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa: “Dan hendaklah ada di antara kamu sekalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali-Imran; 3 : 104). Artinya, dengan kreasi kultural berupa pendirian pesantren dalam khazanah Islam Indonesia merupakan tonggak awal penegakkan misi profetik (al-nubuwat) untuk menyebarkan kebaikan (al-khair) hingga dapat menghidupkan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah) dan kemanusiaan di jiwa umat.
    Sebagai lembaga penghasil santri, tentunya pesantren harus menghasilkan santri (output) yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Output tersebut selain berimplikasi secara personal, juga mesti berdampak positif secara sosial. Adapun hasil implikasi tersebut dapat dilihat dari intensitas keuntungan yang diproduksi pesantren terhadap lingkungan sekitar, di antaranya berupa keuntungan pragmatis bagi aspek budaya, pendidikan dan sosial.
    Secara kultural, kehidupan seorang santri di pesantren ternyata seringkali dihiasi dengan prinsip hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan kebersamaan melalui aktivitas “mukim”. Lalu, dari aspek edukatif pesantren juga mampu menghasilkan calon pemimpin agama (religious leader) yang piawai menjawab dan memenuhi kebutuhan praktik keagamaan masyarakat sekitar, hingga aktivitas kehidupannya diberkahi Allah. Sedangkan dalam aspek sosial, keberadaan pesantren seakan menjadi semacam “community learning centre” (pusat kegiatan belajar masyarakat) yang berfungsi menuntun masyarakat agar hidup dalam kesejahteraan fisik, psikis dan spiritual.
    Kendatipun secara output tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, setidak-tidaknya secara ideal pendidikan pesantren mampu mencetak calon-calon ahli agama yang siap diterjunkan ke masyarakat. Tidaklah heran jika pesantren sebagai “laboratorium sosial” banyak membidani kelahiran tokoh-tokoh yang dihormati serta ikut andil dalam pembangunan bangsa lewat sumbangsih pemikiran konstruktif-transformatif. Misalnya tercermin dalam pribadi K.H.A.Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H.A.Hasan (tokoh ulama Persatuan Islam), Hasyim Asy’ari (pendiri NU), H.O.S Tjokroaminoto (pencetus SI), Muhammad Natsir (mantan Perdana menteri), Dien Syamsuddin, Abdurrahman Wahid, Nurchalis Madjid dan yang lainnya merupakan aktor intelektual yang dididik lembaga pendidikan asli masyarakat Islam Indonesia seperti Pesantren.
    Modernisasi
    Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun, ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan derasnya arus modernisasi. Sebab, modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam semesta, tradisi, dan agama.
    Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Maka, modernitas sebagai periode sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas akan menciptakan sikap optimisme dan berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan yang menjadi tema sentral dalam peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20).
    Dalam khazanah tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan hal ini mengindikasikan bahwa pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa.
    Jika tradisi besar Islam direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Maka, ketika pesantren tampil dengan wajah baru akan menciptakan apa yang disebut Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru). Untuk itu, tidak arif rasanya jika para pengelola pondok pesantren mengabaikan arus modernisasi sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada sebagian yang buruk – apabila pesantren ingin progresif mengimbangi perubahan zaman.
    Dengan tidak meninggalkan ciri khas keislaman, pesntren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk amoral yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat sasaran oleh lembaga pendidikan bernama pesantren. Wallahua’lam
    Aksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
    Noer, Deliar A., Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1983.
    Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1994.
    Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : DEPAG RI, 1986
    Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
    Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1968.

    USAHA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN

    USAHA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN

    BAB II
    PEMBAHASAN

    A. Perkembangan Pendidikan Islam

    Fazlur Rahman (selanjutnya ditulis Rahman), sebagai seorang tokoh intelektual Muslim yang memiliki latar belakang yang menarik. Rahman, memiliki latar belakang tradisi keilmuan madrasah India - Pakistan yang tardisional dan keilmuan Barat yang liberal. Keduanya berpengaruh dalam membentuk intelektualismenya. Syafi'i Ma'arif, yang pernah berguru kepadanya, menyatakan bahwa dalam diri gurunya [Rahman] terkumpul ilmu seorang 'alim yang 'alim dan ilmu seorang orientalis yang beken(Syafi'i Ma'arif, 1984:p.vi).
    Rahman menyuguhkan analisis perkembangan pendidikan tinggi Islam dan merumuskan alternatif metodologi pemikiran keislaman, sebagai rumusan jalan keluar dari seluruh kritisisme atas sejarah pemikiran keislaman. Krisis metodologi tampaknya sangat disadari oleh Rahman sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam, karena alternatif metodologi dipandangnya sebagai titik pusat penyelesaian krisis intelektualisme Islam. Implikasi dari alternatif metodologis ini, menurutnya merupakan proyek besar ummat Islam yang mengarah pada pembaharuan pemikiran Islam. Rahman, menyadari bahwa proyek besar tersebut selain memerlukan waktu yang panjang juga memerlukan sarana penunjuang. Menurutnya sarana penunjuang yang dimaksud tiada lain adalah sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan harus terlebih dahulu dimodernisasi, membuatnya mampu menyokong produktivitas intelektual Islam dengan cara menaikkan standar-standar intelektualnya(Rahman : 134).
    Kesadaran Rahman terhadap pendidikan sebagai sarana utama penunjang pembaharuan, mendorongnya terjun dalam kritisme sistem pendidikan Islam yang berkembang pada periode kemunduran dan pada awal pembaharuan atau zaman modern(Ghufron A.Mas'adi,1997:23). Rahman, menyusun sebuah karya umum yang secara historis mengemukan sistem pendidikan Islam pada abad pertengahan berikut kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan utamanya, dan mengenai upaya-upaya modernisasi yang dilakukan sekitar abad yang lalu. Kemudia Rahman membangun suatu pemikiran pendidikan tinggi Islam yang disebut sebagai "intelektualisme Islam".
    Konsep pendidikan tinggi Islam yang dikemukakan oleh Rahman merupakan masalah yang menarik dan urgen untuk dibahas, karena penyelenggaran pendidikan tinggi Islam sekarang ini mengalami proses dikotomi yaitu menerapkan metode dan muatan pendidikan barat dengan menambah beberapa mata pelajaran agama Islam dengan metode dan muatan Islami yang berasal dari zaman klasik yang belum dimodernisasi secara mendasar. Penyelenggaran pendidikan Islam belum mengacu dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah, tetapi hanya menjaga dan melestarikan segala warisan yang bersifat klasik. Dari pemikiran Rahman tersebut, timbul pertanyaan, apa yang menjadi perhatian utamanya? Posisi pemikirannya di antara pemikir-pemikir kontemporer Islam lainnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini mencoba mencermati dan menggali gagasan dan pemikiran Rahman tentang konsep pendidikan Islam dan pendidikan tinggi Islam.

    B. Tradisi Intelektual Islam
    Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal yaitu sejak awal Islam. Pada masa awal, pendidikan idektik dengan upaya da'wah Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama itu sendiri. Rahman (Islam, 1997 : 263), menyatakan kedatangan Islam membawa untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu al-Qur'an dan ajaran-ajaran Nabi. Tetapi, perlu dipahami bahwa pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis berlum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan bersifat informal, dan inipun lebih berkait dengan upaya da'wah Islamiyah - penyebaran, penanaman dasar-dasar kepercayaan, dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah dapat dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah, dan yang paling terkenal Dar al-Arqam, dan ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, pendidikan diselenggarakan di mesjid dan proses pendidikan pada kedua tempat ini dilakukan dalam halaqah, lingkaran belajar(Azyumardi Azra,1994:v).
    Tradisi belajar yang telah ada pada masa Nabi terus berkembang pada masa-masa sesudahnya, dan sebagaimana tercacat dalam sejarah bahwa puncak kemajuannya tercapai pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun yang berpusat di Bagdad, dan pada masa kejayaan 'Usmaniyah di Spanyol dan Cordova yang berlangsung sekitar delapan abad[711-1492 M] (Hasan Langgulung,1986:13), kemudian sistem pendidikan Islam itu diperluas dengan sistem madrasah yang mencapai puncaknya pada Madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Bagdad oleh Nizam al-Mulk(Muhammad Munir Mursi, 1975 : 98). Pendidikan Islam pada waktu itu telah melahirkan cendekiawan-cendekiawan Muslim yang berkaliber dunia, yang dikenal sampai sekarang ini, maka secara epistemologi Noeng Muhajir sangat argumentatif berkesimpulan bahwa Yunani adalah induk ilmu murni dan Islam adalah induk teknologi (Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, 1989 : xi).
    Rahman, menyatakan bahwa pada awal mula tersebarnya ilmu pengetahuan Islam berpusat pada individu-individu dan bukannya sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga bercirikan usaha-usaha individual yaitu tokoh-tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari hadits dan membangun sistem-sistem teologi dan hukum mereka sendiri di seputarnya, kemudian menarik murid-murid dari daerah lain yang mau menimba ilmu pengetahuan dari mereka. Ciri utama pertama dari ilmu pengetahuan tersebut adalah pentingnya individu guru, karena sang guru setelah memberikan pelajaran seluruhnya, secara peribadi memberikan suatu sertifikat (ijazah) kepada muridnya untuk mengajar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada akhir abad pertengahan, mayoritas ilmuwan-ilmuwan yang termasyhur dan berkaliber dunia bukanlah produk madrasah-madrasah, tetapi merupakan bekas-bekas murid informal dari guru-guru individual tertentu. Sebagai contoh, bila akan menulis riwayat pemikir-pemikir yang besar dan orisinal dalam Islam, pasti tak akan banyak menemukan totoh-tokoh keluaran madrasah.
    Tanpaknya, madrasah belum dapat memproduk ilmuan-ilmuan termasyhur, karena itu Rahman, menyatakan sistem madrasah yang secara luas didasarkan pada sponsor dan kontrol negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemunduran dan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi menurtnya madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebenarnya dari kemunduran ini, walaupun sebenarnya persoalan tersebut mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Selanjutnya, Rahman menyatakan sebenarnya penurunan kualitas ilmu pengetahuan Islam adalah berasal dari kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan, karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang juga kemudian mati (Rahman, Islam : 269-271).
    Berdasarkan pemikiran di atas, Rahman menyatakan bahwa berkembangnnya ilmu dan semangat ilmiah dari abad ke-9 sampai abad ke-13 di kalanngan umat Islam berasal dari terlaksananya perintah al-Qur'an untuk mempelajari alam semesta, karena karya Allah tersebut memang diciptakan untuk kepentingan manusia,. Pada abad-abad pertengahan akhir, semangat penyelidikan di dunia Islam mengalami kemacetan dan merosot, sedangkan dunia Barat telah melaksanakan kajian-kajian yang sebagian besar dipinjam dari ilmuan-ilmuan Muslim, sehingga mereka menjadi makmur, dan maju bahkan menjajah negeri-negeri Muslim. Dengan dasar ini, maka menurut Rahman, umat Islam dalam mempelajari ilmu baru dari dunia Barat yang maju, berarti meraih kembali masa lampau mereka dan sekaligus untuk memenuhi sekali lagi perintah-perintah al-Qur'an yang terlupakan (Fazlur Rahman, dikutip, Sayafi'i Ma'arif, 1997 : 6)



    C. Esensi Pendidikan Islam
    Esensi “Pendidikan Islam", menurut Rahman tidaklah memaksdukan perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah apa yang menurut Rahman sebagai "intelektualisme Islam", dan bagi Rahman inilah esensi pendidikan tinggi Islam. Intelektualisme Islam merupakan pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kreteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Perumusan pemikiran pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan kepada metoda penafsiran yang benar terhadap al-Qur'an. Mengapa al-Qur'an harus ditempatkan sebagai titik pusat intelektualisme Islam, jawabannya karena bagi Muslim, al-Qur'an adalah kalam Allah yang diwahyukan secara harfiah kepada Nabi Muhammad, dan barangkali tidak ada dokumen keagamaan lain yang dipegang seperti itu (Fazlur Rahman, 1982 : 1).
    Dari pemikiran dan pandangan tersebut, Ahmad Syafii Maarif (1997 : 1), menyatakan jika proposisi Rahman ini dapat diterima, maka paradigma baru pendidikan tinggi Islam haruslah tetap berangkat dari pemahaman yang benar dan cerdas terhadap Kitab Suci al-Qur’an , yang berfungsi sebagai petunjuk, pencerahan, penawar, sekalipun kemungkinan resikonya adalah bahwa beberapa bangunan pemikiran Islam klasik harus ditolak atau diperkarakan. Cara ini terpaksa ditempuh karena semua bangunan pemikiran tentang filsafat, teologi, sufisme, sistem hukum, moral, pendidikan, sosial budaya, dan politik, pasti dipengaruhi oleh suasana ruang dan waktu. Analog dengan ini, maka hasil pemikiran kitapun juga akan diperkarakan oleh generasi sesudah kita kalau ternyata hasil pemikiran itu dinilai telah kehilangan kesegaran dan elan vital untuk menjawab persoalan-persoalan zaman yang salalu berubah.
    Lebih lanjut, Ahmad Syafii Maarif (1997:3) menyatakan bahwa salah satu penyebab tersungkurnya dunia Islam adalah karena pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan bergulir. Umat sibuk "bernyanyi" di bawah payung kebesaran masa lampau dengan sistem politik dinasti yang otoriter. Proses penyadaran kembali terhadap tanggungjawab global umat ternyata memakan tempo yang lama sekali, karena pendidikan yang diselenggarakan sangat konservatif dalam arti menjaga dan melestarikan segala yang bersifat klasik. Daya kritis dan inovatif hampir-hampir lenyap samasekali dari ruangan madrasah, pondok, dan lembaga pendidikan lainnya di seluruh negeri Muslim.
    Berkenaan dengan pemikiran di atas, Rahman, menawarkan perumusan pemikiran konsep pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan dan berangkat dari pemahaman yang benar dan pendalaman terhadap al-Qur'an, yang berfungsi sebagai petunjuk atau inspirasi bagi generasi muda Islam. Disertasi 'Abdul Rahman Salih, menyatakan bahwa pendidikan berdasarkan al-Qur'an, karena "cara hidup Islami ditentukan dalam al-Qur'an; mengikuti ini, maka fondasi-fondasi teori pendidikan Islam pada dasarnya diambil dari al-Qur'an. Pendekatan apa pun yang mengabaikan fakta fundamental ini pasti akan menghasilkan persepsi-persepsi yang tidak akurat" (Abdul Rahman Salih 'Abdullah, Eduucational Theory: a Qur'anic Qutlook., dalam A.Syafi'i Ma'arif : 8).

    D. Pendidikan Tinggi Islam
    Rahman, menyatakan terdapat kesadaran yang luas dan kadang-kadang mendalam akan adanya dikotomi dalam pendidikan, namum semua upaya ke arah integrasi yang asli sejauh ini, pada umumnya tidak membuahkan hasil. Rahman, mengatakan perlu mencermati ciri-ciri pokok dan upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbahrui pendidikan Islam. Pada dasarnya ada dua segi orientasi pembaharuan, salah satu pendekatannya yaitu menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep kunci tertentu dari Islam. Pendekatan ini memiliki dua tujuan: Pertama, membentuk watak pelajar-pelajar/mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan dan masyarakat, dan kedua, untuk memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk menamai bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi; menggunakan perspektif Islam, untuk mengubah - di mana perlu - baik kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. Kedua tujuan ini berkaitan erat dalam arti bahwa pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang secara wajar dilakukan terutama pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan(Rahman : 156).
    Pandangan lain yang sedikit berbeda dengan Rahman, yaitu Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (1979 : 21-22), yang menyatakan bahwa, pada saat sekarang ini ada dua sistem pendidikan. Pertama, sistem pendidikan tradisional, yang telah membatasi dirinya pada pengetahuan klasik, belum menunjukkan minat yang sungguh-sungguh pada cabang-cabang pengetahuan baru yang telah muncul di dunia Barat atau pada metode-metode baru untuk memperoleh pengetahuan yang penting dalam sistem pendidikan Barat. Sistem ini memang berguna untuk pengetahuan teologi klasik, tapi para ahli teologi klasik yang dilahirkan dari sistem ini pun tidak cukup mendapat bekal pengetahuan intetelektual atau suatu metoda guna menjawab tantangan-tantangan dari peradaban teknologi modern yang tak mengenal Tuhan. Kedua, sistem pendidikan yang didatangkan ke negeri-negeri Muslim, yang disokong dan didukung sepenuhnya oleh semua pemegang pemerintah, adalah sistem yang dipinjam dari dunia Barat. Puncak dari sistem ini adalah Universitas modern yang bersifat sekuler keseluruhannya dan karena tidak mengindahkan agama dalam pendekatannya terhadap pengetahuan. Orang-orang yang didik melalui sistem pendidikan baru ini yang dikenal sebagai pendidikan modern, pada umunya tidak menyadari akan tradisi dan warisan klasik mereka sendiri.
    Selain kedua sistem ini, diciptakan pula sistem pendidikan alternatif, yaitu sistem ketiga yang mancakup sistem pendidikan terpadu, tetapi menurut Sajjad Husain dan Ali Ashraf, kepaduan kedua sistem ini bukanlah merupakan suatu proses yang gampang, karena ada kekhawatiran sistem perpaduan ini menuntut penghapusan total atas sistem pendidikan tradisonal, atau penurunan keududukan dari sistem itu sampai sedemikian rupa sehingga orang-orang akan memandang rendah padanya, atau tidak menghargai mereka yang ingin mengambil spesialisasi dalam cabang itu. Dengan demikian dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kejian-kajian agama dengan ilmu pengetahuan, yang dikotomi ini menyebabkan pendidikan Islam belum mampu melahirkan mujtahid-mujtahid besar.
    Pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman efek pembaharuannya baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti teologi dan filsafat. Pendidikan Tinggi Islam belum mampu membangun paradigma baru yang tetap berangkat dari pemahaman al-Qur'an, sehingga mampu melahirkan apa yang disebut dengan "intelektualisme Islam". Tampaknya bagi Rahman, dikotomi tidak merupakan alasan, karena salah satu tawarnnya adalah menerima pendidikan sekuler modern yang berkembang di dunia Barat, dengan mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam, yang mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana "memodernisasi" pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam (Rahman, 156-160).
    Rahman, melihat ada dua arah upaya pembaharuan yang sedemikian jauh telah dilakukan. Pertama, pembaharuan ini telah terjadi hampir seluruhnya dalam kerangka pendidikan tradisional sendiri. Perubahan ini sebagian besar digerakkan oleh fenomena pembahruan pra-modernis. Pembaharuan ini telah cenderung "menyederhanakan" silabus pendidikan tradisional, yang dilihatnya sarat dengan materi-materi "tambahan yang tak perlu" seperti theologi zaman pertengahan, cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika). Kedua, suatu keragaman perkembangan telah terjadi, yang bisa diringkas dengan mengatakan bahwa ragam-ragam perkembangan tersebut semuanya mencerminkan upaya untuk menggabungkan dan memadukan cabang-cabang pengetahuan modern dengan cabang-cabang pengetahuan lama.
    Rahman, mencermati percobaan-percobaan pembaruan yang dilaukan oleh al-Azhar Mesir dan sistem baru pendidikan Islam diperkenalkan di Turki sejak akhir tahun-tahun 1940-an. Al-Azhar mempunyai jejak tradisi ilmu-ilmu keislaman zaman pertengahan. Maka dapat dipahami bila sifat konservatifnya dalam lapangan kajian-kajian keagamaan masih sangat kuat, sehingga konsekuensinya, kajian-kajian modern seperti filsafat, sosiologi dan psikologi tanpaknya tidak mempunyai dampak yang mendalam, karena kajian-kajian modern tersebut pada pokoknya ditempatkan di belakang ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. Sebaliknya di Turki dalam upaya pembaruannya, pendidikan tradisional telah dimusnahkan sama sekali, pendidikan agama diperkenalkan lagi dalam keadaan baru, sementara disiplin-disiplin modern hampir berada pada taraf yang sama dengan di sekolah-sekolah umum di seluruh negeri-negeri berkembang. Turki menafsirkan warisan intelektual Islam zaman pertengahan dan memberinya sebuah bentuk yang baru(Fazlur Rahman, 1984 : 165-166).
    Kemudian Rahman, juga menilai modernisasi al-Azhar, sebagai sampel lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman, sekalipun telah diupayakan semenjak abad kesembilan belas, dapat dikatakan tak berubah dalam prosisi intelektual - spiritualnya. Namun menurut Rahman, efek pembaruan pada al-Azhar baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, sistem ujian, dan pengenalan pokok-pokok kajian baru, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam inti seperti teologi dan filsafat. Rahman, menilaia tesa yang dikemukakan oleh 'Abdul Muta'al al-Sha'idi yang menyatakan bahwa pendidikan yang diberikan di al-Azhar tidak bisa melahirkan mujtahid-mujtahid besar, yakni orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kehendak untuk melakukan pemikiran baru dalam berbagai aspek pemikiran Islam, sebagai sebuah "truisme" (Fazlur Rahman, terj. Ahsin Mohammad, 1985 : 117, 118, 119). Dalam perkembangan pemikirannya, Rahman, tidak hanya melihat perubahan sistem pendidikan di Turki, Mesir dan Pakistan, tetapi juga melihat percobaan pembaruan yang dilakukan di Indonesia. Upaya pembaruan yang dilakukan merupakan penggabungan ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu tradisional. Pembaruan yang dilakukan meliputi beberapa aspek yaitu sistem, metode dan materi. Segi sistem mulai dilaksanakannya sistem klasikal di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada segi metode tidak lagi semata-mata memakai sorogan, wetonan dan hafalan, akan tetapi beberapa metode mengajar lainnya mulai diperkenalkan. Sedangkan pada segi materi mulai diperkenalkan mata pelajaran umum pada lembaga-lembaga pendidikan Islam.
    Upaya pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, sebagai usaha untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dan pengajaran, menyebabkan orientasi pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia mengalami perubahan. Namun, menurut Rahman, Indonesia sebagaimana negara-negara Muslim lainnya menghadapi masalah pokok dalam pembaruan pendidikan Islam. Masalah itu meneurutnya adalah "kelangkaan tenaga guru yang memadai untuk mengajar dan riset, dan bagaimana memproduksi tenaga seperti itu. Karenanya, tak bisa dihindarkan lagi dilakukannya percobaan-percoaan dalam penyempurnaan materi-materi pelajaran Islam klasik dengan pelajaran-pelajaran modern. Kedua mata pelajaran itu dicampurkan dalam berbagai proporsi, tergantung apakah lembaga pendidikan yang bersangkutan termasuk dalam sistem pendidikan umum. Pada tingkat pendidikan tinggi, melalui percobaan dengan berbagai lembaga yang disebut universitas-universitas Islam di Jakarta dan Yogayakarta yang akan menghasilkan sarjana-sarjana ilmu keislaman. Kurikulum yang dipakai tampaknya mengikuti pola empat fakultas di al-Azhar yaitu teologi (ushuluddin) dan syari'ah atau hukum Islam, pendidikan (tarbiyah) dan adab, atau humanika Islam, dengan penekanan khusus pada bahasa Arab. Rahman, mempunyai harapan besar untuk Indonesia, ia menyatakan walaupun sekarang ini pendidikan Islam di Indonesia sangat bergantung pada model al-Azhar, pasti akan mampu mengembangkan suatu tradisi Islam pribumi yang bermakna, yang akan benar-benar bersifat Islami dan kreatif(Fazlur Rahman, 1984 : 151-152), karena Rahman memandang Indonesia dan Turki adalah dua negara yang mengembangkan pemikiran liberal.
    Pandangan Rahman tentang kurikulum, tampaknya kurikulum pendidikan Islam tingkat tinggi yang dikehendaki oleh Rahman adalah kurikulum terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Rahman, sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini menurutnya, filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya untuk "membangun suatu pandangan dunia berdasarkan al-Qur'an". Selain itu, Rahman juga memandang penting keterlibatan sains-sains sosial, karena sains-sains tersebut merupakan produk perkembangan modern yang berguna dalam memberikan keterangan kondisi obyektif suatu kehidupan dunia yang menjadi obyektif pengejawantahan ajaran-ajaran al-Qur'an(ibid, p. 157-160).
    Selain Rahman, Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf dalam bukunya Konsep Universitas Islam yang disimpulkan oleh Noeng Muhajir, menyatakan bahwa pembahasan dalam buku ini menawarkan tiga rekonstruksi dalam upaya Islamisasi Universitas.
    Pertama, rekonstruksi tentang konsep ilmu. Yaitu menawarkan memasukkan ilmu-ilmu naqliyyah, seperti al-Qur'an, Hadits, Fiqh, Tauhid, dan Metafisika sebagai mata kuliah dasar umum elektif bagi mahasiswa, melandasi disiplin ilmunya masing-masing yang aqliyyah sifatnya.
    Kedua, rekonstruksi kelembagaan, yaitu : menjadikan lembaga pengembangan studi ilmu-ilmu naqliyyah sebagai bagian dari universitas.
    Ketiga, rekonstruksi atau lebih tepatnya pengembangkan kepribadian individual, mulai dari dosennya sampai ke alumninya. Menurut Noeng Muhajir, rekonstruksi pertama banyak tergantung kepada pemegang otoritas akademik perguruan tinggi yang bersangkutan. Rekonstruksi kedua lebih banyak tergantung kepada pemegang otoritas kelembagaan perguruan tinggi yang bersangkutan. Rekonstruksi ketiga memerlukan evolusi panjang bertahun-tahun, yang peningkatan kualitasnya merupakan pangaruh timbal balik dengan keberhasilan rekonstruksi kedua dan pertama (Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, 1989 : x-xi).
    Jadi, menurut Rahman, pada pokoknya seluruh masalah “modernisasi” pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaitan yang serius kepada Islam. Modernisasi pendidikan Islam bukan pada perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik pengajaran seperti buku-buku, tetapi upaya modernisasi lebih pada membangun intelektualisme Islam. Untuk itu, perumusan pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan pada metode penafsiran yang benar terhadap al-Qur’an, karena al-Qur’an harus ditempatkan sebagai titik intelektualisme Islam. Pemahan yang benar dan mendalam terhadap al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk dan inspirasi bagi generasi muda Islam. Kemudian kurikulum yang tawarkan adalah kurikulum terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Rahman menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analitis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas, kretaif beradasarkan al-Qur’an.

    E. Tantangan Pendidikan Islam
    Dengan segala bentuk dan aneka model pembelajaran keagamaan yang masih dapat dirunut keberadaanya, pondok pesantren di masa depan jelas mampu memberi nuansa dan pencerahan baru bagi dunia pendidikan terutama di Indonesia. Tentu saja jika dibarengi dengan kesungguhan pada pengembangan ilmu-ilmu modern dengan metodologi yang lebih komprehensif. Sehingga khazanah intelektual pesantren yang begitu kaya dengan berbagai disiplin ilmu agama dapat bersinergi dengan ilmu modern yang akhirnya mampu melahirkan paradigma pembelajaran yang integratif dan tidak dikotomis. Hal demikian dapat dilaksanakan antara lain dengan memperkenalkan beberapa aspek pengetahuan modern yang aplikatif (applied sciences) dan mengkomparasikannya dengan berbagai disiplin ilmu islam yang menjadi keahlian pesantren.
    Integrasi semacam ini tidak semata-mata menguntungkan dunia santri. Tetapi juga akan berdampak pada pengembangan masyarakat yang lebih dinamis karena integrasi pengetahuan yang terjadi. Sehingga keseimbangan pemikiran islam yang bersifat samawi dan pengayaan ilmu pengetahuan modern yang lebih humanis dapat tersinergi dengan optimal. Terlebih di zaman yang semakin kompleks ini, di mana sisi-sisi religiusitas manusia yang dulu digerus oleh pengetahuan yang dibiarkan bebas nilai (free value), tampak mulai kembali menampakkan diri. Yang jika tidak disikapi secara arif oleh dunia pendidikan islam macam pondok pesantren, maka kembalinya manusia pada spirit agama akan berdampak negatif, semisal radikalisme dan fundmentalisme. Karena itulah perencanaan ke depan bagi pengembangan kelembagaan pesantren di dunia pendidikan menjadi perlu untuk diperhatikan semua pihak. Apalagi dalam kerangka membangun masyarakat madani (civil society) yang mumpuni dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas kemasyarakatan bagi masa depan bangsa.
    Membangun budaya pendidikan integratif pada sebuah lembaga pendidikan semacam pondok pesantren jelas tidak mudah. Banyak aspek dan sisi yang harus dikuasai dengan baik, terutama yang terkait dengan pola pengembangan kemasyarakatan sebagai betuk aplikasi ilmu dan nilai pembelajaran podok pesantren. Meningkatkan kualitas pemahaman kegamaan di satu sisi diiringi dengan peningkatan apresiasi pada problem sosial di masyarakat jelas membutuhkan keseriusan dan ketekunan tersendiri. Apalagi jika dilihat dari aspek kompleksitas masalah pada masyarakat modern saat ini. Dan jangan lupa membangun sebuah pola pendidikan pesantren semacam ini merupakan sebuah human capital yang berdimensi jangka panjang, tidak dapat dinikmati hasilnya dalam waktu dekat.
    Bak menanam buah kelapa, berinvestasi pada pengembangan pendidikan akan membutuhkan kesabaran dan keteguhan hati. Karena pada dasarnya para santri memang tidak dididik untuk menjadi para sales ataupum marketer yang mampu mendatangkan keuntungan (profit) dalam waktu yang singkat bagi institusi pendidikan yang mengampunya. Bukan pula menjadi robot berteknologi tinggi yang mampu mengerjakan sekian banyak tugas dalam waktu relatif singkat. Karena bagaimana pun sumber daya manusia pada pendidikan pesantren adalah manusia biasa juga, sehingga dibutuhkan ruang yang cukup lama antara pencapaian intelektual santri yang dididik dan implementasi ilmu di dalam masyarakat secara komprehensif. Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka peran aktif dari para santri demi pembangunan pendidikan islam di masa depan akan mudah diimplementasikan dengan hasil yang lebih baik.

    BAB III
    KESIMPULAN

    Dari apa yang diuraikan di atas, Rahman menawarkan (1) perumusan pemikiran konsep pendidikan tinggi Islam yang hendak dikembangkan haruslah dibangun di atas sebuah paradigma yang kokoh spritual, unggul secara intelektual, dan anggung secara moral dengan al-Qur'an sebagai acuan yang pertama dan utama. Paradigma model inilah, orang boleh berharap bahwa peradaban yang akan datang tidak berubah menjadi kebiadaban yang liar dan brutal. (2) Tawaran kurikulum yang sifatnya terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Rahman, sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "mem-bangun suatu pandangan dunia berdasarkan al-Qur'an" dan Rahman memandang bahwa penting keterlibatan sains-sains sosial dalam disain pendidikan tinggi Islam.

    DAFATAR PUSTAKA

    Ahmad Syafii Maarif, 1997, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar.
    ______, 1984, Fazlur Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia, Pustaka, Bandung.
    Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwainisi, Dirasatun Muqaaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah., terj. H.HM. Arifin, Rineka Cipta.
    Azyumardi Azra, 1994, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sain (sebuah Pengantar), Pengantar dalam buku ; Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Terj. H.Afandi dan Hasan Asari, Logos Publishing House, Jakarta.
    Fazlur Rahman, Islam, Anchor Books, New York, 1968, dilengkapi edisi The Checago University, 1979,. Tej. Ahsin Mohammad, 1997, Pustaka, cetakan III, Bandung.
    ______, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad, 1985, Pustaka.
    Ghufron A.Mas'adi, 1997, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
    Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Universitas Islam, terj. 1989, Tiara Wacana,Yogyakarta.
    Hasan Langgulung, 1986, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta.
    M.Natsir, 1973, Kapita Selecta, Bulan Bintang, Jakarta.
    Muhaimin, dkk., 1999, Kontraversi Pemikiran Fazlur Rahman, Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Pustaka Dinamika, Cirebon.
    Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education, Hodder and Stoughton King Abdulaziz University, First Published 1979, King Abdulaziz University, Jeddah Saudi Arabia., terj. Rahmani Astuti, 1986, Risalah, Bandung.